Guru Pendamping Study Tour Paling Menderita, Stres dan Tanggung Jawab Besar tapi Dianggap Paling Bahagia

Guru Pendamping Study Tour Paling Menderita, Stres dan Tanggung Jawab Besar tapi Dianggap Paling Bahagia.MOJOK.CO

Ilustrasi - Guru Pendamping Study Tour Paling Menderita, Stres dan Tanggung Jawab Besar tapi Dianggap Paling Bahagia (Mojok.co/Ega Fansuri)

Banyak orang berpikir menjadi guru pendamping study tour itu enak. “Bisa jalan-jalan gratis, dibiayai duit siswa pula”. Kira-kira begitu yang ada dipikiran orang-orang. 

Padahal, mereka menjadi orang yang paling stres sepanjang tur wisata.

Bahkan, kalau bisa memilih, mereka mending tak menjadi guru pendamping study tour. Sebab, tanggung jawabnya terlalu besar untuk “hasil” yang tak seberapa.

Sejak awal sudah merasa tidak enak

“Bahkan sejak awal ditunjuk jadi guru pendamping study tour, feelingku udah nggak enak. Tapi nggak bisa nolak juga,” ujar Ardi (27), salah satu guru asal Jogja yang pernah mendampingi siswa study tour.

Reporter Mojok menemui Ardi pada Sabtu (8/3/2025) malam. Pada awalnya, ia ingin dimintai pendapat soal pelarangan study tour di Jawa Barat dari sudut pandang seorang guru pendamping.

Namun, dalam obrolan tersebut, Ardi punya sudut pandang lain. Ia lebih banyak curhat, atau meng-counter narasi anggapan publik selama ini, yang mengatakan guru pendamping study tour pasti bahagia.

“Orang tahunya, ‘wah enak, jalan-jalan gratis, dibayarin pakai iuran siswa’. Hadeuh! Ada-ada aja netizen ini,” kata guru honorer yang sudah setahun lebih mengajar ini.

“Tapi ya begitu, netizen asal njeplak karena nggak tahu gimana stresnya kami para guru pendamping di lapangan,” sambungnya, dengan nada sebal.

Kalau enak, nggak mungkin pada ogah-ogahan jadi guru pendamping study tour

Ardi bercerita, ia menjadi guru pendamping study tour pada libur sekolah akhir 2024 lalu. Awalnya, ia tak pernah berpikir bakal ditunjuk. Sebab, ada banyak guru yang lebih senior di sekolahnya–yang biasanya “langganan” ikut tur wisata.

“Apalagi aku cuma honorer. Nggak pernah mikir bakal dilibatkan,” jelasnya.

Namun, di grup WA yang berisi para guru, mereka malah saling tunjuk. Di antara mereka banyak yang ogah-ogahan.

Ada yang beralasan mau liburan sendiri bersama keluarga. Dan tak sedikit juga yang terang-terangan bilang “malas mengurus siswa”.

“Karena yang tua-tua nggak ada yang mau, tahu-tahu nunjuk aku. Gilanya lagi pada sepakat. Serba salah dong, mau nolak nggak enak, tapi kalau ikut aku aslinya udah ada agenda sendiri,” ungkapnya.

Akhirnya, berangkatlah dia mendampingi 80 siswa berangkat study tour dari Jogja ke Malang. Total ada dua guru pendamping yang ikut. Dua-duanya guru honorer.

Baca halaman selanjutnya…

Beban berat ngurus siswa yang “mabok” dan bandel, tapi apresiasi yang didapat nggak sebanding.

Mengurus siswa yang mabuk darat itu bukan pekerjaan mudah

Hal pertama yang bikin Ardi stres adalah kenyataan ia kudu mengurus 40 siswa dalam satu bus. Apalagi, guru pendamping study tour dititipi beban “menjadi orang tua siswa” selama tur berlangsung.

Mau tak mau, di dalam bus, ia kudu memastikan kondisi siswa baik-baik saja selama perjalanan. Paling tidak, Ardi kudu merawat siswa-siswa yang mengalami mabuk darat.

“Kalau ada siswa yang muntah di bus, nah itu tanggung jawabku. Aku kudu bersihin bekas muntahnya, belum lagi ngerawat juga,” kata Ardi.

“Ya memang aku pernah ngurus orang sakit. Tapi nggak 40 orang juga,” ujar guru pendamping study tour ini.

Sialnya lagi, sepanjang perjalanan Jogja-Malang, seingatnya ada delapan siswa yang mabuk darat. Ketika kembali dari Malang ke Jogja, jumlahnya tak sebanyak saat berangkat. Tapi tetap saja ia repot.

“Itu kan nggak nginep hotel, jadi full di bus selama dua hari satu malam. Fun fact-nya, aku selama study tour aku nggak tidur demi mastiin siswa baik-baik saja.”

Guru pendamping study tour tanggung jawab besar, “hasil” nggak seberapa

Bagi Ardi, menjadi guru pendamping study tour tanggung jawabnya amat besar. Selain urusan ngurusin siswa yang mabuk darat, ia juga kudu memastikan para peserta tetap lengkap, aman, dan kondusif.

Bahasa mudahnya, “berangkat 80 siswa, balik juga 80.” Tanpa kurang apa pun.

“Belum lagi kalau ngurus siswa yang bandel, seperti merokok di saat study tour. Nah itu kan kami susah ngontrolnya karena di destinasi wisata, pada nyebar. Tapi kami kudu memastikan semua kondusif.”

Soal anggapan netizen: “enak, bisa jalan-jalan gratis”, dengan geram Ardi membantahnya. Menurutnya, kalau ngomongin “hasil” yang didapat, itu tak sebanding dengan besarnya tanggung jawab.

Selama perjalanan wisata, sekolah cuma membekali Ardi uang saku Rp150 ribu untuk waktu dua hari satu malam. Kalau dihitung, berarti Rp50 ribu per hari.

Baginya, jangankan buat foya-foya, beli oleh-oleh buat orang di rumah saja masih harus nombok.

“Udah uang saku nggak seberapa, itu juga nggak berpengaruh pada statusku sebagai honorer,” pungkasnya.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Sopir Bus Pariwisata Cerita Tantangan Bawa Rombongan Study Tour, Sisi Lain Kehidupan di Jalan yang Berat atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version