Apa yang membuat ribuan anak dari berbagai daerah di Indonesia setiap tahun mengikuti Audisi Umum PB Djarum? Apakah menjadi atlet bulu tangkis di klub tersebut dapat menjamin masa depan, meski sudah tidak berkarier sebagai atlet?
Pertanyaan itu muncul begitu melihat antusiasme luar biasa para atlet cilik setiap kali Audisi Umum PB Djarum dibuka. Pada 2024, dari sekitar 1.966 peserta audisi, hanya sebelas orang yang lolos menjadi atlet PB Djarum, terdiri atas enam atlet putra dan lima atlet putri.
Di Audisi Umum PB Djarum 2025, ada lima puluh atlet bulu tangkis berusia 8–12 tahun yang akan masuk tahap karantina selama kurang lebih empat minggu. Mereka nantinya akan diseleksi kembali untuk menentukan siapa saja yang akan masuk Perkumpulan bulu tangkis (PB) Djarum atau Djarum Badminton Club. Klub bulu tangkis yang resmi berdiri tahun 1974 di Kudus karena kecintaan pendiri PT Djarum, Budi Hartono.
“Tidak ada target kuantitas, kami berdasarkan kualitas,” kata Ketua Tim Pencari Bakat Audisi PB Djarum, Sigit Budiarto, menjawab pertanyaan Mojok tentang berapa orang yang akan lolos mendapatkan Beasiswa Djarum bulu tangkis dan menjadi atlet binaan PB Djarum.
“Bisa saja yang lolos hanya lima orang, atau mungkin dua puluh orang. Yang jelas, selama masa karantina, penilaian tidak hanya dari kualitas teknis, tetapi juga dari hal-hal yang tak kasatmata,” katanya kepada Mojok, Jumat 12 September 2025.

Keluarga yang mempercayakan masa depan anaknya pada PB Djarum
Seorang laki-laki setengah baya mendekat ketika mendengar saya mencari orang tua peserta Audisi Umum PB Djarum 2025 yang berasal dari luar Pulau Jawa.
“Saya, Bambang dari Madura,” katanya memperkenalkan diri. Nama lengkapnya Bambang Suharyadi (55). Ia tengah menunggu anak dan istrinya di pintu keluar arena audisi sore itu, Senin, 8 September 2025. Anaknya, Muhammad Jaya (10), sudah gugur pada seleksi hari pertama.
Seperti ayahnya yang tak menunjukkan raut kecewa, Muhammad Jaya datang bersama ibunya, Haryanti, dengan wajah biasa saja. “Ibaratnya refreshing buat anak saya, liburan, sekalian menengok asrama tempat anak saya pernah tinggal selama enam tahun sebelum masuk pelatnas,” kata Bambang.
Bambang kemudian bercerita bahwa ia adalah ayah Mohammad Zaki Ubaidillah, pemain tunggal putra Indonesia yang akrab dipanggil Ubed. Pada Agustus 2025, Ubed yang berusia 18 tahun menempati peringkat satu dunia dalam Badminton World Federation (BWF) Junior.
“Pulang ke rumah paling setahun sekali atau dua kali,” kata Bambang tentang pengalaman anaknya tinggal di asrama PB Djarum sejak usia 12 tahun. Ia dan istrinya jarang sekali mengunjungi Ubed di asrama.
Bambang paham, anaknya bukan hanya sedang digembleng urusan teknis bermain bulu tangkis, tapi juga sedang dibentuk karakter dan mentalnya. Ia dan keluarganya legawa harus menahan rindu bertemu langsung demi sang anak mengejar cita-citanya sebagai pemain kelas dunia.
“Kalau kangen ya video call, dulu awal ya nangis, tapi cita-cita jadi pemain kelas dunia itu juga keinginannya,” tambah Haryanti. Beruntung, anaknya tersebut bisa terpilih sebagai atlet PB Djarum lewat jalur prestasi.
Bambang menegaskan, ia dan istrinya selalu berpesan kepada Ubed agar tidak cepat puas. “Dirinya masih muda, jangan cepat puas dengan apa yang diraih. Teruslah berlatih dan kerja keras,” ujarnya.
Ia tidak menampik bahwa masa depan mantan atlet di Indonesia kerap masih dipertanyakan. Namun, ia yakin Ubed tidak hanya mendapat bekal hanya raket selama di asrama PB Djarum, melainkan juga banyak keterampilan lain.

Tidak semua atlet bulu tangkis akan jadi pemain kelas dunia
Pertanyaan tentang masa depan atlet anak yang masuk PB Djarum saya lontarkan kepada Program Director Bakti Olahraga Djarum Foundation sekaligus Ketua PB Djarum, Yoppy Rosimin. Ia paham bahwa tidak semua atlet akan menjadi pemain elite atau berperingkat dunia.
“Kadang mereka mentok jadi juara nasional, tapi belum bisa juara internasional. Jadi, mereka harus punya saluran lain,” kata Yoppy. Menurutnya, jalan lain itu bisa berupa kuliah dengan modal prestasi bulu tangkis, baik di dalam maupun luar negeri. Ada juga jalur pekerjaan di grup usaha Djarum, atau kesempatan menjadi pelatih, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
“Di tingkat mahasiswa kan ada juga campus league. Artinya, banyak kampus cari atlet bulu tangkis, itu bisa jadi salah satu cara untuk diterima kuliah. Kami punya jejaring yang kalau atlet kita pensiun itu bisa meraih masa depannya,” ujarnya.
Yoppy sendiri adalah contoh nyata. Pada 1977–1980, atau masa SMA, ia menjadi atlet PB Djarum Kudus. Prestasinya cukup membanggakan: Juara Tunggal Taruna Putra Suryanaga Cup 1978 di Surabaya dan Juara Beregu Pelajar ASEAN 1979 di Jakarta.
Jadi atlet kampus, peluang bagi atlet badminton yang tersisih
Setelah lulus SMA pada 1980, Yoppy sadar persaingan untuk jadi atlet tingkat nasional di Indonesia sangat ketat dengan hadirnya legenda seperti Rudy Hartono dan Liem Swie King. Ia lalu memilih kuliah di Jurusan Manajemen Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) dengan modal prestasinya sebagai atlet bulu tangkis PB Djarum.
Selama kuliah, ia aktif bertanding sebagai atlet mewakili kampusnya. Yoppy bahkan merajai turnamen tingkat mahasiswa di DIY-Jateng. Setelah lulus, ia berkarier di sejumlah perusahaan hingga akhirnya diterima bekerja sebagai bagian finance PT Djarum di Cirebon pada tahun 1986 dan baru tahun 2008 ia pindah ke PB Djarum.
“Kita itu nggak cuma ngasih bekal raket, tapi juga ajari soft skill. Anak-anak belajar mengelola uang hadiah, jangan dihamburkan, tapi ditabung,” kata Yoppy.
Di asrama, para atlet juga digembleng soal disiplin, sopan santun, pantang menyerah, hingga keterampilan. “Mereka belajar menganyam senar raket, melayani pembeli di toko sport. Siapa tahu kalau nggak jadi atlet, bisa buka toko olahraga,” jelas Yoppy.
Attitude jadi bekal utama atlet PB Djarum
Saya kemudian berbincang dengan Kepala Asrama PB Djarum, Dharma Gunawi (54). Ia selalu menekankan pentingnya mental pantang menyerah pada atlet-atlet PB Djarum. “Kalau sudah masuk PB Djarum, jangan disia-siakan kesempatan ini,” pesannya.

Dharma paham betul kondisi anak-anak asrama. Ia sendiri alumni PB Djarum yang masuk saat usianya 15 tahun, itu tahun 1986. Dari seribu pendaftar kala itu, hanya tiga orang yang diterima. “Orang tua berat melepas, tapi karena cita-cita saya jadi pemain kelas dunia, akhirnya mereka ikhlas,” kenangnya.
Dharma menekankan, selain teknik, attitude yang di dalamnya termasuk sikap mandiri, mental kuat, dan kemampuan membawa diri adalah bekal utama. Ia juga pernah menghadapi keputusan besar dalam kariernya: menerima tawaran untuk bermain bulu tangkis di Jerman ketimbang melanjutkan seleksi nasional utama Pelatnas PBSI pada 1992.
Keputusannya tersebut awalnya kurang disetujui oleh orang tuanya. Maklum, sudah lama mereka tinggal berjauhan dan tinggal selangkah lagi anaknya jadi pemain nasional. Dharma meyakinkan bahwa keputusannya adalah yang terbaik untuk masa depannya.
“Orang asing ke Jerman harus sekolah, jadi selain bermain bulu tangkis juga kuliah. Saya ambil jurusan mesin,” ujarnya. Hari-harinya diisi dengan kuliah, bertanding, dan melatih, pekerjaan tambahan yang ia terima selama di Jerman.
Berkarier di luar negeri modal raket
Selama lima tahun kuliah, ia kerap jadi juara dalam pertandingan bulu tangkis di Jerman, bahkan di kawasan Eropa. Namanya makin dikenal luas dalam dunia bulu tangkis di kawasan tersebut.
Suatu hari, usai bertanding ia ditemui seorang pemilik perusahaan. Ia ditawari sebuah pekerjaan. Dharma Gunawi awalnya ragu karena belum punya pengalaman profesional sebagai pekerja. Ia hanya kuliah dan bermain bulu tangkis, belum pernah merasakan dunia kerja.
“Saya punya seribu karyawan, tiap hari juga ada yang salah. Jadi jangan takut salah,” kata Dharma menirukan kata-kata bosnya saat itu.
Dharma mengatakan, jika pada waktunya atlet anak-anak tersebut menginjak remaja dan secara prestasi biasa-biasa saja, maka tidak segan ia akan memberikan informasi tentang kesempatan menjadi atlet di luar negeri sembari kuliah. “Tinggal kembali ke anak-anak tersebut, mau atau tidak
Tak terasa, Dharma akhirnya tinggal, bekerja, dan berkeluarga di Jerman selama 25 tahun. Ia akhirnya balik ke Indonesia tahun 2017 setelah ayahnya meminta pulang. Sebuah keputusan berat, tapi tidak disesalinya. Tak lama setelah dirinya pulang ke Indonesia, ayahnya berpulang.
Di tahun itu pula, ia kemudian menjadi salah satu pelatih di PB Djarum, klub yang dulu mengajarinya bukan sekadar teknik bermain bulu tangkis, tapi juga soal attitude. Itu yang jadi bekalnya..
Alasan Mohammad Ahsan senang jadi atlet PB Djarum

Mohammad Ahsan (38) pemain bulu tangkis legendaris Indonesia yang belum lama pensiun memberikan pandangan sendiri setelah bergabung menjadi Atlet PB Djarum. Ia yang punya julukan The Daddies bergabung dengan PB Djarum di tahun 2007, saat usianya 20 tahun.
“Sering dapat bonus!” kata Ahsan tertawa, menjawab salah satu pertanyaan tentang alasan senang jadi atlet PB Djarum. Di sela Audisi Umum PB Djarum 2025, namanya resmi masuk sebagai bagian dari Hall of Fame klub tersebut pada 9 September 2025. Penghargaan ini khusus bagi atlet yang minimal meraih tujuh prestasi utama selama kariernya.
Ahsan, pernah menjuarai Kejuaraan Dunia, All England, Piala Thomas, dan pernah menempati peringkat satu dunia. “Klub ini bukan hanya tempat berlatih, tetapi rumah yang membentuk saya menjadi atlet dan pribadi seperti sekarang. Saya sangat berterima kasih atas semua dukungan yang tak pernah putus,” katanya.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Guru SD Bali Menabung-Seberangi Laut demi Anak Kejar Mimpi Bulu Tangkis di Kudus, Kebal Sorakan yang Menjatuhkan Mental atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












