Selepas malam-malam gayeng di Malioboro mendampingi para penulis muda—hingga berlaqab “Presiden Malioboro”—Umbu Landu Paranggi tiba-tiba meninggalkan Jogja pada 1975.
Awalnya banyak “murid”-nya mengira kalau ia pulang ke kampung halamannya di Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT). Namun, ternyata ia hijrah ke Bali hingga akhir hayatnya pada 6 April 2021 silam, di usia 78 tahun.
Sejak meninggalkan Jogja, geliat komunitas sastra yang ia inisiasi (Persada Studi Klub alias PSK) memang perlahan surut. Akan tetapi, komunitas sastra tersebut telah mengorbitkan banyak sastrawan, esais, seniman, dan budayawan yang cukup moncer di aras nasional.
Tak berhenti di situ. PSK bagaimanapun telah menancapkan fondasi bersastra dan berkomunitas di Jogja. Sehingga komunitas sastra sekaligus produknya (sastra) masih terus bergeliat melintasi zaman.
Oleh karena itu, jika membincangkan Sejarah Komunitas Sastra di Jogja, maka kerap kali dua nama itulah—Umbu Landu Paranggi dan PSK—yang muncul sebagai fondasi.

Mencari magis Persada Studi Klub di jalanan malam Malioboro Jogja
Asef Saeful Anwar, pengarang cum akademisi di Prodi Studi Bahasa dan Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM), memang tidak hidup di era ketika PSK bergeliat di Malioboro, Jogja.
Akan tetapi, PSK kemudian menjadi kutub yang menarik dirinya untuk menggali kembali Malioboro, Jogja, pada era 1960-1970-an: Sebenarnya seberapa magis sosok Umbu Landu Paranggi dan PSK tersebut?
“Sebenarnya berawal dari proses reflektif. Tanpa disadari, buku koleksi saya—prosa dan puisi—itu ditulis oleh jebolah PSK. Ada Korrie Layun Rampan, Linus Suryadi AG, hingga Emha Ainun Nadjib yang masyhur di era 80-an,” ungkap Asef saat ditemui Mojok selepas diskusi panel Susur Galur I bertajuk “Sejarah Komunitas Sastra Yogyakarta” dalam Festival Sastra Yogyakarta (FSY) 2025 di Taman Budaya Embung Giwangan, Sabtu (2/8/2025) sore WIB.
Saat itu pada 2011. Asef mengaku selalu penasaran, kenapa nama-nama di atas, juga nama-nama lain di PSK, selalu dibicarakan banyak orang bahkan hingga 2011-an? Padahal PSK sudah jauh di masa silam.
Dari situ, ia lalu memutuskan untuk meneliti jejak magis PSK di Malioboro, Jogja, di bawah bimbingan Prof. Dr. Suminto A Suyuti, sastrawan cum Guru Besar Ilmu Sastra di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang pernah menjadi bagian dari PSK.
Ruang alternatif di Jalanan Malioboro Jogja
Asef menjelaskan, PSK awalnya dimulai dari kegamangan beberapa pemuda yang bosan dengan konflik antara kubu merah (PKI) dengan kelompok putih.
Untuk diketahui, pada 1965-1968, ada upaya “bersih-bersih PKI” dari Orba. Hal itu memicu konflik horizontal pula di masyarakat. Pasalnya, orang yang dilabeli eks-PKI atau keluarga PKI kemudian dipandang negatif.
“Sampai akhirnya sekelompok anak muda yang bosan dengan benturan itu berkumpul di Malioboro. Didampingi figur bernama Umbu Landu Paranggi. Kegelisahan terhadap konflik di masyarakat mereka salurkan melalui pengkaryaan: puisi dengan tema kritik sosial,” beber Asef.
Pada Maret 1968, Umbu yang saat itu merupakan redaktur sastra mingguan Pelopor Yogya membuka ruang ekspresi sastra—PSK—sebagai oase atas kegamangan tersebut. Ruang itu mulanya dibuka di lantai dua kantor redaksi mingguan tersebut, Jalan Malioboro 175 A.
Beberapa anak muda yang saat itu terlibat antara lain, Teguh Ranusastra Asmara, Ragil Suwarna Pragolapati, Iman Budhi Santosa, Soeparno S. Adhy, Mugiyono Gito Warsono, dan M. Ipan Sugiyanto Sugito. Mereka ingin mengasah keterampilan menulis mereka, menyerap ilmu sebanyak-banyaknya dari Umbu.
“PSK kemudian menjadi ruang alternatif yang mendapat tempat di masyarakat. Saat itu Orba senang memformalkan sesuatu. Misalnya, sekolah itu ya harus sekolah formal. Tidak boleh gondrong. Tapi PSK mencoba melawan formalisme itu,” kata Asef.
Dari pembacaan puisi, PSK lalu menjadi komunitas untuk diskusi seputar sastra, seni, dan budaya. Tidak hanya mengandalkan ruang kerja Umbu, tapi lalu menjadikan jalanan Malioboro, Jogja, di malam hari sebagai medium temu.
Melebur dengan masyarakat dan nasihat-nasihat Umbu
Dari jalanan Malioboro, geliat PSK merambah ke luar Jogja: menggelar pentas-pentas sastra dari Magelang hingga Klaten. Sarananya pun ke ruang-ruang publik yang dekat dengan masyarakat. Seperti lapangan, pasar, bahkan surau.
PSK melebur dengan masyarakat. Tidak berjarak dan terikat dalam formalisme yang saat itu memang sedang ditegakkan Orde Baru.
Melalui PSK, Umbu memang memfasilitasi anak-anak muda untuk mengasah keterampilan bersastra maupun menulis. Misalnya dengan mengakomodir karya anak-anak PSK dalam rubrik Persada (untuk yang karyanya masih di bawah standar) dan Sabana (yang dianggap sudah bermutu) di Pelopor Yogya.
Sebagai mentor, kata Asef, Umbu dikenal sebagai sosok yang kerap memberi nasihat-nasihat penting yang sangat berpengaruh betul bagi proses hidup maupun proses kekaryaan anak didiknya.
“Salah satu yang dilakukan Umbu adalah meredam kemarahan pada gejolak hari itu. Sehingga ketika diejawantahkan dalam puisi misalnya, tidak lantas menjadi puisi yang berisi kritik vulgar. Tapi elegan,” jelas Asef.
Ah, terlalu banyak cuilan-cuilan kisah bagaimana Umbu “menatar” anak-anak muda PSK. Mulai dari mengajak menghayati jalanan malam Malioboro hingga meresapi kondisi Malioboro yang riuh maupun sunyi.
Komunitas sastra hari ini…
Masa Umbu dan PSK telah lewat. Lantas, bagaimana kondisi komunitas sastra hari ini?
Asef menilai, komunitas sastra—tidak hanya di Jogja—saat ini cenderung formalistik: terinstitusi menjadi sebuah lembaga yang kaku. Situasi itu lantas membuat komunitas sastra menjadi eksklusif, berjarak dari masyarakat.
“Dulu diskusi sastra itu ya ngobrol biasa, kapan saja, di mana saja. Sehingga lentur. Berbeda dengan sekarang yang terikat dengan hal-hal prosedural,” kata Asef.
Gambaran diskusi sastra masa lalu kira-kira seperti ini: Jika ada diskusi formal, maka bagian formal itu hanya pelengkap saja. Diskusi sesungguhnya baru terjadi selepasnya. Orang-orang bisa meriung, lalu menghabiskan waktu berjam-jam untuk bertukar isi kepala.
Dulu akar komunitas adalah bebrayan, paguyuban, dan patembayan. Artinya, hubungan antaranggota tidak semata untuk urusan kekaryaan, tapi juga persaudaraan-kemanusiaan. Itulah yang, bagi Asef, harusnya terinternalisasi kembali dalam komunitas-komunitas sastra hari ini.
“Selain itu, tantangan komunitas sastra hari ini adalah modernisasi atau kontekstualisasi gaya bersastra. Menemukan gaya baru yang representatif dengan zamannya, bukan mandek pada temuan sastra berpuluh-puluh tahun lampau,” tutup Asef.
“Rampak” untuk menjaga eksistenasi sastra
Diskusi panel “Sejarah Komunitas Sastra” hanya satu bagian saja dari Festival Sastra Yogyakarta 2025 oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kota Yogyakarta.
Berlangsung dari 30 Juli-4 Agustus 2025, FSY 2025 menyuguhkan tidak kurang dari 30 program. Semua program tersebut terangkum dalam visi “Rampak” alias serempak.
Melalui FSY 2025, Disbud Kota Yogyakarta memang ingin mengajak banyak kalangan untuk berjalan serempak/berkolaborasi dalam menjaga eksistensi sastra.
2025 ini bukanlah kali pertama Disbud Kota Yogyakarta menggelar Festival Sastra Yogyakarta. Festival ini diinisasi bahkan dalam situasi dunia yang tidak ideal: yakni masa pandemi Covid-19 pada 2021 silam.
FSY lantas menjadi gelaran yang rutin dilangsungkan secara berturut-turut pada 2022, 2023, 2024 hingga 2025. Sebagai upaya menjaga sekaligus mengawal denyut sastra dalam menghadapi tantangan atau situasi tak idealnya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Percaya Diri Membaca Puisi Jawa (Geguritan) Ala Anak-anak Jogja, Menjaga Bahasa Daerah dari Kepunahan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan