Lampu Merah, ETLE hingga Polisi Putus Asa
Lebih lanjut, Kijo menjelaskan, Simpang Lima Krian baru akan padat di jam setengah lima sore. Kemudian akan berakhir—artinya benar-benar normal dan tak semrawut—sekitar jam delapan malam.
“Kalau pagi ya mulai jam enam itu sudah ramai,” jelas Kijo.
“Puncaknya kalau malam Minggu atau liburan-liburan tertentu,” imbuhnya.
Sebagai driver ojol, kesemrawutan Simpang Lima Krian adalah makanan sehari-hari. Itulah kenapa setiap menjelang jam-jam orang pabrik berangkat atau pulang kerja, ia lebih memilih off sebentar.
Sebab, menurutnya (dengan kelakar), Simpang Lima Krian adalah titik temu orang-orang bernyawa sembilan.
“Ya karena asal trabas, tak takut mati, tak peduli nyawa orang lain,” ungkapnya sembari menekankan bahwa pengendara paling menyebalkan adalah dari kalangan pengendara motor.
Menurut Kijo lagi, kalau sudah memasuki jam atau hari padat, lampu merah tak ada gunanya lagi. Pengendara-pengendara itu tak peduli.
Mau merah, kuning, hijau, tak mereka gubris. Pokoknya asal ada celah, mereka akan langsung serobot saja.
Bahkan di Instagram pun sampai ada guyonan, ETLE pun sudah putus asa menghadapi pengendara-pengendara di Simpang Lima Krian. Bingung mau memfoto yang mana. Sebab, semuanya melanggar rambu.
View this post on Instagram
“Lampu merah saja nggak ada harga dirinya, ya apalagi Pak Ogah,” seloroh Kijo.
“Mau nyemprit sampai napas habis juga nggak akan mereka gubris,” tambahnya sembari tertawa sinis.
Menurut Kijo, sebenarnya Polisi lalu lintas juga sering membantu mengurai kemacetan di Simpang Lima Krian jika tengah semrawut-semrawutnya.
Namun, dasar memang orang-orang punya nyawa sembilan. Sekalipun ada polisi, banyak orang yang tak peduli. Tetap nekat terobos sana, terobos sini.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News