Jalan Teknika UGM menjadi saksi pedihnya kakek tua yang harus hidup di jalanan karena ditelantarkan anaknya. Niat hati ingin menghabiskan masa tua dengan putra semata wayang, ia malah diabaikan. Masa senjanya pun dihabiskan bersama tunawisma lain yang hidup dari trotoar ke trotoar di jalanan Jogja.
***
Meski badan rasanya sudah tak karuan capeknya, saya belum ada niatan pulang ke kos. Malam itu, Sabtu (22/6/2024), selepas menikmati acara gigs underground di kolong Jembatan Baru UGM, Sinduadi, Sleman, saya memutuskan berjalan kaki dari tempat konser menuju Jalan Teknika UGM. Niat saya ingin membagikan beberapa bungkus nasi kepada para tunawisma di sana setelah mendapat rezeki lebih pada hari itu.
Jalan Teknika UGM memang tak pernah sepi dari para tunawisma. Di siang hari, ruas jalan bagian utara yang berada di depan kampus MM UGM, dipenuhi para tunawisma yang menunggu derma dari orang-orang.
Sementara pada malam hari, ruas jalan bagian selatan di depan Fakultas Teknik UGM tak kalah ramai. Sepanjang trotoar, mata kalian tak akan tega menyaksikan tukang becak, pemulung, dan manusia gerobak tidur hanya beralaskan kardus bekas.
Jam sudah menunjukkan pukul 00.30 WIB dini hari. Awalnya saya khawatir para tunawisma yang ingin saya bagikan nasi sudah tidur lelap setelah melewati hari yang panjang. Namun, setelah sampai di lokasi, beberapa di antara mereka masih saling bercengkerama.
Saya nimbrung obrolan. Mendengarkan kegetiran demi kegetiran hidup mereka yang terdengar seperti cambukkan.
Namanya Maman. Dengan tidak terlalu yakin, dia mengaku berumur 60 tahun. Namun, saya menduga usianya jauh lebih tua daripada perkiraannya sendiri.
Geraknya sudah melambat. Sekadar untuk berdiri dari duduknya saja sudah kepayahan. Dan, dari logat bicaranya saya menduga dia bukan orang Jawa.
“Saya dari Tasik, Mas,” kata Maman, pelan.
Niat bertemu anak, malah ditelantarkan
Maman, sambil lahap menyantap nasi bungkusnya, bercerita bahwa dia tak ingat secara pasti kapan pertama tiba di Jogja. Tapi yang jelas, sudah setahun ke belakang ini ia menjadikan Jalan Teknika UGM, di depan Fakultas Teknik itu, sebagai “rumahnya”.
“Pagi cari rongsok, ngumpulin kardus. Kalau kejuali ya beli makan. Kalau nggak ada ya kita tidur di sini sambil kelaparan, Mas,” ujarnya, mengatakan hal getir itu sambil tertawa. Entah, seburuk apa hari yang Maman jalani, sehingga kepedihan seperti itu saja masih bisa ia ceritakan dengan nada yang riang.
Maman memang tak ingat sejak kapan ia datang ke Jogja. Namun, kedatangannya ke kota ini jelas, dia ingin menyusul anaknya yang saat itu konon sudah menikah.
Dia bercerita, sejak lulus kuliah anak lelakinya tiga tahun tak pulang ke Tasikmalaya. Bahkan, ketika ibunya meninggal dunia pun, ucapan belasungkawa hanya disampaikan melalui sambungan telepon tetangga.
Maman tak tahu, anaknya itu bekerja di mana dan sesibuk apa, sehingga buat melihat jasad ibunya buat terakhir kali saja tak sempat. “Saya cuma dengar dari tetangga, ada yang bilang jadi guru, ada yang bilang dosen, malah ada yang bilang kerja di luar negeri.”
Karena hidup sendiri, dan di Tasik pun hanya mengandalkan bantuan saudara buat makan, Maman membulatkan tekad menyusul anaknya. Ia berharap bisa menikmati masa tua dengan dirawat oleh putra semata wayangnya.
Berbekal informasi dari saudara-saudaranya, Maman pergi ke Jogja. Pencariannya tak lama, karena setibanya di kota ini dia langsung bertemu dengan anaknya itu.
“Sudah ada rumah sendiri, Mas. Tapi dia bilang ‘aku nggak mau ketemu bapak lagi’,” kata tunawisma Jalan Teknika UGM ini, getir. “Saya nggak tahu pernah buat salah apa ke anak, sampai buat ketemu saja nggak mau. Saya disuruh pulang lagi.”
Sempat kerja ikut orang, sampai akhirnya jadi gelandangan
Meskipun “diusir” anaknya, Maman mengaku tak mau kembali ke Tasikmalaya. Baginya, mau di kampung atau di sini tak ada bedanya, karena sama-sama hidup sendiri.
Sebelum “menetap” di Jalan Teknika UGM, berbekal sisa-sisa tenaganya, Maman sebenarnya telah lama survive di Jogja. Setelah pengusiran itu, ia bertahan hidup sambil mencari kerja, berbekal uang Rp30 ribu–sekitar 15 tahun yang lalu. Untungnya, ketika uang sudah menipis, seorang juragan pengepul rongsokan mau menerimanya.
“Dulu, Mas, di Imogiri saya punya bos yang baik banget. Kami yang mulung ke dia itu dikasih tempat tinggal. Ya meskipun cuma triplek-triplek begitu seenggaknya saya ada keluarga baru. Makan dan tidur juga ada tempat,” ujarnya.
Baca halaman selanjutnya…
Para tunawisma kerap melihat mahasiswa yang mabuk muntah di troroar Jalan Teknika UGM