Sampai akhirnya, beberapa bulan kemudian ia berbincang banyak dengan penghuni kos yang lain. Barulah ia tahu bahwa pasangan yang menghuni kamar tersebut memang terlibat percekcokan.
“Bahkan kata teman kosku itu, si cewek pernah lari keluar kamar. Agak ribut pas itu. Lalu tiba-tiba besok harinya balik lagi,” kenangnya.
Ia menempati kos di Seturan itu tidak sampai setahun. Ira pindah setelah dapat info bahwa di gang yang sama ada kos yang lebih nyaman dengan harga Rp400 ribu per bulan saja.
Saksi beratnya kehidupan mahasiswa dan pekerja di Jogja
Ketika di kos tersebut, kebebasannya masih sama. Namun, nuansa yang ia rasakan berbeda. Kos di Seturan yang kedua lebih kecil. Kamarnya tidak sampai sepuluh.
“Di situ aku jadi lebih banyak interaksi sama penghuni lain,” ungkapnya.
Banyak penghuni di situ merupakan driver ojek online. Bahkan, sebagian masih aktif jadi mahasiswa namun sambil mencari pendapatan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Sepulang kuliah, ganti pakaian, langsung berangkat menarik orderan. Pulang malam, terkadang larut, dan tidak punya banyak waktu untuk menikmati hiburan dan gemerlap di Seturan.
“Ada satu driver yang menikah sama pacarnya. Mereka sempat tinggal di kos itu. Ya kerasa banget perjuangannya,” kata dia.
Satu hal yang paling memprihatinkan terjadi saat ada satu driver ojol itu kehilangan motornya. Hal itu terjadi saat ia lalai mengunci pintu kos. Pada malam hari, motor yang terparkir di halaman raib digasak maling.
“Ya intinya pada bagian ini, Seturan yang aku rasakan di kos nggak tentang gemerlapnya. Kehidupan kelas menengah ke bawah yang keras,” ungkapnya.
Sisi lain yang penuh gemerlap
Selain sisi-sisi kelamnya, soal gemerlap hiburan tak bisa disangkal. Andre (24) misalnya, seorang mahasiswa semester akhir di UPN Jogja bercerita kalau tinggal di kawasan SCBD Jogja membuatnya tak pernah sulit untuk cari hiburan. Ia tinggal di sisi barat Seturan sejak lima tahun silam.
“Dulu pernah tinggal di daerah lain, di sekitar Terminal Jombor, setelah pindah ke Seturan memang kerasa banget sih bedanya,” ujarnya.
“Walaupun penyebutan SCBD itu cuma candaan di media sosial, tapi bagiku kawasan ini sisi uniknya memang fasilitas hiburan anak muda yang agak lebih banyak dari titik lain di Jogja,” sambung dia.
Area perkantoran elite mungkin tidak akan dijumpai saat mengitari kawasan SCBD Jogja. Beda dengan situasi yang ada di Jakarta. Namun, budaya-budaya dari ibukota, menurut Andre, terbawa dari para pendatang yang memadati kawasan ini.
“Kantor mungkin nggak terlalu banyak tapi banyak juga pekerja yang mengandalkan coffee shop sebagai kantor,” katanya.
Salah satu hal lagi, yang ia rasakan kalau nongkrong di kawasan SCBD Jogja, adalah penampilan orang-orangnya yang fashionable. Ia, kemudian menjadi terdorong untuk menyesuaikan gaya hidup sesuai dengan lingkungannya.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Aly Reza