Warga di sebuah desa di Rembang, Jawa Tengah, bertahun-tahun harus hidup berdampingan dengan teror tuyul. Tak ada solusi. Tak banyak pilihan untuk membasmi tuyul-tuyul itu. Para warga hanya bisa waswas uang mereka raib lembar demi lembar.
***
Di sebuah desa nun di pelosok Rembang, Jawa Tengah, (saya tidak boleh menyebut namanya), kepercayaan terhadap hal-hal mistis masih begitu kuat. Termasuk di antaranya adalah perihal eksistensi tuyul: sosok astral berwujud bocah yang kerap jadi pesugihan untuk nyolong uang dari rumah-rumah warga.
Belum lama ini, saya berkesempatan untuk berbincang dengan beberapa warga desa tersebut yang mengaku bertahun-tahun harus berhadapan dengan teror tuyul.
Ritual menabur kacang hijau di Rembang
Pada Sabtu (3/8/2024) malam, saya mengikuti Mazik (23) untuk menyisir jalanan desa dengan rute memutari daerah rumahnya. Saya bertugas membawa motor sesuai rute yang ia arahkan. Sementara Mazik menenteng sekantong plastik hitam berisi kacang hijau penuh.
“Kacang hijau ini sudah bapakku kasih doa. Ritual menabur ini anggap saja untuk mencegah tuyul-tuyul mendekat ke rumah. Karena baru-baru ini memang sedang musim,” terangnya menjawab rasa penasaran saya. Bajilak, sampai disebut “musim” loh!
Konon, seturut kepercayaan bapak Mazik, kacang hijau bisa untuk mengelabuhi si tuyul untuk mengerjakan tugas utamanya: nyolong duit. Sebab, si tuyul akan penasaran untuk bermain-main dengan kacang hijau tersebut.
Apalagi jika kacang hijaunya sudah diberi doa. Maka energi penghambatnya akan makin besar: si tuyul langsung lupa dengan tugas yang dibebankan oleh si juragan.
“Percaya nggak percaya. Tapi belakangan ini, duit di rumahku tiap malem kok hilang. Rp100 ribu, Rp50 ribu. Kalau terus-terusan bahaya,” kata Mazik.
Terlebih, kejadian semacam itu sudah bertahun-tahun terjadi di desanya di Rembang. Desas-desus soal keberadaan tuyul pun sudah mengakar kuat di tengah masyarakat setempat.
Mazik sendiri terbilang sering melakukan ritual menabur kajang hijau. Khususnya di waktu-waktu ketika di rumahnya sedang ada uang dalam nominal besar dan belum sempat dimasukkan ke bank.
Tuyul yang menodong untuk minta uang
Seminggu sebelumnya, Tasan (warga setempat) mengaku sempat ditodong oleh dua tuyul. Kejadiannya, selepas Isya ia tengah memacu motor untuk bertamu ke rumah saudaranya yang berada di dusun lain.
Lalu ketika melintasi jalanan desa yang sepi dan masuk area kuburan, pria menjelang 50-an asli Rembang itu dihadang oleh dua bocah. Masing-masing bertelanjang dada, hanya pakai semacam popok, dan tak sehelai rambut pun tumbuh di kepala mereka.
“Tapi wajahnya bukan wajah anak-anak. Tapi wajah tua,” ungkap Tasan yang di desanya di Rembang memang sudah terkenal sering bersinggungan dengan makhluk-makhluk gaib.
Tasan tak menghentikan motornya. Ia hanya mengendurkan tarikan gas sehingga motor melambat. Dua tuyul itu, kata Tasan, lalu memintainya uang.
Tak lama kemudian, secara refleks Tasan merobohkan motornya dan langsung mengejar dua tuyul tersebut. Tentu Tasan kalah gesit. Dua tuyul itu dengan tawa melengking berlari menyibak area kuburan lalu hilang tanpa jejak.
“Itu menjawab kenapa belakangan banyak orang desa yang mengaku sering kehilangan uang,” tutur Tasan.
Seringai menyeramkan
Sekira dua bulan sebelum Ramadan 2024 lalu, teror tuyul pun sebenarnya sudah meresahkan warga di sebuah desa pelosok Rembang tersebut.
Pernah suatu malam, Atmi (perempuan menjelang 60-an) baru saja pulang dari majelis zikir di dusun sebelah. Ia pulang seorang diri dengan jalan kaki. Jalanan desa tentu sudah sepi, sebab sudah menjelang tengah malam. Rumah-rumah warga pun sudah banyak yang tutup.
Sampai kemudian ia melintas di depan rumah tetangganya yang di halamannya penuh dengan tanaman: pohon sawo, pohon melinjo, dan beberapa tanaman lain.
“Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri seorang bocah keluar menembus pintu rumah sambil berlari. Saat melintas di depan saya, bocah itu menyeringai dengan cara mengeringkan. Saya hanya bisa mematung, lemas, dan panas dingin,” tutur Atmi dalam kesempatan berbeda.
Dengan susah payah Atmi menyeret kakinya agar segera tiba di rumah. Dari pengakuan sang anak, saat sampai di rumah, wajah Atmi pucat pasi. Keringat bercucuran di sekujur tubuh. Setelahnya, ia tak sadarkan diri.
“Bangun-bangun sudah demam beberapa hari. Karena itu baru pertama kali saya melihat wujud asli tuyul setelah bertahun-tahun hanya mendengar desas-desusnya,” ungkap Atmi.
Pagi itu juga ia meminta sang anak untuk memastikan ke rumah tetangganya tersebut. Dan sesuai dugaannya, tetangganya kehilangan uang, katanya sebesar Rp200 ribu.
Musim tuyul di Rembang
Baik Mazik, Tasan, maupun Atmi memberi keterangan yang sama. Bahwa di desa mereka di Rembang itu memang seolah memiliki musim tuyul.
Si juragan nampaknya memang jeli membaca situasi. Misal, setelah kejadian yang Atmi alami, sempat menyusul beberapa kejadian warga setempat kehilangan uang. Saat situasi sedang gempar-gemparnya, aksi tuyul tiba-tiba mereda.
Namun, ketika warga mengira situasi aman, tiba-tiba para tuyul mulai beraksi lagi. Konon, kejadian semacam itu sudah berlangsung bertahun-tahun sejak medio awal 2000-an.
“Warga juga nggak bisa apa-apa. Sudah tanya orang pinter, dan sudah ketahuan siapa saja pemilik tuyul di sini. Karena ternyata ada banyak sekali kalau sekarang. Buat menangkap juga tidak bisa. Karena mereka (tuyul) kan gaib. Hanya bisa dilihat, tidak bisa ditangkap,” ungkap Tasan.
“Tapi kalau bicara hukum, kita kan nggak punya bukti nyata. Kalau kita labrak, kita yang bisa kena tuduhan memfitnah,” sambungnya geram.
Alhasil, warga hanya bisa mengupayakan sebisa-bisa mereka untuk menjaga agar uang mereka aman. Seperti misalnya yang Mazik lakukan: ritual menabur kacang hijau.
Hanya saja, tetap saja sering kali warga kebobolan. Entah jimat/ritual mereka yang kurang ampuh, atau jangan-jangan si tuyul lah yang kelewat sakti.
Modal susu formula sudah bisa pelihara tuyul
“Kata bapakku, dulu waktu aku masih kecil memang sudah ada (tuyul) di sini. Tapi dulu hanya satu dua orang saja. Tapi sekarang katanya makin banyak,” ungkap Mazik.
“Mungkin karena syarat memelihara tuyul sekarang makin mudah ya. Aku pernah nonton keterangan Om Hao Kisah Tanah Jawa. Dulu memelihara tuyul itu syaratnya harus ngasih ASI. Dan itu sangat berat. Kalau sekarang, kata Om Hao, dikasih susu formula sudah mau. Jadi wajar saja kalau makin banyak yang memelihara tuyul,” imbuhnya.
Tak seperti Tasan dan Atmi, Mazik mengaku belum pernah sama sekali melihat wujud asli tuyul. Namun, ia punya asumsi kenapa di desanya di Rembang makin banyak yang memeliharanya: makin ke sini di desanya makin banyak pengangguran.
Tanpa pemasukan, mau tak mau mereka harus terjerat hutang sana-sini. Belum lagi kebutuhan makin banyak. Dalam situasi mentok, maka memelihara tuyul menjadi opsi untuk mendapat uang tanpa harus susah payah bekerja.
Memang selalu ada perdebatan (saintis vs spiritualis) perihal eksistensi tuyul. Tapi demikian adanya yang terjadi di sebuah desa di Rembang. Wallahu a’lam.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Hammam Izzuddin
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News