Sekelompok orang tak dikenal, yang diidentifikasi sebagai preman, mengepung massa aksi Aliansi Jogja Memanggil yang bertahan di Kantor DPRD DIY, Jalan Malioboro, Kamis (20/3/2025) malam. Ada yang melempar petasan, membawa sajam, hingga menerikan kalimat-kalimat bernada pelecehan kepada perempuan.
***
“Kami akan membubarkan diri, dengan tertib, tapi bapak-bapak ini [polisi] juga harus memastikan keselamatan kami,” ujar salah satu perwakilan Aliansi Jogja Memanggil, yang namanya minta disamarkan menjadi Marsinah.
Pihak kepolisian tengah bernegosiasi dengan Marsinah. Aksi demonstrasi yang menuntut penolakan atas disahkannya revisi UU TNI ini dianggap sudah terlalu malam, sehingga massa harus membubarkan diri.
Namun, menurut Marsinah, sebenarnya massa aksi mau saja membubarkan diri. Asalkan jaminan mereka akan pulang dengan aman. Sebab, berdasarkan beberapa laporan kawan-kawan aliansi, muncul sekelompok orang tak dikenal yang mengepung mereka.

“Ada yang bawa sajam, Pak,” jelas Marsinah.
“Preman-preman ini siapa, dari ormas mana?,” tanya Kapolresta Jogja, Aditya Surya Dharma, yang menemui massa aksi.
“Ya mana kami tahu. Itu kan tugas bapak buat mencari tahu. Ada potensi orang melakukan kekerasan masa kalian diam saja,” jawab Marsinah.
Bertahan sampai revisi UU TNI dibatalkan
Hingga Kamis (20/3/2025) malam, mahasiswa dan elemen masyarakat sipil memang masih bertahan di kompleks Kantor DPRD DIY, Jalan Malioboro. Mereka menyatakan bakal bertahan sampai parlemen dan pemerintah membatalkan revisi Undang-Undang TNI yang telah disahkan Kamis pagi.
Sejak pukul 19.00 WIB, sekitar puluhan orang membuat tenda di halaman gedung parlemen. Mereka duduk melingkar; ada yang memainkan gitar, berorasi, dan mementaskan sejumlah aksi teatrikal. Bahkan, para pedagang kaki lima seperti penjual sate juga didatangkan agar dagangannya dilarisi.
Semakin malam, massa yang datang bertambah banyak. Sampai pukul 22.00 WIB, massa yang awalnya hanya puluhan menjadi ratusan. Di saat yang sama, puluhan aparat kepolisian yang dibekali tameng dan pentungan sudah melakukan apel.

Pukul 22.45 WIB, polisi mulai mendekat ke demonstran. Massa aksi yang awalnya menduduki halaman depan Gedung DPRD DIY, harus terpukul mundur mendekati pintu gerbang.
“Kami akan bertahan sampai revisi UU TNI benar-benar dibatalkan,” teriak salah satu massa aksi.
Saat Mojok konfirmasi, Kapolresta Jogja Aditya Surya Dharma mengultimatum agar massa aksi membubarkan diri sebelum pukul 24.00 WIB. Pihaknya berjanji, tak akan ada represivitas asalkan massa aksi “bisa diajak kerja sama”.
“Pukul 12 malam, sudah harus bubar. Ini imbauan dari kami,” terangnya.
Adanya kepungan dari orang tak dikenal, diduga preman, membawa sajam dan petasan
Dalam rentang pukul 23.00 WIB hingga pukul 24.00, negosiasi demi negosiasi terjadi. Wakil Kepala Polda DIY, Adi Vivid Agustadi Bachtiar, meminta massa aksi untuk membubarkan diri.

Sementara dari pihak massa aksi mengatakan, pihaknya bisa saja membubarkan diri secara tertib. Namun, di luar sudah ada kepungan dari orang tak dikenal. Mereka diduga adalah preman.
Pantauan Mojok, sejak pukul 23.30 WIB, orang-orang tak dikenal ini datang dari arah selatan. Beberapa di antaranya bahkan menyalakan petasan dan kembang api.
Bahkan, dari kelompok yang sama, terlihat juga beberapa orang yang membawa pentungan besi dan pisau. Usia orang-orang tak dikenal ini beragam, tapi perkiraan rata-rata masih berusia 30-an tahun.
Mereka menolak untuk diwawancara. Sehingga kurang jelas warga dari mana. Namun, beberapa wartawan di lokasi, mengidentifikasi mereka sebagai orang yang sama dengan preman yang bentrokan dengan PKL Malioboro belum lama ini.
Sekitar pukul 23.52 WIB, orang tak dikenal ini mengepung halaman Kantor DPRD DIY. Sebagian besar berbaris di arah selatan, seberang Plaza Malioboro.
“Kami berjanji akan mencari tahu siapa preman-preman ini, tapi adik-adik tolong bubar dengan tertib sebelum jam 12,” kata Wakapolda DIY Adi Vivid.
Bentrokan dengan aparat
Sampai batas waktu yang “ditolerir” polisi, massa aksi tetap bertahan di halaman Kantor DPRD DIY, belum membubarkan diri. Alasannya jelas, di luar masih banyak preman yang mengepung. Marsinah menyebut, dirinya tak mau berjudi dengan keselamatan teman-temannya.
“Sementara polisi yang berjanji akan mengusir preman-preman itu lebih dulu, biar kami bisa lewat, tetap diam aja nggak melakukan apa-apa,” ungkap Marsinah.
Tiba-tiba, dari gerbang selatan, aparat menambah jumlah personelnya. Pasukan Brimob datang lengkap dengan tameng dan alat pukul. Dua mobil juga didatangkan, satu di antaranya penyemprot water cannon.

Pukul 00.10 WIB, polisi mendorong demonstran hingga ke depan pintu gerbang. Massa aksi membalasnya dengan melempar kayu dan batu. Dari luar, petasan yang tadi sempat dibakar juga kembali dinyalakan. Situasi pun makin chaos dan bentrokan tak terhindarkan.
Bentrokan terjadi kurang lebih 45 menit. Polisi juga beberapa kali mengarahkan pentungannya ke arah massa aksi. Sementara orang-orang tak di kenal dari arah selatan, terus melempar petasan.
Polisi hingga akhirnya berhasil mendorong massa aksi keluar pagar gerbang Kantor DPRD DIY dengan menembakkan water cannon. Di luar, demonstran sudah “ditunggu” oleh preman. Namun, kedua pihak sama-sama menahan diri sehingga bentrokan pun bisa terhindarkan.
Umpatan mengarah pelecehan seksual dari pihak preman
Sejak pukul 00.45 WIB, massa aksi pun perlahan membubarkan diri. Polisi membuat blokade di tengah-tengah jalan, tepat di depan Kantor DPRD DIY.
Massa aksi berbondong berjalan ke arah utara, menuju Taman Parkir Abu Bakar Ali (ABA). Sementara orang-orang tak dikenal tadi, tertahan di sisi selatan, tepat berada di belakang barisan polisi.

Sayangnya, saat massa aksi membubarkan diri dengan tertib, terdengar teriakan bernada pelecehan seksual dari arah orang tak dikenal itu. Sialnya, aksi itu terus berulang dan cuma dibiarkan oleh polisi.
Dosen Hukum UGM Herlambang P. Wiratraman menyayangkan pembubaran massa aksi dari Aliansi Jogja Memanggil dengan water cannon maupun tindakan aparat yang represif. Menurutnya, ini menandakan bahwa kebebasan berekspresi di Indonesia memang tak pernah dijamin secara sungguh-sungguh, dilindungi, apalagi dibentengi.
Lebih lanjut, aparat kepolisian juga seringkali bertindak brutal karena tak paham SOP dan tak menghargai prinsip HAM. Baginya, ini terjadi karena di tataran pimpinan pun tak ada pemahaman soal ini.
“Kekerasan demi kekerasan terus terjadi tanpa adanya pertanggung jawaban, alias impunitas,” kata Herlambang kepada Mojok, Jumat (21/3/2025).
Pantauan Mojok, pukul 02.30 WIB, baik massa aksi, kepolisian, dan orang-orang tak dikenal tadi membubarkan diri.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Trauma Warga dan Anak-Anak Kampung Kentingan Baru Solo Menyaksikan Tetangga Meninggal karena Ulah Polisi dan Mafia Tanah atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.