Anita Dewi tentu bukan satu-satunya orang yang (pernah) kehilangan tumbler (mahal atau kesayangan). Saya pernah kehilangan. Beberapa orang yang saya temui juga mengaku pernah kehilangan. Lantas, sebenarnya bagaimana sih perasaan orang ketika botol minum stainless-nya tersebut hilang?
Tulisan ini berisi ragam Point of View (POV) mereka yang pernah kehilangan botol mahal dan kesayangan. Menyesal, kesal, dan marah, itu pasti. Tapi pada siapa kekesalan dan kemarahan itu pada akhirnya mereka luapkan?
2 kali nyesek, tapi ya sudah lah…
Pertama kali saya menggunakan tumbler pada pertengahan 2024 lalu. Sebelumnya, saya lebih sering secara spontan beli air mineral di warung kalau memang benar-benar haus.
Kalau sedang ingin berhemat, saya kerap pakai siasat menggunakan botol bekas air mineral untuk saya isi ulang di galon kosan. Lama-lama saya merasa perlu punya tumbler agar lebih gampang saja isi ulang air kalau di kantor.
Tumbler pertama saya pun terbeli. Saya pilih merek Eiger Tac di harga Rp200 ribuan. Pertimbangannya punya potensi lebih awet saja. Jadi tak sia-sia keluar uang ratusan ribu. Sayangnya, keteledoran membuat tumbler Eiger itu tak bertahan lama di genggaman.
Botol minum Eiger itu pernah jatuh hingga penyok ketika saya dalam perjalanan ke Boyolali. Ketika melewati jalanan naik dan berkelok, botol itu jatuh dari ransel saya, menggelinding membentur jalan cor, sebelum akhirnya terantuk selokan berisi bebatuan.
Wah, di situ rasanya sudah nyesek sekali. Bagian atasnya penyok. Sementara sekujur tubuhnya lecet-lecet tak tertolong. Tapi karena masih bisa dipakai, ya tetap saya pakai.
Lalu suatu ketika, saat saya ada tugas liputan di Blora, tumbler penyok itu hilang. Saya menyadarinya ketika sudah check out dari penginapan. Di lampu merah, di bawah panas terik matahari, saat saya hendak membasuh tenggorokan, ternyata botol Eiger itu tidak ada di ransel.
Saya sempat kembali ke penginapan untuk memeriksa kamar. Saya juga mencoba memastikan ke petugas hotel yang membersihkan kamar. Tapi ia mengaku tak melihat tumbler di kamar saya.
Rasanya, ah nyesek sekali. Sepanjang jalan saya hanya bisa merutuki diri sendiri karena tak teliti. Tapi sehari kemudian, ya sudah lah. Sudah hilang mau bagaimana lagi. Dan lama-lama nyeseknya hilang-hilang sendiri.
Kesal dan jengkel karena belum tentu bisa beli lagi
Restina (25), perempuan asal Surabaya, mengaku pernah kehilangan tumbler kalcer-nya usai nongkrong di sebuah coffee shop. Ia baru sadar kala suatu pagi, sebelum berangkat bekerja, ia tak mendapati tumbler seharga Rp300-an ribunya di kamar kos.
“Pas aku balik lagi ke coffee shop, tanya ke karyawannya, ternyata mereka ngaku nggak lihat di meja yang kumaksud (tempat Restiana nongkrong semalam). Karena kalau mereka nemu, pasti akan disimpan,” kata Restiana.
“Tapi dicari di loker penyimpanan barang customer yang ketinggalan, nggak ada. Ya sudah mau bagaimana lagi, orang nggak ada. Cuma si karyawan minta kontakku, biar kalau ada bisa hubungi aku. Cuma ya nggak dihubungi, artinya kan memang hilang,” sambungnya.
Lalu Arum (22), mahasiswi di Jogja, mengaku kehilangan tumbler kalcer-nya usai turun dari taksi online. Seingatnya, ketika di taksi online tersebut, ia sempat mengeluarkan botol minumnya itu untuk minum. Lalu ia lupa, apakah si botol sudah ia masukkan kembali ke tas atau justru ia geletakkan.
“Aku kirim DM kan ke driver-nya. Dia bilangnya nggak ngecek, karena setelah antar aku, dia ambil orderan lagi,” ucap Arum.
Sedangkan Kahfi (27) mengaku kehilangan tumbler selepas bermain mini soccer di sebuah lapangan di Jogja. Di antara ketiganya, Kahfi lah yang sampai butuh waktu berhari-hari untuk bisa menerima kenyataan kalau botol minum kalcer-nya—seharga Rp250-an ribu itu—hilang.
“Soalnya niat awal beli di harga mahal biar tahan lama, nggak beli-beli lagi. Kalau sudah hilang, keselnya karena uang kebuang gitu aja gara-gara nggak hati-hati. Kesel aku sama diriku sendiri, nggak gitu aja langsung berpikir beli lagi kan karena ya mikir yang primer-primer dulu lah,” beber Kahfi.
Andai ini, andai itu, tapi tak kejadian
Kehilangan tumbler membuat Restiana dan Kahfi jadi banyak berandai-andai. Andaian bernada penyesalan.
Misalnya, Restiana dengan nelangsa dan jengkel berpikir: Seandainya tadi pas mau pulang dari coffee shop ngecek dulu barang sudah masuk tas semua atau belum, pasti si tumbler nggak bakal hilang.
“Karena aku itu sering begitu, Mas. Gara-gara nggak ngecek, charger pernah hilang. Satu tas kecil berisi make up hilang, haduuuh,” tutur Restiana.
Ia juga berandai-andai dengan penuh harap: Karyawan coffee shop menghubunginya, memberi tahu kalau botol minumnya sudah ketemu dan bisa diambil.
Sementara Kahfi, pada masa ketika tumblernya hilang, berandai-andai tiba-tiba ada transferan “uang kaget” yang masuk ke rekeningnya. Bisa tuh buat beli tumbler baru. Atau ya kali aja tiba-tiba dapat doorprize berisi tumbler kalcer. Kali aja ya kan.
“Ujung-ujungnya juga nyisihin uang lagi buat beli tumbler baru hahaha,” ujar Kahfi.
Tumbler hilang, mau marah ke siapa kalau bukan ke diri sendiri?
Restiana, Arum, dan Kahfi mengaku kalau reaksi pertama yang muncul saat tumbler mereka hilang adalah: Panik, kesal, dan jengkel. Tidak bisa serta merta legawa. Kahfi bahkan butuh berhari-hari untuk bisa benar-benar berdamai atas kehilangan itu.
Tapi mereka sama-sama sepakat: Kalau mau kesal dan marah, mau ke siapa lagi kalau bukan ke diri sendiri? Karena dalam kasus mereka, hilangnya si tumbler tidak lepas dari keteloderan masing-masing.
“Aku punya alasan loh buat marah ke karyawan coffee shop, kenapa mereka nggak sigap ngamanin. Tapi goblok banget sih aku kalau sampai begitu. Orang aku yang ninggalin kok,” kata Restiana.
“Aku bisa aja kasih bintang 1, terus kasih review jelek ke driver taksi online-ku. Tapi aku kan ragu, emang iya hilangnya di taksi? Ya sudah kalau aku tinggal beli lagi aja,” begitu POV Arum.
“Misalnya itu barang memang dibawa orang pas di lapangan, bisa jadi iya. Tapi kan itu salahku sendiri nggak aku jaga bener-bener,” sambung Kahfi. “Padahal nggak punya tumbler juga nggak bikin masalah di hidupku. Jadi nggak mau nyeselin berlarut-larut.”
Kesadaran ke gaya hidup
Mulanya adalah bagian dari kesadaran perihal zero waste. Namun, seiring waktu penggunaan tumbler memang menjadi “gaya hidup kalcer” era sekarang. Rasanya tak afdal saja kalau tak punya untuk di bawa ke mana-mana. Kurang kalcer kalau pakai istilah anak-anak Gen Z.
Itu pun bukan semata karena fungsi utamanya sebagai wadah minuman. Membawa si botol minum stainless itu menjadi semacam modus eksistensi: “Aku juga kalcer, loh,” “Aku punya dari merek populer, loh,” dan lain-lain.
Makanya banyak orang yang tidak mau sekadar beli tumbler (murahan). Tapi harus yang bermerek populer. Sebut saja Eiger, Tuku, Stanley, dan lain-lain.
Sejalan lah dengan teori masyarakat konsumsi Jean Baudrillard: Bahwa nilai sebuah barang bukan lagi pada kegunaannya, melainkan pada nilai tanda (sign value). Dalam konteks tumbler, orang tidak hanya membeli “wadah air”, tetapi membeli “citra diri” yang melekat pada merek si tumbler tersebut.
Kalau laporan Fortune Business Insights (sebuah lembaga peneliti pasar di India) malah menyebut fungsi tumbler sudah menjadi sama pentingnya dengan dompet, ponsel pintar, bahkan kunci mobil.
Jadi wajar saja ketika kehilangannya langsung bikin sumpek, jengkel, bahkan panik. Yang tidak wajar adalah… (Silakan pembaca isi sendiri sesuai konteks yang teman-teman pembaca alami atau saksikan).
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Modal Tumbler Corkcicle, Perantau dari Jogja Taklukkan Kerasnya Gengsi Pergaulan Kerja Jakarta atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












