Pemandangannya memang tak mengecewakan
Meskipun tidak sampai puncak, Iffah merasa pendakian yang menyiksa itu cukup terbayar dengan pemandangan dari puncak bayangan.
Dari puncak bayangan Gunung Penanggungan, tampak pijar lampu-lampu penduduk. Itu pemandangan malam hari. Kalau pemandangan pagi hari, tampak kabut-kabut tipis menyelimuti rumah-rumah penduduk di bawah.
Sejak pagi-pagi sekali, Iffah sudah duduk-duduk di depan tenda. Mengambil gambar dengan kamera ponselnya.
“Kalau mau yang lebih indah, kapan-kapan mendaki lagi di gunung yang lebih tinggi. Tinggal milih, ada Lawu, ada Semeru kalau mau lihat betapa indahnya Ranu Kumbolo.” Begitu ucap salah satu teman Iffah yang menyusul bangun.
Iffah hanya tersenyum getir menerima usulan itu. Batinnya, Gunung Penanggungan yang katanya buat pemula saja sebegini menyiksa, apalagi gunung-gunung dengan ketinggian di atas 2.000-an mdpl. Bisa pingsan di jalur pendakian.
Rekomendasi buat pemula di Mojokerto
Teman sependakian Iffah, Bani (26), juga mengamini kalau Gunung Penanggungan memang tidak cocok buat pemula. Gunung tersebut sebenarnya lebih tepat disebut trek iseng-iseng untuk para pendaki yang sudah terbiasa mendaki gunung-gunung tinggi.
Lantas, apakah ada gunung yang cocok untuk pemula? Ini subjektif. Tapi Bani mencoba memberikan rekomendasinya: gunung atau bukit di Mojokerto.
“Pertama banget. Aku rekomendasikan Bukit Lorokan di Pacet, Mojokerto. Tingginya cuma 1.100 mdpl. Itu nggak terlalu terjal, nggak nanjak banget juga. Jalur ringan,” terang Bani.
Bukit Lorokan saat ini malah lebih seperti spot wisata, alih-alih jalur pendakian. Sebab, banyak kalangan non pendaki yang tektokan (naik-turun langsung) di bukit ini. Walaupun cocok juga untuk nge-camp. Pemandangannya juga, kata Bani, benar-benar memanjakan mata.
“Kalau di bawah Penanggungan, ada Gunung Pundak. Tingginya kira-kira 1.500-an mdpl. Menurutku cukup ringan. Nggak semenyiksa Penanggungan,” sambung Bani.
Lalu berturut-turut ada Bukit Watu Jengger (1.100 mdpl) hingga Bukit Semar (933 mdpl).
Bagi yang suka situs kuno dan hawa mistis
Konon, Gunung Penanggungan—yang punya nama kuno Gunung Pawitra—merupakan puncak Mahameru yang terpotong dan jatuh di Mojokerto.
Mitologi Jawa banyak yang menyebut, Gunung Semeru awalnya berada di Jambudwipa (ada yang menyebut India, ada yang menafsirikan Bali). Lalu dipindah oleh dewata ke Jawadwipa (pulau Jawa).
Namun, di tengah pemindahan dengan cara diterbangkan itu, puncak Semeru (Mahameru) ada yang grompal hingga jatuh membentuk gunung sendiri: Gunung Penanggungan.
Dalam serat Nagarakartagama gubahan Empu Prapanca tercatat, gunung ini memiliki nilai spiritual penting di masa Kerajaan Majapahit. Sebab, gunung ini sering menjadi titik pertapaan. Pertapa yang paling fenomenal adalah penguasa Majapahit terakhir, Prabu Brawijaya V.
“Kalau yang suka sejarah, suka situs-situs, bisa lewat jalur Jolotundo. Nanti bakal nemu banyak situs peninggalan masa lalu,” ujar Bani.
“Jalur itu juga cocok buat orang yang suka dengan hawa mistis. Karena sampai saat ini, gunung ini masih dianggap keramat,” sambungnya.
Sulit mencari malam hening
Lanjut Bani, Gunung Penanggungan bukan hanya tidak cocok buat pemula. Tapi tidak cocok juga untuk yang mencari ketenangan di atas gunung.
Sebab, karena anggapan gunung buat pemula tadi, Gunung Penanggungan nyaris selalu riuh. Apalagi kalau di akhir pekan atau hari libu nasional. Pasti penuh sesak..
“Paling menyebalkan itu kalau ada pendaki-pendaki yang bawa sound dan gitar. Jangan harap bisa menikmati malam yang hening. Karena mereka pasti teriak-teriak, nyanyi-nyanyi. Itu mengganggu sekali,” imbau Bani.
“Yang bawa sound akan nyetel musik kenceng-kenceng, sudah kayak denger sound horeg,” tandasnya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: 9 Jam “Menghilang” di Gunung Lawu Magetan hingga Bisa Kembali berkat Kiriman al-Fatihah atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












