Angka nikah muda di Indonesia masih sangat tinggi. Bahkan, tertinggi ke-8 di dunia, menurut data dari UNICEF. Hal ini pun menyita perhatian publik karena berpotensi memunculkan masalah sosial ke depannya.
Mojok berbincang dengan Anna (22) dan Devi (20), dua perempuan yang mengaku menyesal telah menikah muda. Berdasarkan pengalaman kedua perempuan ini, menikah di usia dini lebih banyak enggak enaknya. Lantas, seperti apa pengakuannya?
***
Saat tengah berselancar di salah satu grup Facebook, saya menjumpai obrolan menarik. Melalui sebuah postingan, seorang perempuan membagikan kisah sedihnya mengenai nikah muda. Perempuan ini bercerita kalau ia dan suaminya sama-sama menikah saat berusia 20 tahun. Sayang sekali, bukannya bahagia dia malah mendapat banyak derita.
Nikah muda menurut netizen
Berdasarkan apa yang saya baca, sang perempuan mengaku kalau suaminya yang selama ini ia anggap baik, ternyata tak sebaik ketika masih berpacaran. Selama tiga tahun pacaran, suaminya itu ia kenal sebagai pribadi yang lembut, penyabar, dan tak perhitungan. Namun, setelah menikah, sifatnya aslinya seolah muncul. Lelaki itu berubah jadi orang yang pemarah, suka main tangan, dan sangat pelit bahkan untuk urusan beli susu anak mereka yang masih bayi.
Saya pun sangat bersimpati dengan pengalaman yang perempuan tersebut alami. Harus diakui juga kalau ada unsur kekerasan dalam rumah tangga alias KDRT di dalam relasi hubungan itu. Sayangnya, setelah membaca isi kolom komentar, saya harus mengelus dada.
Bagaimana tidak, bukannya simpati dan dukungan yang ia dapat, tapi malah hujatan. Para warganet yang ngasih komentar, hampir semuanya menghujat, menceramahi, dan menggurui.
Ada yang bilang kalau nikah muda enggak masalah sebab mereka baik-baik saja, ada yang menyuruh istri buat bersabar karena “itu sudah jadi kewajibannya”, dan tak sedikit pula yang mengajak untuk tak takut nikah muda karena itu bisa menghindari zina.
Harus saya akui, pengalaman netizen itu valid, sebab mereka yang mengalaminya. Namun, harus kita akui juga kalau curhatan perempuan yang mengaku menyesal tadi juga valid karena dia juga merasakan deritanya.
Lulus SMA langsung nikah
Anna (22), perempuan yang saya hubungi melalui Facebook, bercerita kalau dirinya menikah di usia 20 tahun. Begitu juga dengan suaminya–kini sudah ia ceraikan–yang merupakan teman SMA-nya. Kata Anna, setelah lulus SMA, ia berpacaran dengan mantan suaminya itu. Anna sendiri kala itu masih berkuliah, sementara mantan suaminya kerja serabutan.
Anna mengaku, saat itu ia memutuskan berhenti berkuliah karena pacarnya tadi ngebet untuk menikahi. Sempat ada dilema, tapi akhirnya Anna luluh pada ajakan kekasihnya.
“Kebetulan kuliah juga lagi berantakan karena pandemi. Yaudah, saya putuskan mau nikah karena harapannya kehidupanku nanti bakal ada yang jamin,” kata Anna waktu saya hubungi pada Senin (8/1/2024) malam.
Kala itu, yang ada di kepalanya cuma satu hal: cinta. Ia mengaku melupakan aspek-aspek lain seperti misalnya kesiapan ekonomi sang calon suami, hingga apakah ia sudah mengenal betul watak calon suaminya itu. Namun, karena calon mertuanya terus mendesak, ia akhirnya mau dan mereka menikah pada akhir 2020 lalu.
Nikah muda tidak jadi masalah di mata hukum
Saya pun juga sempat menemui Sosiolog UNY Sasiana Gilar Apriantika dan meminta pandangannya soal pernikahan dini narasumber saya itu. Sebagai informasi, Sasiana sendiri merupakan dosen Fakultas Ilmu Sosial, Hukum, dan Ilmu Politik (Fishipol) UNY yang punya fokus pada kajian soal perempuan, gender, dan keluarga.
Menurut Sasiana, fenomena nikah muda sebenarnya tidak menjadi masalah dari kacamata hukum. Sebab, UU Perkawinan sendiri memang menyebut bahwa laki-laki atau perempuan yang sudah berusia 19 tahun boleh untuk menikah. Namun, dari perspektif sosiologis, ini berpotensi memunculkan masalah dalam pernikahan di kemudian hari.
“Kalau bicara mental atau kematangan, memang masing-masing orang beda-beda. Namun, rata-rata mereka mencapai kematangan di atas usia 21 tahun. Terlebih bagi perempuan, sebelum usia 21 biasanya organ reproduksinya juga belum siap. Variabel-variabel tersebut beberapa faktor yang di kemudian hari dapat memicu masalah,” kata Sasiana, Selasa (9/1/2024).
“Belum lagi kalau kita ngomongin faktor ekonomi. Apakah mereka sudah matang secara finansial di usia muda tersebut? Sebab, jika belum, ini juga bisa menjadi sumber masalah lain.”
Sikap suami berubah 180 derajat
Masalah-masalah dalam pernikahan, seperti yang sebelumnya Sasiana singgung, juga Anna alami. Ia bercerita, hal yang paling mencolok di awal pernikahannya adalah sikap suaminya yang berubah 180 derajat. Ia berpikir bahwa tiga tahun pacaran adalah waktu yang cukup baginya untuk mengenal sang suami. Nyatanya hanya panggang jauh dari api.
Saat ia sedang hamil, misalnya, Anna bercerita kalau sang suami seolah tak memperdulikan nutrisi calon buah hati. Kebutuhan dasar seperti susu kehamilan saja selalu berada di daftar bawah. Suami lebih senang menghabiskan uang untuk memberi makan hobinya.
“Ia selalu bersembunyi di balik kata ‘lelaki juga butuh hobi’. Padahal, nutrisi anak ‘kan harusnya lebih penting,” ujar Anna.
Namun, yang bikin Anna benar-benar muak, terjadi pertengahan tahun 2023 lalu. Kala itu, Anna sedang menagih sang suami untuk membelikan segala kebutuhan bayi mereka karena sudah mau habis. Sayangnya, selama berhari-hari suaminya hanya mengacuhkan. Akhirnya, ia menagihnya lagi hingga terjadi adu mulut.
“Dia akhirnya main tangan. Itu pertama kali saya dipukul seumur hidup saya. Yang bikin bulat tekad memutuskan untuk bercerai,” kata Anna.
Faktor-faktor nikah muda
Kendati rentan menimbulkan masalah, nyatanya angka nikah muda di Indonesia masih sangat tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022 lalu menunjukkan bahwa 33,76 persen pemuda di Indonesia mencatatkan usia kawin pertamanya di rentang 19-21 tahun. Bahkan, ada juga yang pertama kali menikah saat berusia 16-18 tahun, sebanyak 19,24 persen. Angka ini menjadi yang tertinggi ke-8 di dunia menurut data UNICEF.
Sasiana Gilar menyebut, ada banyak faktor yang membikin nikah muda seakan menjadi tren bagi kalangan Gen Z hari ini. Namun, faktor yang menurutnya punya pengaruh paling signifikan adalah interseksi antara agama dan ekonomi.
“Banyak orang meyakini kalau pernikahan itu wajib, sakral, dan harus disegerakan. Misalnya, dengan dalih agar anak-anak menghindari zina,” jelas Sasiana.
“Tapi ada juga, di desa-desa banyak kita temui anak-anak usia 16-18 dinikahkan. Ada anggapan kalau seorang perempuan sudah menikah, maka ada satu beban di keluarga yang sudah lepas karena kehidupannya telah menjadi tanggunggan suami. Jadi, faktor ekonomi juga berpengaruh bagi masyarakat, khususnya di pedesaan,” sambungnya.
Selain itu, Sasiana juga mengakui kalau tren nikah muda juga terjadi karena pengaruh budaya pop. Kata dia, hari ini ada banyak artis dan influencer yang seolah mengglorifikasi soal nikah muda, misalnya, pada kasus pernikahan Pratama Arhan dan Azizah. Pesohor-sohor ini, selalu memamerkan nikmatnya nikah muda yang akhirnya banyak masyarakat tiru.
“Di media sosial, pasti hanya bagus-bagusnya aja yang ditampilin. Akhirnya masyarakat berpikir, ‘oh, enak ya, kenapa enggak buat nikah muda’. Padahal, tidak semua orang punya privilese, salah satunya secara finansial, seperti pesohor-pesohor tersebut.”
Nikah muda karena ikut-ikutan artis
Pengaruh artis, agaknya dirasakan betul oleh Devi (20). Perempuan asal Kota Jogja ini mengaku kalau pernikahan Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah menjadi “inspirasinya” buat nikah muda. Padahal, usia Devi baru 19 tahun saat menikah November 2022 lalu. Sementara suaminya hanya setahun lebih tua.
Devi, yang kini bekerja di salah satu gerai makanan cepat saji di Pakuwon Mall, merasa kalau pernikahan bakal membuat hidupnya lebih terjamin.
“Dari hal paling kecil aja. Kalau ada masalah, paling enggak ada orang yang bisa diajak cerita,” kata Devi, Senin (8/1/2024) malam.
Sayangnya apa yang ia harapkan malah berkebalikan. Jangankan hidup enak seperti Atta-Aurel, kini buat kebutuhan sehari-hari saja ia harus memutar otak supaya bisa cukup.
“Waktu belum nikah sih masih enak cuma mikirin perut sendiri. Sekarang harus mikir buat suami lah, transferan ke orang tua juga, belum lagi nanti kalau tiba-tiba aku punya anak. Kayaknya makin pusing.”
Kalau gajimu masih UMR Jogja, jangan kawin
Waktu ideal buat menikah, bagi masing-masing orang memang berbeda. Hal ini pun juga Sasiana Gilar akui, bahwa antara satu orang dan yang lain punya kesiapan yang berbeda-beda untuk menikah.
Namun, Sasiana menegaskan, paling tidak ada dua hal yang harus menjadi pertimbangan sebelum menikah.
“Penting dilihat, apakah kita sudah mandiri secara ekonomi. Penting juga apakah mental kita sudah benar-benar matang, karena kita akui orang yang berusia 29 tahun kebanyakan jauh lebih matang dalam mengambil keputusan ketimbang seseorang yang usianya 21. Minimal dua hal itu yang harus disiapkan,” jelasnya.
Sementara bagi Devi, ia merasa bersyukur bahwa suaminya bukan orang yang neko-neko. Setelah setahun lebih menikah dan hidup bersama di kontrakan kecil di Jogja, sikap pasangannya itu masih sebaik saat masih pacaran. Hampir tak berubah, bahkan mungkin cenderung lebih dewasa.
Akan tetapi, Devi juga mengakui bahwa momok terbesarnya terletak di masalah finansial. Ia dan sang suami sama-sama pekerja non-kontrak. Di tempat kerja masing-masing, keduanya dibayar per-shift, yang jika ditotal dalam sebulan mentok di angka UMP Provinsi DIY.
Ia juga tak tahu apakah di kemudian hari masalah finansial ini bakal bikin masalah di keluarganya. Devi hanya berharap agar hal-hal buruk tak terjadi di keluarga kecil yang baru ia rintis.
“Kalau menyesal banget sih enggak terlalu, hanya sedikit getun. Suami mungkin juga ngerasa. Dan sebagai orang yang udah mengalami, cuma mau berpesan aja, jangan buru-buru kawin kalau gajimu masih setara UMR Jogja. Mapan dulu,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Sambatnya Orang yang Menikah Muda: Jangan Nikah Sebelum Lulus Kuliah!
Ikuti berita terbaru dari Mojok di Google News