Tidak ada tangis. Apalagi nyawa melayang. Perang sarung—yang selalu jadi tren di setiap bulan Ramadan—dulu tidak lebih dari permainan anak-anak dan remaja belaka. Hanya ada kesan seru yang berujung tawa.
Sayangnya itu dulu. Sekarang lain cerita. Perang sarung kini justru lebih identik dengan perilaku kriminal dan meresahkan. Coba ketik “perang sarung” di mesin pencari. Yang muncul adalah berita-berita yang tak terbayangkan bisa dipicu oleh perang sarung: dipicu oleh sebuah permainan, permainan khas bulan Ramadan pula, bulan yang seharusnya penuh kedamaian.
Perang sarung sebabkan nyawa melayang
Misalnya yang terjadi pada Muhammad Hilman Herdian (14), remaja asal Cirendeng, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Menurut laporan Polres Kuningan, Hilman ditemukan sudah tidak bernyawa di area Tempat Pemakaman Umum (TPU), Caringin, Cirendeng, pada Kamis (6/3/2025).
Sebelumnya, Hilman dan beberapa remaja lain disebut terlibat perang sarung. Saat kelompok Hilman kalah dan lari dari lokasi perang, Hilman diduga tertinggal dan mengalami penganiayaan dari pihak lawan.
Dalam konferensi persnya di Mapolres Kuningan Jumat (7/3/2025), Kapolres Kuningan, AKBP Willy Andrian Willy menyebut ada beberapa faktor kematian Hilman. Salah satunya adalah fakta bahwa Hilman memiliki penyakit bawaan: jika terlalu lelah bisa pingsan.
Namun, bagaimanapun, kejadian nahas itu awalnya dipicu oleh perang sarung antaremaja. Tren setiap Ramadan yang lantas menjadi atensi tersendiri bagi Willy.
Modus rampok motor
Rabu, (5/3/2025), akun Instagram sekaligus X @merapi_uncover mengunggah kejadian perang sarung antaremaja di daerah Pakem, Sleman.
Konteks video tersebut tidak begitu jelas. Namun, kini diketahui fakta bahwa perang sarung tersebut ternyata hanya modus untuk merampok motor. Hal ini seperti diungkapkan oleh Kanit Reskrim Polsek Ngemplak, Iptu Lili Mulyadi di Polresta Sleman, Rabu (12/3/2025) kemarin.
Perang sarung tadi pagi di pokoh timur terminal pakem , Yo Ono sek nggowo helem ditaleni sarung , Ono sek nggowo sabuk.
Seko kulon mau wis oyak oyakan Kuwi min pic.twitter.com/jSflZfy9bO
— Merapi Uncover (@merapi_uncover) March 5, 2025
Kronologinya, sekelompok remaja memang sempat perang sarung di Tlogo Putri. Namun, pelaku yang diketahui berinisial ZA (18) dan empat remaja lainnya ternyata sudah mengincar motor korban.
Benar saja. Seusai perang sarung, ZA membuntuti korban saat dalam perjalanan pulang. Ketika melintas di SPBU Pokoh, Umbulmartani, Ngemplak, ZA menabrak motor korban. Korban yang jatuh lantas dipukul oleh ZA dan geng. ZA dan geng lantas merebut motor dari korban, membawanya lari.
Perang sarung jadi kriminal karena energi Gen Z tak tersalurkan
Dua berita di atas hanya contoh saja. Berita-berita bagaimana perang sarung kini menjelma menjadi tindakan destruktif dan kriminal masih banyak dan terus bermunculan di mesin pencari. Nyaris setiap hari selalu ada kasus baru.
Menurut Radius Setiyawan, pengajar mata kuliah Cultural Studies Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, dalam perspektif Sosiologi fenomena ini berkaitan erat dengan penyediaan ruang publik yang memadai bagi anak muda sebagai arena untuk mengekspresikan diri.
Generasi muda—khususnya Gen-Z—bagi Radius memiliki energi yang sangat besar. Mereka cenderung mencari cara untuk menyalurkannya.
“Tanpa adanya ruang yang tepat untuk berkreasi atau beraktivitas, mereka mungkin terjerumus pada kegiatan yang berisiko dan merugikan, seperti perang sarung dan mercon,” ujar Radius dalam keterangan tertulisnya.
Meski begitu, menurut Radius, penting untuk dicatat bahwa penghakiman terhadap perilaku anak muda yang dianggap menyimpang bukanlah solusi yang efektif. Sebaliknya, negara perlu hadir untuk memberikan perhatian lebih terhadap penyediaan ruang publik yang lebih sehat, aman, dan produktif bagi generasi muda.
“Pemerintah daerah, bersama dengan institusi pendidikan dan agama, harus berpikir kreatif dalam menciptakan ruang-ruang yang tidak hanya mengakomodasi kegiatan positif tetapi juga mengedukasi dan memberikan nilai-nilai sosial yang bermanfaat,” papar Radius.
Masyarakat juga harus berperan
Oleh karena itu, sangat penting untuk memikirkan bagaimana energi berlebih mereka dapat diarahkan ke hal-hal yang lebih berguna dan positif. Tidak mengarah lagi pada hal-hal destruktif seperti perang sarung yang belakangan terbukti selalu mengarah pada tindakan kriminal.
“Ruang-ruang yang dibangun secara partisipatif dan melibatkan mereka dalam proses perencanaan akan membuat mereka merasa lebih dihargai dan bersemangat untuk berpartisipasi,” kata Radius. Adapaun ruang-ruang yang bagi Radius cocok untuk menampung energi anak-anak muda yakni:
“Misalnya, fasilitas olahraga, seni, atau kegiatan sosial yang melibatkan komunitas. Dengan demikian, mereka dapat menyalurkan energi mereka secara lebih konstruktif, dan terhindar dari kebiasaan yang justru merugikan diri sendiri dan orang lain,” jelas Radius.
Perlu dicatat pula, menciptakan ruang publik yang sehat bagi anak muda bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Maka, Radius berharap masyarakat juga turut berperan dalam mewadahi aspirasi anak-anak muda.
Jika mereka merasa aspriasinya didengar, semoga saja kecil potensinya untuk mencari pelampiasan ke hal-hal yang tidak diinginkan. Begitu harap Radius.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Hobi Berkelahi Bukan Berarti Masa Depan Suram, Bisa Buktikan Prestasi di Arena MMA atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan