Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Liputan Ragam

Saat Petani Banten Dicekik Pajak, Mereka Melakukan Perlawanan Bersenjata Iman

Ahmad Effendi oleh Ahmad Effendi
2 September 2025
A A
pajak, pemberontakan petani banten.MOJOK.CO

Ilustrasi - Saat Petani Banten Dicekik Pajak, Mereka Melakukan Perlawanan Bersenjata Iman (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Beberapa waktu lalu, masyarakat Pati, Jawa Tengah, menggelar aksi demonstrasi menolak kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dinilai sangat mencekik. Bagaimana tidak, Bupati Pati Sudewo dengan seenak jidat menaikan PBB hingga 250 persen.

Kebijakan ngawur ini pada akhirnya bikin warga tumpah ke jalanan. Tak cuma menolak kenaikan PBB, mereka juga menuntut Sudewo mundur dari jabatannya karena dianggap tak berpihak ke masyarakat kecil.

Sialnya, kenaikan PBB gila-gilaan tak cuma terjadi di Pati. Di Bone, Sulawesi Selatan, PBB naik hingga 300 persen. Sementara di Jombang, Jawa Timur, tagihan PBB yang awalnya Rp400 ribu melonjak hingga Rp3,5 juta. Bahkan, PBB di Cirebon, Jawa Barat juga naik sampai 1.000 persen.

Kenaikan pajak secara gila-gilaan yang memancing amarah warga, mengingatkan kita pada kisah kelam di masa lalu. Dahulu, para petani Banten di akhir abad ke-19 juga merasakan hal yang sama. Mereka hidup di bawah tekanan ganda: kondisi alam yang sulit dan pajak-pajak pemerintah kolonial yang tak manusiawi.

Imbasnya, perlawanan meletus. Banyak korban jiwa berjatuhan.

Saat pajak mencekik para petani di Banten

Pada akhir abad ke-19, kehidupan petani Banten berada di titik nadir. Mereka hidup di bawah tekanan ganda: kondisi alam yang sulit dan sistem kolonial yang menindas. 

Kala itu, hujan tak kunjung turun, panen gagal, dan wabah penyakit menyebar. Namun, alih-alih meringankan beban, pemerintah kolonial Hindia-Belanda justru memperberatnya.

Sebagaimana dicatat Sartono Kartodirdjo dalam bukunya yang monumental, Pemberontakan Petani Banten 1888, pemerintah memberlakukan berbagai jenis pajak yang mencekik. 

“Ada pajak per kepala (Hoofdgeld) yang harus dibayar setiap penduduk, pajak perahu (Perahu-geld) bagi nelayan, hingga pajak pasar yang dikenakan pada setiap transaksi,”  tulis Sartono, dikutip Rabu (27/8/2025).

Bahkan, beban pajak ini masih diperparah dengan penetapan pajak untuk setiap hewan ternak yang dimiliki, seperti sapi atau kerbau. Pajak-pajak ini, yang sebelumnya tidak pernah dikenal, pada akhirnya memaksa petani menjual harta benda mereka, hanya untuk melunasi utang. 

Kalau kata Sartono, “sistem pajak kolonial ini dingin dan kejam”. Sebab, ia tidak ada lagi hubungan timbal balik seperti upeti, di mana rakyat memberi sebagai bentuk pengakuan atas perlindungan dari raja. 

pemberontakan petani banten karena pajak.MOJOK.CO
Ilustrasi pertempuran petani melawan pasukan kolonial Hindia-Belanda dalam pemberontakan petani Banten tahun 1888 (sumber: kemendikbud)

Ia menjelaskan, kalau dalam tradisi pra-kolonial, upeti seringkali bersifat fleksibel dan disesuaikan dengan kondisi panen. Sebaliknya, pajak kolonial ini bersifat wajib, terpusat, dan dipungut oleh pejabat lokal yang korup. Pendeknya, ia tak manusiawi. 

“Hal ini pun menciptakan ketidakpercayaan yang mendalam karena rakyat merasa imbalan atas pajak mereka—berupa perlindungan atau kesejahteraan—tidak pernah datang. Inilah yang menjadi celah perpecahan antara rakyat dan penguasa.”

Ketika iman menjadi senjata perlawanan

Pada akhirnya, cekikan pajak bikin rakyat Banten menjadi murka. Alhasil, gelombang perlawanan pun tak terhindarkan. Pada 1888, muncullah pemberontakan yang dalam sejarah, dikenal dengan sebutan “Pemberontakan Petani Banten”.

Iklan

Namun, Sartono juga menegaskan, api perlawanan tersebut tak cuma menyala karena perut yang lapar, melainkan juga karena keimanan yang merasa dilecehkan. 

Disebutkan, ulama-ulama kharismatik seperti Haji Wasid, menjadi magnet yang menyatukan amarah rakyat untuk melakukan gerakan yang disebut juga sebagai Geger Cilegon.

Sartono menjelaskan bagaimana para ulama ini tidak sekadar pemimpin spiritual. Namun, mereka juga pemimpin pergerakan yang mengorganisir perlawanan melalui jaringan pesantren dan surau. Mereka menanamkan keyakinan bahwa perlawanan ini adalah jihad, sebuah perang suci melawan ketidakadilan. 

Narasi keagamaan ini pada akhirnya menjadi bahan bakar yang membangkitkan keberanian petani. Di mata mereka, perjuangan ini jauh melampaui urusan perut—ini adalah tentang martabat dan keyakinan. Mereka rela mati demi sebuah prinsip.

Pemberontakan ini juga menjadi respons terhadap intervensi Belanda dalam urusan agama dan adat. Para ulama merasa otoritas mereka terusik oleh kebijakan kolonial yang sekuler dan menekan. Oleh karena itu, perlawanan terhadap pajak juga merupakan perlawanan terhadap dominasi budaya dan politik kolonial. 

Menurut Sartono, peristiwa ini menunjukkan bagaimana identitas keagamaan menjadi benteng pertahanan terakhir bagi masyarakat yang merasa terancam. Dibandingkan dengan perlawanan lain seperti gerakan Samin di Jawa Tengah yang menolak pajak dengan pembangkangan sipil pasif, perlawanan Banten adalah ekspresi dari amarah yang meledak, didorong oleh semangat jihad dan otoritas ulama yang kuat.

Pemerintah kolonial memadamkan perlawanan

Pada 9 Juli 1888, ketegangan yang memuncak akhirnya meledak. Dengan teriakan takbir, ratusan petani Banten menyerbu kantor-kantor pemerintahan kolonial di Cilegon. 

Mereka tidak hanya menyerang pejabat Belanda, tetapi juga para pribumi yang dianggap berkolaborasi. Termasuk lurah dan mandor yang selama ini bertugas memungut pajak. 

Serangan itu berlangsung singkat tapi brutal. Sayangnya, perlawanan mereka tidak bisa menandingi pasukan kolonial yang terlatih dan bersenjata lengkap.

pemberontakan petani banten karena pajak.MOJOK.CO
Para petani yang ditangkap setelah pemberontakan petani Banten tahun 1888. Mereka semua diadilil. (sumber: KITLV)

Apalagi, pemerintah kolonial merespons dengan cepat dan brutal juga. Persis seperti polisi-polisi hari ini tatkala menghadapi massa aksi yang berdemo. 

Pasukan dari Batavia dikerahkan untuk memadamkan pemberontakan. Ketidakseimbangan kekuatan terlihat jelas. Petani Banten, yang hanya bersenjata seadanya, dikepung oleh pasukan bersenapan modern. 

Perlawanan yang heroik itupun berakhir dengan tragis. Para pemimpin, termasuk Haji Wasid dan Tubagus Ismail, gugur dalam pertempuran. Ratusan pemberontak ditangkap dan dihukum berat. Banyak yang diasingkan dari kampung halaman mereka

Pelajaran dari sejarah: kalau pemerintah menindas lewat pajak, perlawanan rakyat adalah jawaban 

Meskipun berakhir dengan kekalahan, pemberontakan petani Banten meninggalkan warisan yang tak ternilai. Seperti yang dianalisis Michael Adas dalam penelitiannya, “From Avoidance to Confrontation: Peasant Protest in Precolonial and Colonial Southeast Asia“, peristiwa ini bukanlah hasil dari fanatisme buta keagamaan. 

“Sebaliknya, pemberontakan ini adalah contoh klasik dari perlawanan sosial yang rasional, respons terhadap penindasan yang sistematis,” tulis sejarawan asal Amerika ini.

Bagi Adas, kisah pemberontakan petani Banten adalah pengingat bahwa pajak, di balik fungsinya sebagai sumber pendapatan negara, adalah cerminan dari sebuah kontrak sosial. 

Pendeknya, rakyat membayar pajak dengan harapan mendapatkan kesejahteraan, keamanan, dan keadilan. Ketika kontrak itu retak, ketika pajak malah dirasakan sebagai alat pemeras tanpa imbalan yang jelas, dan ketika kepercayaan runtuh, perlawanan akan selalu muncul. 

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: 200 Tahun Perang Jawa: Ketika Petani dan Kawula Tertindas dan Membela Martabatnya, Jawa Melawan, Kalah Rapopo atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Terakhir diperbarui pada 2 September 2025 oleh

Tags: bantenkenaikan pajakPajakpbbpemberontakanpemberontakan petanipemberontakan petani banten
Ahmad Effendi

Ahmad Effendi

Reporter Mojok.co

Artikel Terkait

Kota Semarang tak naikkan PBB dan pajak masyarakat MOJOK.CO
Kilas

Pilihan Kota Semarang Berpihak pada Masyarakat: Tak Naikkan PBB dan Ringankan Beban Pajak

22 Agustus 2025
Pati Bergerak karena Kebusukan Pemerintah Pusat dan Daerah MOJOK.CO
Esai

Demonstrasi Pati Berkobar karena Kebodohan Pemerintah Pusat dan Daerah yang Jadikan Rakyat Sebagai Tumbal, seperti Api Korek Bertemu Bensin Segalon

14 Agustus 2025
Tinggalkan Serang Banten untuk tinggal di Rembang yang miskin MOJOK.CO
Ragam

Nekat Lepas Gaji Besar Serang Banten Pindah ke Kota Miskin, UMR-nya Miris tapi Nemu Kedamaian yang Tak Ditemui di Serang

4 Juni 2025
Kisah mahasiswa Untirta Banten yang dulu terlunta-lunta kini jadi kaprodi muda MOJOK.CO
Kampus

Perjuangan Mahasiswa Untirta Banten, Dulu Terlunta-lunta Tinggal di Gudang Kini Jadi Kaprodi Muda, Rumah Nyaman pun Terbeli untuk Tebus Penderitaan Ibu

17 April 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Macam-macam POV orang yang kehilangan botol minum (tumbler) kalcer berharga ratusan ribu MOJOK.CO

Macam-macam POV Orang saat Kehilangan Tumbler, Tak Gampang Menerima karena Kalcer Butuh Dana

28 November 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.