Tawaran bekerja menjadi debt collector semula terbayang mudah. Cukup datangi debitur (si peminjang uang), pasang muka garang, lalu debitur akan membayar pinjamannya yang sudah jatuh tempo. Namun, bagi orang tidak tegaan, ternyata pekerjaan tersebut tidak semudah yang dibayangkan.
***
Jika di Jakarta umumnya debt collector diisi oleh orang-orang dari Medan dan Indonesia Timur, di Surabaya posisi itu kebanyakan diisi oleh orang-orang Madura.
Itu sebenarnya memudahkan Saif (29) bekerja setelah lulus pada 2022. Melalui senior kampusnya sesama orang Madura, ia ditawari bekerja sebagai debt collector di sebuah perusahaan pembiayaan multinasional.
Di hari-hari pertama bekerja, ia merasa beruntung bisa bekerja di perusahaan tersebut. Gajinya bisa di atas UMR Surabaya. Masih ada iming-iming bonus dan tunjangan jika sudah lebih dari setahun bekerja.
“Merasa enak di satu bulan pertama, itu masa training. Aku masih dipandu penuh oleh supervisorku, dan semua berjalan lancar,” ungkap Saif, Minggu (28/12/2025). Namun, dua bulan berikutnya, situasinya berbeda.
Cuma bisa kesal tapi tak bisa langsung pukul
Dalam candaan teman-teman sesama debt collector asal Madura, sama seperti orang Medan dan orang timur di Jakarta, orang Madura kerap ditarik menjadi debt collector karena dikenal tak punya takut. Apalagi kalau yang berfisik kekar, diasumsikan selalu siap dalam mode baku hantam.
Saif sendiri berfisik tinggi kekar. Hanya saja, kalau kata suprvisornya, ia dilarang keras menggunakan kontak fisik jika tidak dalam kondisi terdesak. Fisik dan tampang garang hanya digunakan untuk memberi kesan “intimidatif”, agar si debitur mau membayar pinjamannya.
Sehari-hari Saif harus menyisir gang-gang sempit di Surabaya. Menagih dari satu rumah ke rumah lain. Kadang juga ke pasar atau ke warung tempat si debitur jualan.
“Tapi pada dasarnya aku ini orang nggak tegaan. Alih-alih masang tampang garang, aku kalau ketemu para pengutang itu malah jadi sopan. Apalagi rata-rata yang kutemui kan bapak-bapak, ibu-ibu janda, bahkan simbah-simbah pun ada,” tutur Saif.
Di bulan keduanya bekerja, baru lah kerasa ternyata amat susah menjadi seorang debt collector. Ada saja alasan dari si pengutang untuk nunggak bayar kesekian kali. Saif hanya bisa menghela napas panjang. Hanya bisa membatin kesal.
“Ya gimana, mau garang lihat kondisi mereka aku kasihan. Anak masih kecil-kecil, tinggal di gang sempit dan kumuh, pekerjaannya nggak jelas,” kata Saif.
Orang tak tegaan jadi debt collector, tak jadi menagih utang malah dengarkan curhatan
Tubuh boleh kekar, tapi hati Saif bisa dibilang terlalu lembut sehingga gampang terenyuh. Ia berkali-kali meneteskan air mata tiap menagih hutang ke rumah debitur.
Tak jarang si debitur mempersilakan Saif masuk rumah, duduk, dan dibuatkan kopi. Saif luluh dengan perlakuan hangat semacam itu. Maka, Saif pun mencoba sehalus mungkin menagih utang pada si debitur.
Masalahnya, karena suasana sudah terlanjur hangat, si debitur malah curhat panjang lebar perihal kondisinya, bahkan sampai menangis. Alhasil, Saif pun ikut terenyuh dan tak tega untuk lanjut menagih.
“Aku pernah di rumah ibu-ibu yang suaminya belum lama meninggal. Si ibu bingung mau cari uang ke mana lagi. Saudara nggak ada yang bantu. Sementara si ibu hanya ART panggilan. Ya gimana nggak ikut sedih,” ucap Saif.
Orang tak tegaan jadi debt collector, bukannya menagih utang malah ngasih uang
Saif paling lemah kalau sudah berhadapan dengan simbah-simbah. Sialnya, daftar debitur yang harus ia datangi ternyata kok ya banyak simbah-simbahnya.
“Aku ada debitur tukang becak. Katanya anak-anaknya sudah berkeluarga, jadi si kakek tukang becak ini harus cari uang sendiri buat hidup sama istri,” kata Saif.
Di titik itu, Saif kerap berpikir, seandainya ia ditakdirkan sekaya Raffi Ahmad. Mungkin, alih-alih menjadi debt collector, ia justru akan menjadi “pemburu orang miskin” untuk bagi-bagi “uang kaget”.
Sayangnya, ia bukan Raffi Ahmad. Lucunya, ada debitur simbah-simbah yang alih-alih menjanjikan akan membayar kapan, malah meminta pinjaman uang ke Saif. Bukan tambahan pinjaman ke perusahaan, tapi ke saku pribadi Saif.
Saif yang tak tega pun beberapa kali meloloskan beberapa lembar ratusan ribu untuk ia ulurkan ke simbah-simbah tersebut. “Sumpah nggak tega, alasannya buat makan. Karena sehari belum tentu bisa makan. Katanya sih begitu,” ujar Saif.
Lebih-lebih, Saif membayangkan, betapa menderitanya seseorang yang di usia lanjutnya masih harus bekerja demi menyambung hidup. Sementara anak-anak yang ia besarkan dengan jerih payah sudah sibuk masing-masing.
Kerja bukannya terima gaji, malah boncos dua kali
Di bulan kedua dan ketiga bekerja, Saif menyadari kalau pekerjaannya malah bikini keuanganya boncos. Bagaimana tidak. Pertama, ia kerap memberi sedekah secara cuma-cuma pada debitur. Kedua, ia kerap menalangi tunggakan debitur demi mencapai target tagihan. Boncos dua kali.
“Di perusahaanku sistemnya itu kan perbulan ada target berapa tagihan yang harus kudapat. Kalau nggak mencapai, maka gajiku dipotong buat nalangi tunggakan yang tersisa. Itu buat nutup target. Sebab, kalau nggak ada upaya nutup target, ya bisa kena SP,” beber Saif.
“Ada sih model begini: Kalau satu bulan nggak target, bisa dilempar ke bulan berikutnya. Tapi itu bikin pekerjaan makin banyak di bulan depannya. Tapi itu juga ada batasnya, kalau lewat batas ya tetep kena SP,” sambungnya.
Loh kok aneh sistemnya? Beberapa teman Saif yang mendengar ceritanya pun heran dengan sistem gajian di perusahaan tersebut. Meski di satu sisi mereka menggoblok-goblokkan Saif karena mengedepankan rasa tak tega saat bekerja. Sedangkan pekerjaannya—sebagai debt collector—seharusnya tidak melibatkan nurani dan empati.
“Orang utang ya harus bayar. Apalagi kalau sudah jatuh tempo. Hukumnya stop di situ. Kalau nggak tega gara-gara denger curhatan atau lihat kondisi debitur, ya tewas kamu,” begitu nasihat teman-teman Saif. “Belum lagi ada yang bersandiwara pura-pura melas biar dibelas kasihani.”
Sebab, nyatanya toh banyak teman kerja Saif yang selalu bisa menutup target tanpa harus boncos talangan. Kalau toh boncos talangan, biasanya hanya di satu bulan, lalu di bulan berikutnya bisa menutup target.
Pada akhirnya Saif hanya bertahan menjadi debt collector selama tiga bulan. Ia kemudian memutuskan keluar karena situasi serba tak enak yang harus ia hadapi. Ya tidak enak ketika berhadapan dengan empati sosialnya, tidak enak juga karena tak menikmati gaji utuh lantaran boncos untuk talangan.
Setelah itu ia memilih pekerjaan lain: Menjadi kurir antar paket sampai sekarang. Lebih simpel dan tidak melibatkan perasaan. Cukup antar paket sesuai alamat tujuan, selesai.
“Walaupun masih sering ya aku boncos gara-gara COD,” tutupnya dengan tawa getir.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Cerita Debt Collector yang Tobat dan Memilih Keluar Gara-gara Tak Tega Melihat Nasabah Kena Musibah tapi Dipaksa Membayar Angsuran atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan















