Saya bingung harus tertawa atau bersedih saat mendengar cerita Jaya (25). Pasalnya, ia punya pengalaman yang memilukan soal kerasnya jadi perantau di Jakarta. Lima tahun lamanya, dia hidup sengsara di ibu kota dan terpaksa memendam rindu kampung halaman karena tak bisa mudik. Namun, di sela-sela kisah pilu itu, Jaya terus-terusan bercerita dengan selingan lelucon garing. Tidak ketawa mubazir, tapi kalau mau ngakak takut dosa.
Jaya adalah kenalan saya. Kami sama-sama berasal dari Wonogiri. Bedanya, saya sudah menetap di Jogja sejak 2017, sedangkan dia baru pada awal 2023 lalu bekerja di sini.
Ia bekerja di salah satu warung makan bebek goreng yang kondang di Jogja. Pertemuan kami pun juga dari tempat kerjanya itu. Jadi, warung bebek goreng tempat Jaya bekerja punya banyak cabang di Solo. Nah, sudah jadi rahasia umum kalau para pegawainya di cabang Solo adalah orang-orang Wonogiri. Makanya, ketika mampir ke salah satu cabangnya di Jogja, saya tembak saja langsung.
“Mas, dari Wonogiri ya?,” tebak saya waktu itu. Ia tak hanya mengangguk, tapi juga langsung grapyak. Orangnya memang mudah akrab dengan orang lain berkat jokes bapak-bapaknya. Sejak saat itu, kami jadi mengenal satu sama lain.
Dua tahun luntang lantung di Jakarta gara-gara kena tipu saudara brengsek
Sebelum kerja di Jogja, Jaya sebelumnya menjadi perantau di Jakarta. Tapi jangan bayangkan di sana ia bekerja enak. Hidupnya luntang-lantung, tanpa kerjaan yang jelas.
Setelah lulus SMA pada 2017 lalu, salah seorang saudaranya yang “terlihat” sudah sukses datang ke rumahnya menawarinya kerjaan sebagai loper toko-toko kelontong di Jakarta. Bagi orang desa, bisa merantau ke ibu kota adalah kemewahan. Apalagi kalau sudah ada jaminan kerjaan tetap dan gaji tinggi.
“Saat itu dia menawari gaji 3 juta sebulan. Tinggal di mes dan uang makan. Jadi katanya 3 juta itu penghasilan bersih,” kisah Jaya, saat di bertandang ke kosan saya di sela-sela santap sahur, Selasa (26/3/2024).
Saudaranya itu terlihat meyakinkan. Ia datang ke rumah Jaya dengan mobil. Pokoknya semua syarat kesuksesan di Jakarta ada pada penampilannya.
Masalahnya, karena kerja di loperan, saudaranya itu minta jaminan sebesar Rp2 juta. Itu adalah uang komitmen sekaligus deposit yang akan dikembalikan secara bertahap dalam enam bulan.
“Jadi di loperan gitu harus ngasih jaminan 2 juta, kan takutnya pekerjanya kabur bawa barang. Tapi katanya secara bertahap uang itu akan kembali selama enam bulan ditambahkan ke gaji kita.”
Jaya sepakat. Restu orang tua juga ia dapat. Pinjaman Rp2 juta dari tetangga akhirnya mendarat juga di kantong saudaranya itu. Masa depan yang lebih baik rasanya hanya berada lima sentimeter di depan mukanya.
“Brengsek! Nyatanya enggak kayak gitu,” air muka penuh rasa kecewa dan dongkol terpancar dari mukanya saat menceritakan bagian ini.
Ditinggal di terminal sendirian, masih hidup berkat ketemu pedagang asongan
Setelah semuanya sudah siap, Jaya dan saudaranya yang menjanjikan kerjaan di Jakarta itu berangkat dari Terminal Tirtonadi, Solo. Tujuh jam perjalanan ia lalui sebelum akhirnya sampai di Terminal Pulogadung, Jakarta Timur.
Begitu sampai di ibu kota, lagak mencurigakan mulai saudaranya tunjukkan. Awalnya, ia meminta ponsel Jaya, katanya mau pinjam sebentar buat menghubungi bos buat menjemput mereka. Jaya juga dimintai uang Rp50 ribu untuk membeli makanan kecil, katanya sih mau dikembalikan.
“Waktu itu aku cuma pegang 50 ribu, sama 5 pasang baju di tas,” ujarnya membuka kisah pilunya sebagai perantau di Jakarta.
Jaya sama sekali tak curiga dengan saudaranya itu. Namun, karena tak kembali setelah hampir sejam meninggalkannya, rasa was-was mulai menghampiri. “Itu posisi udah mau Maghrib, tapi dia enggak juga kelihatan.”
Jaya tak bisa menahan tangis. Perut lapar dan berada di kerumunan orang-orang asing bikin dia amat ketakutan. Di tengah suasana hatinya yang campur aduk, seorang pedagang asongan mendatanginya, menawari makan dan mengajaknya ngobrol. “Aku selalu mikir Jakarta itu tempatnya orang-orang jahat. Tapi enggak tahu kenapa ketika bapak itu menawari pertolongan buat sementara tinggal di kos-kosan sempitnya aku mau-mau aja,” katanya. Tahu telah kena tipu, perasaan dendam kepada saudaranya itu menancap di hatinya.
Jadi tukang parkir sampai kuli bangunan pernah dia jalani di Jakarta
Boleh dibilang, ia hidup sebatang kara di Jakarta. Satu-satunya harta berharganya hanya beberapa lembar baju dan secarik kertas dengan nomor HP adiknya.
Karena tawaran kerja di Jakarta dari saudaranya itu cuma tipu-tipu, mau enggak mau Jaya kudu cari pekerjaan lain. Ia juga tak bisa selamanya numpang. Apalagi numpang tidur dan makan tanpa kontribusi apa-apa.
Alhasil, kerja jadi tukang parkir sampai nguli di proyek-proyek harus ia jalani. Kerasnya hidup di Jakarta benar-benar Jaya rasakan. Kerja banting tulang cuma demi makan di hari itu jadi kesehariannya.
Ia memang bisa nabung buat membeli ponsel bekas guna menghubungi orang rumah. Namun, tetap saja, ada perasaan tak tega buat jujur ke orang tua kalau hidupnya luntang-lantung di Jakarta.
“Aku cerita kalau saudara kami memang nipu,” kata dia. “Tapi, soal hidup di Jakarta, aku ngakunya ketemu juragan bakso dan dibantu kerja di sini. Supaya keluarga di rumah tak khawatir.”
Tak pernah bisa mudik karena tak punya duit
Jangankan buat mendongkrak ekonomi keluarga–sebagaimana cita-citanya sebagai perantau di Jakarta–buat makan sehari-hari aja sulit. Pada lebaran pertama pasca merantau, Jaya memutuskan tak pulang. Alasannya, “juragan enggak ngasih libur karena warung ramai”. Jelas ini kebohongan meski orang tuanya tetap percaya dan mempercayainya.
“Aku juga selalu berusaha ngirim uang bulanan dari yang kutabung tiap harinya.”
Saya tak mampu membayangkan betapa pedih kehidupan yang dijalani Jaya. Selama lebih dari dua tahun, kerja serabutan ia sikat demi makan sehari-hari dan nabung buat kiriman orang tua. Ia berkisah, misalnya, dalam sehari paling tidak ia bisa mengumpulkan uang Rp70 ribu hasil dari nguli proyek. “Yang 30 ribu aku tabung, sisanya buat makan sama ngumpulin bayar kos,” tuturnya.
Boleh saya bilang, menjadi kuli proyek adalah kerja fulltime-nya di Jakarta, meski hasilnya kadang tak menentu. Alhasil, selama dua tahun Jaya “tak tega” buat pulang karena tak pegang uang. Lebaran 2018 dan 2019, ia tak mudik karena alasan bohong “tidak bisa libur” tadi. Untungnya, orang tuanya amat mempercayainya, meski tiap kali lebaran ia hanya bisa mendengar alunan takbir idul fitri dari kamar sempit kosnya, sambil berderai air mata.
“Lebaran selalu menyiksa. Tak pulang rindu, mau pulang malu!,” kata Jaya.
Baca halaman selanjutnya…
Pulang setelah 5 tahun, tapi rumah sudah raib juga gara-gara saudara