Dapat upah uang hingga “jatah tidur”
Meski awalnya setengah hati, tapi lambat-laun Tomi mulai menikmati pekerjaannya. Apalagi setelah tahu akumulasi penghasilannya selama satu bulan.
Tomi memiliki tiga pelanggan tetap. Dua LC di sebuah kelab malam. Satunya seorang PSK yang sering menjual jasanya dari hotel ke hotel di Jakarta Barat.
Dari ketiganya saja, masing-masing biasanya memberi upah Rp150 ribu hingga Rp300 ribu permalam. Dalam sebulan, Rp9 juta lebih bisa Tomi kantongi.
“Uang itu aku sisihkan buat ngirim ke rumah. Orangtua seneng lah pasti. Aku dianggap udah sukses,” kata Tomi. “Tapi ya tentu nggak selalu lancar. Ada seretnya juga.”
“Dari tiga yang aku anter-jemput itu, PSK yang unik. Kadang kalau lagi seret, upah ke akunya bukan uang. Tapi jatah tidur bareng di kosannya di Mangga Besar,” sambungnya.
Awalnya Tomi menolak. Kalau sedang tidak bisa bayar upah, dia minta diganti bensin saja.
Namun, lama-lama Tomi tergiur juga. Alhasil, beberapa kali malah dia sendiri yang menawarkan: tak usah bayar, cukup kasih jatah tidur saja.
Tawaran jadi kurir narkoba di Mangga Besar Jakarta Barat
Dua tahun berjalan, teman Tomi lantas menawari pekerjaan dengan upah lebih menggiurkan: menjadi kurir narkoba. Namun, untuk ini, Tomi bersikeras menolak.
“Risikonya sih. Kalau kurir narkoba rawan banget ketangkep. Takut masuk penjara, malah bikin malu orangtua,” kata Tomi.
Akhirnya Tomi memutuskan tetap menjadi ojek LC dan PSK, sembari terus berpura-pura sebagai pekerja kantoran di Jakarta kepada orangtuanya di rumah.
Nelangsa melihat orangtua yang terlanjur bangga
Awal 2020 menjadi akhir perjalanannya menjadi ojek LC dan PSK di Mangga Besar, Jakarta Barat. Seiring Covid-19 dan pembatasan ketat sejumlah tempat hiburan malam, Tomi memutuskan pulang ke Cilegon.
Awalnya dia berniat hanya pulang sebentar sambil menunggu situasi membaik. Namun, ketika melihat betapa tulusnya orangtua Tomi membanggakannya sebagai pekerja kantor, Tomi malah menjadi nelangsa.
“Ibu misalnya, sering tanya, bosmu baik atau nggak? Kantormu Suasananya gimana? Begitu-begitu lah,” tutur Tomi.
Menceritakan yang sejujurnya jelas bukan pilihan terbaik. Maka dari itu, Tomi tetap berpura-pura sebagaimana sebelumnya.
Sampai akhirnya, karena terus dikungkung rasa berdosa, Tomi memutuskan berhenti. Kepada temannya dan perempuan LC-PSK yang dia kenal, dia mengabari kalau dia tidak lagi menjadi ojek LC dan PSK.
“Aku bilang sama orangtua aku kena PHK. Itu alasan masuk akal karena semasa Covid-19 banyak yang bangkrut,” kata Tomi. “Ibu malah nenangin aku, bilang kalau setelah Covid-19 reda insyaAllah bakal bisa keja lagi.”
Gelar sarjana tetap tak berguna
Tapi gelar sarjana nyatanya benar-benar tak berguna bagi Tomi. Setelah tabungannya habis, dia kelabakan mencari pekerjaan lagi. Mencoba mengandalkan gelar sarjananya lagi. Namun, dalam situasi Covid-19, mencari pekerjaan malah terasa makin sulit.
Pada penghujung 2021, Tomi kembali memutuskan ke Jakarta Barat. Namun kali itu bukan untuk kembali menjadi ojek LC dan PSK, tapi menjadi driver ojek online. Pekerjaan yang masih dia jalani sampai sekarang.
“Hasilnya? Kalah jauh lah sama jadi ojek LC-PSK. Makanya kadang tergiur buat balik lagi ke dunia itu,” kata Tomi.
Kali itupun Tomi memilih jujur saja kepada orangtuanya. Susah mencari pekerjaan kantoran “lagi”. Hanya menjadi ojol pilihan yang tersedia bagi Tomi. Yang penting halal.
“Sulit menebak perasaan orangtua. Rela nggak sih sebenernya anaknya yang sarjana ini jadi tukang ojek? Kadang pengin balik ke “dunia malam” biar dapat uang gede. Tapi itu jadi beban moral ke orangtua. Tapi kalau gini-gini aja juga beban moral, karena kayak jadi sarjana gagal,” lanjutnya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Ngaku-ngaku Kuliah Teknik Elektro ITS biar Keren, Berujung Malu Dikira Tetangga Bisa Elektronik padahal Takut Listrik atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












