Kehidupan para perantau di kota-kota besar dalam banyak kasus memang selalu penuh dengan cerita-cerita miris. Termasuk cerita perantau Surabaya yang karena tak kuat sewa kos, akhirnya harus gelandang; tidur di warkop, pos satpam, hingga jadi benalu di kos teman-temannya.
***
Membaca liputan Mojok tentang derita para perantau—di Jogja dan Surabaya—yang bertahan di sebuah kos tak layak huni membuat saya jadi teringat pada sosok teman dekat asal Blitar, Jawa Timur, Rizquna (26), yang pernah mencicipi kerasnya hidup sebagai perantau Surabaya.
Bahkan kisah Rizquna cenderung lebih parah. Kalau kuat sewa kos, walaupun tak layak huni, rasa-rasanya masih mending. Namun, Rizquna sama sekali tak kuat menyewa.
Saya sendiri pernah menulis cerita perjuangan Rizquna sebagai perantau Surabaya; kuliah sambil bekerja untuk biaya sekolah adik-adiknya dalam “Ibu, Tempe, dan Skripsi yang Tak Selesai”.
Sejak liputan tersebut tayang hingga sekarang, skripsi Rizquna pada akhirnya memang tak pernah selesai. Tak ada waktu untuk mengerjakannya. Ia keburu memasuki babak baru dalam kehidupan, mencicipi pahit-getir dunia pernikahan.
Kami sempat bertemu kembali pada Sabtu, (6/1/2024) lalu di Ponorogo, Jawa Timur, di acara pernikahan teman dekat kami yang lain. Ia sekarang tinggal di Ponorogo, “numpang” di rumah mertua, dan sudah beranak satu; cowok, seorang anak yang semoga setangguh bapaknya.
“Sudah nggak jualan tempe, tapi masih ada hubungannya dengan kedelai. Sekarang jual sari kedelai,” ceritanya waktu itu.
Sebab, setahu saya sebelumnya, ia bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran yang, untuk ukuran Ponorogo, sudah terbilang mewah. Namun ternyata, baru-baru ini ia sudah tidak jadi pelayan.
“Sekarang jadi juru parkir. Tapi masih di restoran itu. Hasilnya cukup kok,” ungkap eks perantau Surabaya tersebut.
Ah, Rizquna, ia masih setangguh yang saya kenal dulu.
Jadi Perantau Surabaya yang terusir dari rumah saudara sendiri
Sebenarnya, pada masa-masa awal menjadi perantau Surabaya, Rizquna sempat numpang di rumah saudaranya di Kenjeran, Surabaya Utara.
Di rumah saudaranya tersebut, Rizquna ikut bantu-bantu membuat dan menyetor tempe ke pelanggan. Jadi dari pagi sampai sore ia akan kuliah di UIN Sunan Ampel Surabaya (UINSA), lalu malamnya akan membuat tempe, kemudian subuh ia akan setor.
Begitulah siklusnya selama beberapa bulan tinggal di rumah saudaranya tersebut.
Namun, keadaan berubah saat Rizquna mulai sering pulang larut malam. Ia mulai aktif mengikuti organisasi. Selain itu juga sering ikut ngopi dengan teman-teman tongkrongannya di kampus.
“Sebenernya ngopinya kan nggak asal ngopi. Aku nyicil tugas. Karena aku nggak punya laptop, jadi harus pinjam,” tuturnya saat saya minta untuk bercerita lagi lewat sambungan telepon, Sabtu, (17/2/2024) malam.
“Kan laptopmu yang pasti kupinjam, hahaha,” sambungnya.
Kebiasaan Rizquna tak pelak membuat saudaranya geram. Rizquna dituding kelayapan.
Ia sendiri sudah mencoba menjelaskan apa yang sedang ia lakukan kok bisa pulang sampai larut malam. Akan tetapi, saudaranya tak mau mengerti.
“Daripada sama-sama nggak enaknya, aku keluar (dari rumah),” lanjutnya.
Perantau Surabaya yang menggelandang di warkop
Rizquna kemudian memutuskan menjadi perantau Surabaya yang menggelandang. Tidur sak nggon-nggon (di mana aja).
Saat itu, ia menitipkan tas berisi pakaian di kos saya. Sementara untuk tidur, ia sering kali memilih tidur di warkop langganan kami di Wonocolo. Namanya Warkoplak. Sayangnya sekarang sudah pindah entah ke mana.
Dengar-dengar, harga sewa tempatnya mahal. Alhasil, Gugun (si pemilik Warkoplak) memutuskan untuk tidak memperpanjang sewa. Ia pindah tanpa pemberitahuan ke kami para pelanggannya sejak lebaran 2023 lalu.
Yang enak di Warkoplak, kursinya berupa bangku panjang dan lebar. Enak buat tidur. Selain itu, biasanya setelah tutup pada jam satu dini hari, WiFi akan tetap nyala. Sehingga, Rizquna bisa tetap WiFian, entah untuk scroll-scroll media sosial atau mengerjakan tugas.
Gugun sampai hapal dengan kebiasaan Rizquna itu. Untung saja Gugun orangnya agak pedhot dikit. Jadi aih-alih menegur Rizquna, malah justru menertawakan nasib sialnya terusir dari rumah saudara.
“Cuma harus tahan sama nyamuk kalau di Warkoplak,” ujar lelaki yang sudah khatam kerasnya jadi perantau Surabaya itu.
Perantau Surabya yang tidur di pos satpam hingga jadi benalu di kos teman
Pagi hari setelah bangun, Rizquna akan geser dari Warkoplak ke kos saya untuk mandi dan ganti baju. Setelah itu, ia akan mencuri-curi tidur di kampus.
Baik saya dan Rizquna saat itu harus kucing-kucingan dengan ibu kos. Karena sekalinya ketahuan, sudah pasti kena semprot. Dan itu sudah berkali-kali terjadi.
Tapi mau bagaimana lagi. Rizquna tak ada biaya untuk sewa kos. Uang yang ia dapat dari kerja ia bagi untuk bayar UKT, untuk hidup sehari-hari, dan kalau ada sisa, akan ia kirim untuk sekolah adiknya.
Rizquna sempat bekerja di warung bebek Wahid Hasyim, warung bebek yang cukup terkenal di Surabaya. Kemudian ia bekerja sebagai satpam di Universitas Negeri Surabaya (UNESA) kampus Lidah Wetan.
“Waktu itu sesekali tidur di pos. Tapi kalau ada jam kuliah, mending ke kampus. Walaupun di kelas tidur, tapi seenggaknya nggak absen,” ujarnya.
Kini “numpang” di rumah mertua
Setelah mencicipi kerasnya menjadi perantau Surabaya, pada masa pandemi Covid-19 ia memutuskan pulang ke Blitar, lalu mencoba usaha tempe.
Usaha tempenya berjalan lancar. Pelanggannya pun banyak. Sayangnya, ia harus melepasnya karena kemudian pindah ke Ponorogo usai resmi menikah dengan kekasihnya pada 15 Desember 2021. Usaha tempenya tersebut kini dilanjutkan oleh sang adik.
“Bahkan sampai sekarang masih gelandang, to. Dulu gelandang di warkop, sekarang di rumah mertua,” kelakarnya.
Namun, Rizquna mengaku beruntung memiliki mertua yang sangat baik dan tidak kedonyan (duniawi). Sebab, sama seperti sang istri, mertuanya tersebut menjadi orang yang selalu mencoba mengerti kondisi dari Rizquna.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Nestapa Perantau di Jogja Rela Bertahan dengan Kos Nyaris Ambruk karena Bapak Kosnya Baik
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News