Jual Bodrex paling untung Rp200 tapi tukang parkir dapat Rp2000
Penolakan demi penolakan Adit dan keluarganya layangkan karena prinsipnya bahwa apotek ini belum perlu penataan parkir. Selain itu, ia mengaku tak nyaman dengan perilaku pungli sekaligus kasihan terhadap pelanggan.
“Kasihan pembeli yang beli obat murah, nggak sampai Rp5000 masa parkirnya lebih dari setengahnya,” keluhnya.
Selain itu, terkadang, sebagai pengusaha ia merasa miris. Ia mengaku margin penjualan obat-obatan tidak selalu besar. Bahkan, banyak di antaranya yang hanya ratusan rupiah saja.
“Bayangkan saja, jualan obat Bodrex itu untungnya nggak sampai Rp200, tukang parkirnya dapat Rp2000,” tuturnya.
Nominal Rp2000 memang tidak terlalu besar. Namun, baginya tidak semua orang rela untuk menyerahkan jika tidak merasa perlu.
Mengenai keamanan, ia melihat pembeli apotek hanya singgah sebentar. Tidak sampai 15 menit sehingga masih bisa sambil mengawasi kendaraannya yang terparkir. Hal itu menjadi landasan lain mengapa ia beranggapan bahwa tukang parkir belum dibutuhkan.
Menurutnya, beberapa tukang parkir memang menawarkan membagi hasil. Namun, tetap saja bagi Aditkenyamanan pelanggan tetap jadi hal utama yang ia tawarkan.
“Bahkan beberapa ada yang bilang akan menarik parkir seikhlasnya. Tanpa mematok tarif, tapi nanti praktiknya tetap saja sulit dikontrol,” ujarnya.
Para pengusaha yang menegosiasikan parkir demi pelanggan
Di Jogja, sebenarnya ada juga fenomena pengusaha yang berusaha bernegosiasi dengan pihak yang meminta izin untuk mengelola parkir. Salah satunya adalah Mato Kopi, sebuah kedai kopi terjangkau yang jadi andalan kalangan mahasiswa.
Secangkir kopi hitam di sana bisa dibeli seharga Rp6000 saja. Pemiliknya, Hanafi Baedowi berujar memang ingin menghadirkan kopi yang terjangkau. Maka, persoalan parkir pun ia tak ingin membebani pelanggan.
Demi membuat pelanggan tidak terbebani biaya tukang parkir, Cak Hanafi membuat kesepakatan sebelum menyewa lahan. Semua cabang Mato dan Secangkir Jawa menggunakan lahan yang disewa dari desa atau kelurahan. Menurutnya durasi sewanya beragam, mulai dari lima hingga dua puluh tahun.
“Sebelum sewa saya bilang. Saya maju (menyewa) kalau nanti tidak ditariki biaya parkir. Kalau ada warga yang mau menarik parkir, masuk saja ke warung, saya gaji tapi tidak narik dari pelanggan,” ujarnya saat Mojok wawancarai.
Kini, Mato Kopi terus bertahan dengan beberapa cabangnya di Jogja. Ratusan kendaraan terparkir setiap hari di masing-masing cabang, pelanggan pun tak perlu mengeluarkan uang tambahan.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
*Penyebutan lokasi di artikel diperbarui atas keinginan narasumber demi melindungi keamanannya.
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News