Sebelum ke sini, Waikin mengaku sempat menjajal beragam pekerjaan. Mulai dari menjadi tukang ngarit rumput di desanya hingga asisten kondektur di Terminal Magelang. Asisten kondektur maksudnya orang yang mencarikan dan mengarahkan penumpang menuju bus sesuai jurusan yang diinginkan. Jika berhasil mengarahkan, ia bakal dapat komisi dari kondektur bus.
Namun, pandemi membuat pekerjaan terakhirnya di terminal harus ia tinggalkan. “Lha sepi banget, Mas, sudah nggak ada uang di terminal,” ujar pria yang mengenakan batik lusuh ini.
Tempat berkumpulnya cerita pahit kehidupan
Kepedihan hidup yang Takim rasakan datang dari kepergian istrinya secara tiba-tiba. Saya ingat, saat itu matanya berlinang air mata saat bercerita. Kepergian istri membuatnya tak kuasa untuk tinggal di rumah. Ia menyadari bahwa saat itu tidak bisa menafkahi materi kepada istri dengan baik.
Bukan hanya Takim, barangkali setiap mereka yang berakhir menggelandang di sekitar UGM punya kepahitan hidupnya masing-masing. Hal yang membuat mereka pergi dari rumah atau terpaksa meninggalkannya.
Mereka biasanya tidur di emperan ruko sekitar Jalan Agro. Tempat yang agak teduh, namun mereka hanya bisa ke sana saat toko-toko itu tutup jelang tengah malam. Langsung harus pergi tatkala pemilik usaha hendak buka kembali di pagi hari.
Kawasan UGM pun tak selalu bisa jadi tempat singgah atau bermalam. Pasalnya, sesekali ada penertiban dari Satpam UGM. Bagi mereka, tidak ada kepastian untuk hidup, bahkan sekadar untuk membayangkan keesokan hari.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News