Margorejo menyuguhkan gambaran orang-orang kelas bawah yang mencoba bahagia di tengah laju cepat Surabaya. Sebuah pasar malam memberi kesempatan mereka untuk seolah-seolah berlibur bersama keluarga kecilnya.
***
Parkiran sudah tampak penuh motor. Teriakan anak-anak bersahut-sahutan. Lalu lalang sepasang suami istri dengan anak masing-masing tak henti menyisir pasar malam di Margorejo, Surabaya. Yakni sebuah pasar malam yang digelar di halaman depan Maspion Square.
Suasananya sangat meriah lantaran banyak wahana khusus anak-anak yang tersedia. Dari perosotan angin hingga bianglala. Belum lagi stan-stan jajana yang berderet.
Suasana riuhnya sedikit menyamarkan bunyi deru dan klakson kendaraan yang bersahut-sahutan di Jalan Ahmad Yani, Margorejo. Maklum, saat itu malam Minggu. Manusia-manusia dengan berbagai tujuan sudah pasti tumplek blek di jalanan Surabaya: menuju mal, menuju Surabaya Kota, ke titik-titik hiburan di Surabaya atau yang tengah tergesa untuk pulang.
Beruntung bagi saya karena punya pacar yang sama sekali tak menganggap malam Minggu sebagai ritual wajib seperti kebanyakan sepasang kekasih. Bagi pacar saya, malam Minggu tak ada bedanya dengan malam-malam lain: biasa saja. Tak ada keharusan untuk keluar berkencan.
“Kamu ngajak ke Royal Plaza? Aku sih ogah ya. Malam Minggu pasti sumpek banget,” ujarnya saat saya iseng menawarinya ke Royal Plaza pada Sabtu (21/4/2024) malam WIB.
Mal dan Surabaya memang dua entitas yang sangat identik. Mal menjadi hiburan bagi banyak orang di Surabaya.
Tapi karena pacar saya menolak ke mal, maka malam Minggu itu saya mengajaknya memotret sisi lain riuh malam Minggu di Surabaya ke pasar malam di Margorejo.
Pasar malam Margorejo Surabaya jadi hiburan istimewa
Dulu saya kira pasar malam di Margorejo Surabaya tersebut hanya insidental: buka di saat-saat tertentu saja. Ternyata memang jadi wahana permanen di depan Maspion Square.
Malam Minggu itu saya sempat berbincang dengan Sudar (34), salah satu buruh pabrik yang tengah mengajak istri dan anaknya yang berusia empat tahun main-main di pasar malam Margorejo.
“Kemarin pas lebaran kan mudik ke Bojonegoro. Cilik’an (anak) kan dapat saku lah dari saudara-saudara. Ya ini buat senang-senang lah,” ungkap Sudar. Matanya tak lepas dari istrinya yang tengah menemani anaknya muter-muter.
Bagi orang desa seperti Sudar, pasar malam sudah menjadi hiburan istimewa. Karena secara konsep, pasar malam memang merupakan hiburan rakyat kecil.
Selama ngontrak di Surabaya, Sudar memang belum pernah mengajak anak istrinya ke mal. Karena dalam bayangannya mal adalah tempat orang berduit.
Kalau belanja, Sudar lebih sering mengajak istrinya ke DTC Surabaya. Meski hanya pasar biasa, tapi karena berada di sebuah gedung jadi rasanya sudah cukup untuk seolah-olah seperti sedang belanja di mal.
Tak lama berselang, istri dan anak Sudar datang menghambur. Sang anak menunjukkan jajanan yang baru saja ia beli.
“Begini saja sudah seneng, Mas. Nggak usah mal-malan,” ujar Sudar sembari tersenyum tipis ke arah saya.
Baca halaman selanjutnya…
Keceriaan di tengah kepahitan Surabaya