Usia yang sudah 72 tidak menyurutkan Sutrisno untuk terus bergerak. Berjalan mengitari trotoar Kota Jogja, untuk jual rokok asongan. Hasilnya memang tak seberapa. Namun, jadi bentuk ikhtiarnya untuk bisa belikan jajan untuk kelima cucu.
***
Lelaki itu sedang duduk termenung di pinggiran trotoar Jalan Kahar Muzakir, depan SMAN 6 Jogja saat saya melintas. Mata saya langsung tertuju ke wadah rokok cangklong yang ia letakkan di samping. Wadah berwarna merah dengan tulisan “Cigarete Kretek” bercat putih.
Sempat kebablasan, saya berputar kembali untuk menyapanya. Kebetulan, Rabu (10/7/2024) pagi saat berkeliling untuk mencari bahan tulisan, saya belum sangu rokok. Kehadiran penjual rokok itu sedikit membantu.
“Ada beberapa ini,” ungkap Sutrisno ketika saya menanyakan ketersediaan rokok eceran. Ia menunjukkan beberapa merek rokok dengan bungkus yang sudah terbuka.
Saya mengambil sebatang rokok lalu ikut duduk di sampingnya. Menyalakannya dan kami mulai berbincang.
“Sekarang saya kalau jalan 100 meter saya sudah kudu berhenti. Dulu pas tenaga masih kuat kemana-mana bisa,” kelakarnya.
Hal itulah yang membuatnya hanya jual rokok. Tidak menjual tisu maupun air mineral seperti pedagang asongan kebanyakan. Pasalnya, barang-barang itu membuat bawaannya berat.
Beberapa tahun belakangan, Trisno mengaku seringnya berkeliling di sekitar Terban. Tak jauh dari rumahnya di Kampung Gondolayu.
Di Jalan Kahar Muzakir misalnya, ia biasa memanfaatkan momen pegawai bank dan perkantoran saat makan siang. Setelah makan, sebagian di antara mereka butuh rokok. Trisno memanfaatkan peluang itu.
Jika sedang ada acara wisuda atau hajatan di Grha Sabha Pramana UGM, lelaki ini pun akan berjalan ke sana. Mencoba mencari peluang di tengah keramaian. Biasanya, pembelinya adalah sopir-sopir yang sedang menunggu tamu yang diantar.
“Pokoknya saya jalan kemana-mana. Soalnya nggak ada motor Mas,” tuturnya.
Jual rokok asongan sejak 2006, setelah usahanya bangkrut
Sambil membenahi letak topinya yang agak geser, Trisno menceritakan awal perjalanan usahanya yang bermula dari berjualan warung. Bukan warung berupa kios, melainkan warung tak permanen dari seng di pinggiran jalan. Letaknya di dekat Kantor Pos Gondolayu Kota Jogja.
Ia meneruskan usaha orang tuanya yang telah dirintis sejak tahun 60-an. “Saya mulai buka ngurus warung itu sekitar tahun 83,” kata dia.
Sebelumnya, ia sempat pergi ke Kartasura, tempat istrinya berasal. Tinggal di sana sebentar pascamenikah pada 1981. Mengumpulkan modal lalu kembali ke Jogja membawa istri dan satu anaknya yang lahir pada 1982.
Usaha kecil itu berjalan baik meski dengan pendapatan yang tidak terlalu banyak. Setidaknya, buat orang seperti Trisno, bisa memastikan keluarga kecilnya bertahan dari ke hari sudah cukup baik.
Sayangnya, usaha itu lama-lama mengalami kesurutan. Puncaknya, saat krisis moneter melanda pada 1997, Trisno memutuskan untuk menutup warungnya lantaran hitung-hitungan bisnisnya sudah tidak masuk lagi.
“Sejak saat itu saya sempat kerja serabutan. Apa saja yang penting halal. Mulai jual rokok asongan sejak sekitar 2006,” katanya. Ketika berbicara, deretan gigi palsu Trisno tampak bergoyang-goyang.
Dulu jual rokok hasilnya lumayan, sekarang digencet kebijakan pemerintah dan rokok ilegal
Menurutnya, dulu penjual rokok sepertinya masih bisa mendapat omzet yang lumayan. Laku lebih dari 20 bungkus sehari jadi hal umrah.
Apalagi, dulu jam kerja dan jarak tempuh Trisno lebih panjang karena tenaga masih prima. Sekarang, ia berangkat dari jam 7 pagi dan pulang sekitar jam 2 siang.
“Kalau dulu jual rokok dari pagi sampai gelap. Ya menjelang magrib lah,” tuturnya.
Buat Trisno, masa paling paceklik adalah saat mahasiswa sedang libur. Jogja terasa sepi. Dagangan pun tidak banyak yang beli.
Ia juga merasa, naiknya harga jual rokok bikin penjualannya semakin seret. Ditambah lagi, rokok ilegal yang semakin marak. Dengan uang Rp8 ribu saja sudah bisa beli rokok ilegal satu bungkus.
“Semakin banyak, mereknya aneh-aneh sampai nggak hafal saya. Itu yang sekarang bikin sulit. Saya pilih jualan yang pakai cukai aja daripada nanti kena razia kan,” keluhnya.
Trisno juga masih merokok. Ia mengeluarkan bungkus Gudang Garam Surya. Namun, isinya bukan rokok merek tersebut melainkan lintingan tembakau sendiri atau tingwe. Untuk berhemat ia mengaku memilih tingwe. Tembakaunya beli di Toko Wiwoho, sebuah toko tembakau legendaris di barat Tugu Jogja.
Ditinggal istri, kini bekerja hanya untuk diri sendiri dan kelima cucunya
Sekarang, hasil jual rokok asongan tidak lagi semenjajikan beberapa tahun lalu. Laku lima bungkus sehari saja sudah syukur. Satu bungkus, untungnya paling hanya Rp2500 sampai Rp3000. Paling tinggi memang untung rokok eceran tapi lakunya agak lambat.
Trisno masih bisa menjual belasan bungkus sehari hanya ketika ada acara-acara besar. Misalnya saat wisuda di UGM. Ia akan mendapat kabar dari temannya yang kebetulan fotografer.
“Biasanya saya tanya tentang jadwal acara ke teman lewat telfon. Saya ada hp Android tapi ya nggak terlalu paham. Yang bantu pencet-pencet anak saya,” kelakarnya.
Meski hasil jualannya tidak terlalu menjanjikan, Trisno mengaku memilih terus bertahan. Salah satu alasannya, ia suka pusing kalau diam seharian di kos.
Ketiga anak perempuannya sudah berkeluarga. Namun, Trisno mengakui kalau keluarga mereka tidak terlalu berkecukupan. Dua di antara keluarga anaknya masih tinggal satu atap. Sementara satu anak lain ikut suaminya tinggal di Kalasan Sleman.
“Nggak enak kalau ngandalin anak. Mereka juga perlu untuk kebutuhan keluarga. Jadi saya kerja saja,” tutur lelaki ini.
Sebenarnya, ia mengaku sulit untuk mencukupi kebutuhan dengan berdagang rokok asongan seandainya masih tinggal bersama istri. Pasangan hidupnya itu telah meninggal dunia sejak 2019 silam. Sehingga, praktis hasil jualannya hanya untuk kebutuhan dirinya seorang.
Paling-paling, jika hasil jual rokok sedang agak bagus, Trisno akan menyisihkan untuk jajan kelima cucunya. Cucu paling besar sudah lulus SMK dan sekarang bekerja sebagai pelayan di sebuah gerai Pakuwon Mall Jogja.
“Ya nggak seberapa tapi kalau bisa ngasih cucu itu rasanya senang Mas. Saya cuma harap doa mereka, itu saja,” ungkapnya.
Pembeli sekarang maunya serba digital
Sambil berkelakar, Trisno juga bercerita tentang rupa-rupa pembeli yang perkembangannya sudah tidak lagi bisa ia imbangi. Salah satunya, mulai banyak pembeli yang meminta transaksi dengan QRIS.
“Ada itu sekarang, beli nggak bawa uang tunai. Mintanya scan-scan. Saya ya nggak paham, orang pakai hp Android saja cuma asal sentuh,” kelakarnya.
Di balik itu semua, selagi kakinya masih bisa melangkah, Trisno mengaku ingin terus bekerja. Meski, situasi tak selalu berpihak padanya.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA 3 Alasan Mengapa Notoprajan Jogja Jadi Kawasan Paling Menyebalkan Bagi Driver Ojol
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News