Sanggar Anak Alam (SALAM) adalah satu dari sekian banyak sekolah di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang masih bertahan di tengah gempuran perubahan kurikulum pendidikan. Ia tak ingin dikenal sebagai wisata edukasi, melainkan sekolah yang menjadi bagian dari perlawanan atas kondisi pendidikan di Indonesia.
***
Segerombolan orang tua sudah siap mengikuti acara merumput edisi perdana: Sekolah Semerdeka Ini & PAUD ala SALAM di Mojok Store, Sleman pada Sabtu (19/7/2025). Di sana, mereka mengobrol soal sistem pendidikan ala SALAM.
Acara ini sekaligus menandai peluncuran perdana buku “Sekolah Bisa Semerdeka Ini: Narasi Warga Komunitas Sanggar Anak Alam” yang diterbitkan oleh Buku Mojok. Penulisnya terdiri dari tujuh orang yang merupakan wali murid dari siswa SALAM, Kabupaten Bantul.
Gernatatiti, salah satu penulis dari buku tersebut berujar, sejatinya buku ini tak ingin menghadirkan potret “kebahagiaan” ala SALAM seperti yang sudah diulas di berbagai media, melainkan berisi soal tantangan pendidikan yang harus mereka hadapi.
“Saya takut, justru ulasan indah tentang SALAM berpotensi menjadikannya sebagai tempat wisata pendidikan. Saya nggak ingin orang tua tuh main ke SALAM cuman untuk foto selfie, terus bikin konten, terus pulang, karena di sana pun masih banyak masalah,” ujar Gerna.
Sebagai sekolah nonformal di Kabupaten Bantul, SALAM sendiri memiliki visi yang terdiri dari empat pilar yakni pangan, kesehatan, lingkungan, dan sosial-budaya. Namun nyatanya untuk mewujudkan visi tersebut tidaklah mudah.

“Masalah itu sudah coba kami keluhkan secara halus dalam buku ini (Sekolah Bisa Semerdeka Ini). Tapi, sebesar-besarnya masalah SALAM, masih lebih besar masalah pendidikan di Indonesia,” ucap Gerna, penulis sekaligus orang tua siswa.
Mengapa orang tua memilih SALAM?
Visi SALAM yang berfokus pada pangan, kesehatan, lingkungan, dan sosial-budaya menjadi salah satu alasan Gerna menyekolahkan anaknya di sana. Keputusan itu sudah ia pertimbangkan matang-matang bersama keluarga. Baik suami, orang tua, dan anaknya mengaku tak masalah dengan keputusan tersebut. Dan benar saja, Gerna tak pernah menyesali keputusan itu.
“Saya jadi tahu bahwa yang dipelajari di sana itu bukan materi pelajaran A, B, C (formal), tapi belajar berpikir secara terstruktur dan bagaimana anak saya terbiasa menggunakan kerangka riset sejak dini,” kata Gerna.
“Jadi bukan seperti mengajari anak menjawab pertanyaan, tapi membuat pertanyaan yang tepat,” jelasnya.
Ketika anak melakukan kesalahan, orang tua juga perlu merespons dengan baik. Alih-alih memberi hukuman, anak diajak untuk berdiskusi dan menemukan solusi. Tak ayal, muncul di kalangan orang tua SALAM jika belajar adalah tugas orang tua, sedangkan tugas anak adalah bermain.
“Kalau saya mengistilahkan, sekolah ini radikal. Orang tua yang mengirim anaknya ke sekolah ini pun radikal. Bayangkan, ada yang rumahnya dari luar kota bela-belain antar anaknya buat sekolah di sini,” kelakar Gerna.
Tak terlalu mengharap kehadiran negara
Sebagai orang yang turut hadir dalam diskusi tersebut, saya mengambil contoh sub bab berjudul “Pendidikan Perlulah Sesuai Kebutuhan Siswa, Bukan Negara” yang ditulis oleh Purnawan. Di sana, ia menceritakan keheranannya saat SALAM mendapat kunjungan dari Dinas Pendidikan.
Dalam kunjungan tersebut, mereka mendapat kiriman nasi kotak dan spanduk berbahan plastik. Sementara, SALAM hampir tak pernah menggunakan bungkusan nasi kotak maupun spanduk berbahan plastik. Bagi fasilitator–sebutan untuk orang yang bertugas sebagai guru di SALAM, fenomena itu cukup menarik karena nantinya kedua benda tersebut berpotensi menjadi sampah.

“Sedangkan selama ini, SALAM tidak menyediakan tempat sampah nonorganik sebagai salah satu upaya memenuhi pilar tentang lingkungan,” ujar Purnawan dalam tulisannya.
Warga komunitas SALAM sudah sepakat untuk melarang penggunaan barang yang menimbulkan sampah. Bagi mereka sampah adalah tanggung jawab masing-masing. Jika tidak ada tempat sampah nonorganik yang tersedia, maka sampah itu harus dibawa pulang.
“Lalu, siapa yang bertanggungjawab atas sampah bekas nasi kotak dan spanduk tersebut?” tanya Purnawan.
Sekolah bisa semerdeka SALAM
Selain nilai-nilai di atas, SALAM juga menghilangkan hal-hal yang tidak substantif dalam pendidikan, seperti pelajaran formal sampai baju berseragam, alias bebas. Ia memberikan ruang untuk murid maupun orang tua belajar secara merdeka tanpa sekat, agar tidak terbebani dalam proses belajar.
Gerna berharap SALAM dapat menginspirasi masyarakat di Indonesia. Tak harus membuat sekolah tapi menumbuhkan nilai-nilai SALAM di berbagai daerah, tak hanya di Kabupaten Bantul. Dengan begitu, terbentuklah komunitas yang lebih besar dan bertumbuh.
“Saya berharap kehadiran buku Sekolah Bisa Semerdeka Ini dapat menginisiasi komunitas lain yang sesuai konteks, tempat mereka berada. Jadi, kalau kamu gelisah dengan sistem pendidikan Indonesia saat ini, outputnya tidak harus membuat sekolah tapi do something.” Ucap Gerna.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Apresiasi untuk Ayah yang Antar Anak ke Sekolah Hanyalah Perayaan Simbolis, Pemerintah Belum Selesaikan Masalah Utama atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












