Setiap sudut Jakarta merekam perjuangan para perantau dari berbagai daerah. Termasuk para sarjana dari Jogja yang tinggal di Manggarai, Jakarta Selatan.
Boleh dibilang, kawasan ini “lain daripada kawasan lain di Jaksel”. Kalau orang melihat Jaksel sebagai daerah yang modern, serba cepat, dan anak mudanya amat fashionable, Manggarai adalah kebalikannya.
Di kelurahan ini, kawasan kumuh masih jamak dijumpai. Tahun 2025 saja, ada total 90 RW berkategori kumuh di Jakarta Selatan, yang tujuh di antaranya ada di Manggarai. Di samping kawasan kumuh, banyak juga dijumpai gang-gang sempit berisi kos-kosan yang menjadi rumah para perantau.
Salah satunya adalah Ocin (27), begitulah ia kerap disapa. Ocin merupakan lulusan S1 Ilmu Ekonomi salah satu PTS di Jogja. Ia memutuskan merantau ke Jakarta Selatan sejak 2023 lalu.
Saya sendiri mengenal Ocin karena menggemari band yang sama. Ketika idola kami ngonser di Jakarta, ia menawari saya buat menginap di kosnya seandainya saya jadi berangkat.
“Tapi sorry, berantakan banget ya kosnya. Di sini nyari kos yang enak rada mahal soalnya. Hahaha,” tawanya, kala itu.
Sialnya, karena satu dan lain hal, saya tak jadi berangkat. Namun, ketika kami kembali bertemu baru-baru ini, Ocin seolah membuka pemahaman saya bahwa Jakarta Selatan tak melulu soal kemajuannya.
Di sudut-sudut kota, di balik gedung-gedung tinggi, ada orang-orang seperti Ocin yang tinggal di gang-gang sempit. Mereka bekerja keras untuk bertahan hidup. Bahkan, terkadang pura-pura hidup enak cuma agar terlihat sudah sukses di perantauan.
Tinggal di kos sempit dengan ASMR suara orang open BO
Cerita paling menggelitik dari kehidupan Ocin di Manggarai, Jakarta Selatan, tentu datang dari kosnya. Ocin sendiri tinggal di sebuah gang sempit–yang bahkan untuk motor saja tak bisa masuk. Lokasinya tak jauh dari pusat bisnis di Manggarai.
“Kami yang ngekos di situ parkirnya pakai bahu jalan kampung. Soalnya motor nggak bisa masuk ke gang, saking sempitnya,” kata Ocin, Selasa (6/5/2025) malam, saat ditemui di Sleman.
Kalau ia kira-kira, gang tempat tinggalnya sepanjang 80-100 meter. Berisi puluhan rumah yang saling berdempetan. Bagi bangunan yang diperuntukkan untuk kos-kosan, biasanya hanya disekat oleh asbes sebagai dinding pembatas antarkamar.
“Di dalam kawasan itu, kalau masuk-masuk, masih ada lagi gang-gang yang lebih sempit. Isinya kos-kosan juga, dan lebih nggak layak lagi kondisinya,” kata dia.
Di gang sempit tersebut, Ocin tinggal di kamar sempit berukuran 2×3 meter. Uniknya, karena cuma dibatasi dengan dinding asbes, “aktivitas” tetangga pun kerap terdengar dari kamar Ocin. Hal inilah yang kadang mengganggunya.
“Sebelahku itu sering BO. Selalu manggil PSK orderannya ke kamar kos. Makanya, ya tiap gituan selalu kedengaran,” ujarnya, sambil tertawa. “Ada kali seminggu sekali atau dua kali.”
Awalnya, ia amat terganggu karena pertimbangan moral. Namun, semakin lama hidup di Jakarta Selatan, ia makin menyadari kalau dirinya tak berhak mencampuri urusan orang lain.
“Dulu kayak ngerasa aneh aja. Lama-lama, ah, yaudah biarin, hidup-hidup dia. Aku jadiin ASMR aja sekarang. Hahaha.”
Baca halaman selanjutnya…
Hari-hari di Manggarai, bertahan hidup dengan Rp20 sehari karena gaji di bawah UMR.
Bertahan hidup di Manggarai, Jakarta Selatan dengan Rp20 ribu sehari
Ada satu alasan mengapa Ocin rela bertahan di kos tersebut, bahkan sampai hampir satu setengah tahun. Tak lain dan tak bukan, ya, karena harga sewanya yang murah.
Per bulan, ia cuma perlu membayar uang sewa Rp400. Harga ini jauh di bawah harga “kos-kosan layak” di Jakarta Selatan lainnya yang rata-rata menyentuh Rp1 juta per bulan.
“Selain itu ya karena dekat dari kantor tempat kerja, jalan kaki nggak sampai 10 menit sampai,” jelasnya.
Ocin sendiri bekerja di sebuah kantor yang bergerak di bidang jasa peminjaman. Upahnya Rp3,2 juta per bulan, yang berarti jauh dari upah standar Jakarta. Per 2025 ini, UMR Jakarta berada di angka Rp5,3 juta.
Dari gajinya yang di bawah UMR tersebut, cuma sedikit yang bisa ia nikmati. Sebab, nyaris separuhnya harus ia transfer ke orang tua di kampung. Untuk membeli berbagai kebutuhan dan uang saku sekolah adiknya yang masih SMP.
“Makanya, kalau soal pengeluaran aku tuh ketat banget. Sehari buat makan mentok cuma 20 ribu buat 2 kali beli lauk di warteg, nasi bikin sendiri,” ujarnya.
“Bisa dibilang aku memang pelit buat diriku sendiri, apalagi soal makan, terkesan hemat banget. Nongkrong pun jarang-jarang, makanya biarpun aku di Jaksel, kek nggak terlalu ngerasain vibes Jakselnya.”
Pura-pura sukses demi bahagiakan orang tua
Selain hidup struggle di Manggarai, Jakarta Selatan, ada satu hal lagi yang sebenarnya membebani Ocin. Yakni ekspektasi orang tuanya yang terlalu tinggi.
Di kampungnya, Ocin satu dari sedikit anak mudanya yang kuliah. Belum lagi keputusannya mengambil jurusan Ilmu Ekonomi di kampus mahal Jogja yang dianggap sebagai pencapaian.
Ketika lulus pun, ia bekerja di bidang yang berhubungan dengan uang. Sehingga, baik orang tuanya maupun tetangga di kampung, menganggapnya juga banyak uang.
“Mentang-mentang kerjanya ngurusin duit, dipikirnya aku banyak duit. Tapi yaudah lah, telanjur dikira jadi orang sukses.”
Di satu sisi, ini bikin dia bangga karena setidaknya dapat membahagiakan orang tua. Tapi di sisi lain, itu juga membebaninya. Berpura-pura sukses, padahal aslinya amat struggle di perantauan, membuatnya harus berkorban lebih yang bikin dia makin menderita.
“Aku kerap nabung buat sesuatu hal. Tiba-tiba ortu minta transfer. Dan otomatis aku nggak bisa bilang nggak ada duit, karena mana ada orang sukses nggak ada duit,” ungkapnya.
“Tapi ya sudah lah, biarin orang taunya aku bener-bener sukses tanpa tahu gimana hidupku di Jakarta.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Jakarta Timur, Kawasan Penuh Ironi yang Sebaiknya Jangan Ditinggali, Kecuali Kalau Nyawamu Sembilan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
