Hidup kembang kempis di Cikarang
Gaji cuma Rp2,3 juta di bawah UMR Cikarang, kepotong bayar kos Rp500 ribu, terus kepotong lagi untuk mentraktir preman, tentu saja hidup Shadiq di Cikarang kembang kempis. Pada akhirnya ia harus mensiasati bertaha hidup dengan masak sendiri di kosan.
Ia juga menahan banyak keinginan, entah untuk beli makanan enak atau sekadar membeli jajanan. Kata Shadiq, lucu sekali memang. Keinginannya makan nasi padang kerap tak keturutan, tapi kelewat sering ia membungkuskannya untuk para preman tersebut.
“Mereka (para preman) akhirnya memang akrab denganku. Cuma ya ujung-ujungnya malah nglunjak aja. Kadang saat aku lewat, mereka langsung terang-terangan, “Bos, amer enak kali, Bos.” Akhirnya ya beliin mereka amer,” ujar Shadiq dengan tawa getir.
Alhasil, niat hati membaiki preman agar ia juga balik dibaiki, eh malah jadinya ia diporoti.
Orang tua sendiri tak dikasih uang
Selama setahun merantau untuk kerja di Cikarang, Shadiq tak sekalipun mengirim uang ke rumah sesuai janjinya. Kadang kala ibu Shadiq menanyakan langsung apakah ia ada uang untuk dipinjamkan buat biaya-biaya tertentu.
Shadiq hanya bisa menjawab lemas: mengatakan kalau uangnya sedang ia gunakan untuk banyak keperluan di Cikarang. Ia tak punya keberanian untuk berkata jujur kalau gajinya di bawah UMR dan harus ia gunakan untuk “menghidupi” para preman.
“Malah aku sering kehabisan uang di sana. Kalau habis, utang ke teman-teman lama di Surabaya. Kadang ke temen kerja juga. Ngenes pokoknya,” keluh Shadiq.
Pada beberapa bulan terakhir menjelang akhir 2019, Shadiq sebenarnya sempat tak lagi mengeluarkan uang untuk menraktir para preman. Hal tersebut justru berdampak buruk padanya. Karena sering kali saat lewat, para preman justru menyindir Shadiq: menyebutnya jadi pelit, sombong, dan lain-lain.
“Sampai mengancam sih, nggak pernah. Tapi karena aku sudah mengkis-mengkis hidup di Cikarang, akhirnya memasuki 2020 aku pulang ke Tuban,” kata Shadiq.
Karena pandemi Covid-19, selama 2020 itu Shadiq menganggur. Pun tak ada pekerjaan yang bisa ia garap di Tuban. Sampai akhirnya pada 2021, ia memutuskan untuk mengundi nasib—kembali—ke Surabaya. Ia bekerja pada bagian IT sebuah yayasan—sesuai bidang yang ia tekuni. Sayangnya—hingga sekarang.
“Gajinya cuma Rp2,5 juta. Tetep mengkis-mengkis. Tapi saat ini, itu yang bisa kujalani. Masih bisa kukelola karena nggak bayar kos (tinggal di mess) dan nggak ada nraktir preman-preman lagi,” tutupnya disertai tawa.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Hammam Izzuddin
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.