Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Liputan Ragam

Kopi Pangku, Jejak Kolonial yang Menyala Remang di Pantura

Ahmad Effendi oleh Ahmad Effendi
6 November 2025
A A
sejarah kopi pangku.MOJOK.CO

Ilustrasi - Kopi Pangku, Jejak Kolonial yang Menyala Remang di Pantura (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook
  • Sejak pertengahan abad ke-19, praktik prostitusi yang mirip kopi pangku sudah hidup di pelabuhan Semarang dan sekitarnya.
  • Praktik ini bermula di pelabuhan, sejak pemerintah kolonial melegalkan prostitusi. Ketika Jalan Raya Pos yang dibangun Daendels mulai ramai, para pekerja prostitusi mulai menyebar ke jalanan.
  • Ketika Indonesia merdeka, sistem kolonial yang mengatur prostitusi secara resmi dihapuskan. Tapi praktiknya tidak benar-benar hilang. Kopi pangku masih menyala di Pantura.

***

Lampu bohlam menggantung rendah di atas meja kayu. Asap rokok bercampur dengan uap kopi hitam yang baru diseduh. Di sudut warung, seorang perempuan paruh baya menepuk pundak pelanggan sambil tertawa kecil. Sementara dari jalan raya, terdengar deru truk lewat, memecah malam Pantura yang lembab. Di warung semacam inilah istilah “kopi pangku” lahir.

Beberapa waktu lalu, istilah ini kembali ramai di linimasa. Bukan karena razia atau video viral, melainkan karena film berjudul Pangku garapan Reza Rahadian yang akan segera tayang. Film ini disebut-sebut akan menyoroti sisi kemanusiaan para perempuan yang bekerja di warung kopi pinggir jalan itu, jauh dari sensasi murahan yang sering melekat pada istilahnya.

Bagi sebagian orang, kopi pangku adalah rahasia umum di jalur Pantura. Ia adalah warung-warung tenda yang hidup di tepi jalan, menyajikan kopi, tawa, dan kadang, “pelukan” sementara. Media sudah lama mengisahkan para perempuan yang bekerja di sana. 

Namun, film Reza seolah membuka ruang refleksi baru: dari mana sebenarnya praktik ini berasal? Benarkah kopi pangku hanya fenomena sosial kontemporer, atau justru, ia adalah warisan panjang dari kebiasaan kolonial di kota-kota pelabuhan Jawa?

Jika ditarik ke masa lalu, praktik serupa sudah muncul di pelabuhan-pelabuhan sejak abad ke-19. Sebuah penelitian oleh Iman Dwi Hartanto dan R. Reza Hudiyanto dari Universitas Pendidikan Indonesia (2023) menunjukkan bahwa sejak pertengahan abad ke-19, di pelabuhan Semarang dan sekitarnya, praktik yang mirip kopi pangku sudah hidup.

Namanya memang bukan kopi pangku, tapi esensinya serupa: pertemuan antara tubuh, jalan, dan ekonomi yang bergerak bersama arus barang dan manusia.

Dari pelabuhan ke jalan raya

Penelitian Hartanto dan Hudiyanto berjudul “Prostitusi di Semarang Pasca 1852” tersebut mencatat bahwa sejak diberlakukannya Peraturan tentang Pelaksanaan Prostitusi atau Reglement op de Uitoefening der Prostitutie tahun 1852, pemerintah kolonial Belanda secara resmi mengatur prostitusi di kota-kota pelabuhan. 

Tujuannya, tulis Hartanto dan Hudiyanto, sangat pragmatis, yakni menjaga kesehatan para pelaut dan serdadu. Prostitusi dianggap tak terhindarkan, maka pemerintah kolonial Hindia-Belanda memilih untuk menertibkannya ketimbang memberantasnya.

Semarang menjadi salah satu laboratorium sosial pertama untuk kebijakan itu. Di kawasan dekat pelabuhan lama–Kampung Melayu, Boom Lama, hingga Kaligawe–pemerintah kolonial menempatkan register houses, tempat para perempuan pekerja seks wajib melapor dan menjalani pemeriksaan kesehatan mingguan. 

Dalam arsip Gemeente Semarang tahun 1890-an, tercatat lebih dari 300 vrouwen van vermaak alias wanita penghibur yang terdaftar resmi di bawah pengawasan dokter militer.

Namun, yang menarik adalah bagaimana praktik itu menyebar seiring berkembangnya infrastruktur kolonial. Ketika Jalan Raya Pos yang dibangun Gubernur Jenderal Daendels beberapa tahun sebelumnya mulai padat, ikut menyebar pula bentuk-bentuk “hiburan jalanan”. Mulai dari warung, penginapan, dan rumah singgah.

Laporan pemerintah kolonial menyebut, di sepanjang pos perhentian itu sering muncul “perempuan pelayan” yang menawarkan lebih dari sekadar makan dan minum. Di sinilah benih “kopi pangku” mulai terlihat bentuknya.

Tubuh perempuan dijadikan “infrastruktur sosial”

Pada masa itu, tubuh perempuan pribumi memang tak hanya menjadi objek ekonomi, tapi juga bagian dari “proyek moral kolonial”. Pemerintah Belanda berupaya mengatur siapa yang boleh menjajakan diri, di mana boleh dilakukan, bahkan jam buka lokalisasi. 

Iklan

Di Semarang, prostitusi legal diizinkan di kawasan yang disebut De Europeesche Wijk–daerah yang tak jauh dari kantor dagang dan pemukiman Eropa. Sementara di luar itu, praktik liar di sekitar pelabuhan atau pasar digolongkan “ilegal”, tapi tetap dibiarkan karena dianggap membantu menggerakkan ekonomi informal. Alhasil, praktik prostitusi serupa kopi pangku–berbentuk kafe kecil, warung kopi, hingga bordil–ini menjamur di sepanjang jalur perniagaan, khususnya Pantura.

Dalam konteks ini, tubuh perempuan menjadi semacam infrastruktur sosial. Ia menyediakan “pelayanan” bagi arus tenaga kerja pelabuhan: buruh, serdadu, pedagang, dan sopir kereta kuda. Maka, tak heran jika peta lokalisasi kolonial sering berhimpitan dengan jalur perdagangan, termasuk Jalur Pantura. 

Semarang punya Kaligawe, Cirebon punya Kebonbaru, dan Pekalongan punya kawasan Jetayu yang sejak abad ke-19 dikenal dengan rumah-rumah bagi “wanita hiburan”.

Dari selir ke praktik prostitusi jalanan

Fenomena ini sejalan dengan pengamatan Terence H. Hull dalam tulisannya “From Concubines to Prostitutes: A Partial History of Trade in Sexual Services in Indonesia“ (2017). Hull menelusuri akar ekonomi-seksual di Hindia Belanda dari sistem pergundikan (concubinage), praktik yang jauh lebih tua dibanding prostitusi formal. 

Dalam masyarakat kolonial awal, banyak laki-laki Eropa, Tionghoa, dan priyayi lokal hidup bersama perempuan pribumi tanpa ikatan pernikahan resmi. Hubungan ini bersifat ekonomi dan seksual sekaligus; sang perempuan mendapat tempat tinggal, makanan, dan perlindungan, sementara laki-laki memperoleh layanan domestik dan keintiman. 

“Perbedaan antara perkawinan selir dan prostitusi pada dasarnya terletak pada stabilitas dan pengakuan.” tulis Hull. Di mata masyarakat kolonial, pergundikan masih dianggap terhormat karena berlangsung di ruang rumah tangga, bukan di jalanan.

Namun, seiring ekonomi kolonial meluas dan sistem perdagangan semakin terbuka, relasi yang semula domestik itu perlahan berpindah ke ruang publik. Hull mencatat bahwa ketika pelabuhan-pelabuhan besar seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya tumbuh menjadi pusat arus barang dan tenaga kerja laki-laki, perempuan yang dulu hidup sebagai gundik mulai kehilangan perlindungan sosialnya. Mobilitas tinggi, kebutuhan akan uang tunai, dan meningkatnya urbanisasi membuat tubuh perempuan memasuki pasar baru: pasar jasa seksual terbuka. 

“Pada pertengahan abad ke-19,” tulis Hull, “nilai ekonomi layanan seksual telah berpindah dari rumah tangga pribadi ke ruang publik, terutama di sekitar pelabuhan dan markas militer tempat para pekerja laki-laki berkumpul.” 

Di sekitar pelabuhan dan garnisun inilah muncul brothel house (rumah bordil), penginapan murah, hingga warung makan yang diam-diam menyediakan layanan lebih dari sekadar makanan. Perubahan itu bukan semata urusan moral, melainkan hasil langsung dari struktur ekonomi kolonial. 

Hull menilai prostitusi menjadi fungsi sosial tak resmi yang menopang sistem kerja kolonial. Ia menjadi sebuah “ventilasi sosial” bagi para pelaut, tentara, dan buruh kontrak. Pemerintah kolonial pun menyadari peran itu. Alih-alih menindas, mereka justru menatanya dengan cara mendirikan rumah pemeriksaan kesehatan, menetapkan kawasan hiburan, dan mengeluarkan izin bagi perempuan penghibur. 

Dengan cara itu, tubuh perempuan dijadikan bagian dari tata kota dan kebijakan publik. Ia dimedikalisasi dan diawasi, tapi tetap dibiarkan hidup di pinggiran pelabuhan dan jalan raya. Dalam kerangka ini, prostitusi kolonial bukan hanya praktik seks transaksional, melainkan instrumen ekonomi dan kontrol sosial.

Gambaran yang tak jauh berbeda juga muncul dalam riset Barbara Watson Andaya berjudul “Historical Perspectives on Prostitution in Early Modern Southeast Asia“ (2001). Ia menelusuri bagaimana kota-kota pelabuhan Asia Tenggara sejak abad ke-16 sudah menjadi pusat perdagangan tubuh, seiring meningkatnya mobilitas pelaut, pedagang, dan tentara. 

Dalam pandangan Barbara, prostitusi bukanlah penyimpangan moral semata, melainkan ekonomi pendukung mobilitas maritim. Ia adalah sebuah mekanisme sosial yang menjaga arus logistik dan tenaga kerja di wilayah pesisir.

Jika dibaca bersama, Hull dan Barbara menunjukkan bahwa prostitusi di kota-kota pelabuhan tidak pernah hadir “tiba-tiba”. Ia tumbuh bersama sistem dagang kolonial, menjadi infrastruktur sosial tak kasat mata yang menopang dunia pelayaran dan logistik. Tubuh perempuan, dalam hal ini, menjadi bagian dari arsitektur ekonomi yang dibangun di atas kerja dan kebutuhan akan keintiman.

Kolonialisme tumbang, kopi pangku tak hilang

Ketika republik berdiri, sistem kolonial yang mengatur prostitusi secara resmi dihapuskan. Tapi praktiknya tidak benar-benar hilang. Pada dekade 1970-an, misalnya, pemerintah Orde Baru justru melokalisasi kembali para pekerja seks di bawah pengawasan dinas sosial. Di banyak kota pesisir, muncul kawasan yang oleh masyarakat disebut “panti” atau “kompleks”.

Namun, di luar tembok-tembok itu, ekonomi keintiman tetap hidup dalam bentuk lain. Sepanjang jalur Pantura, terutama di sekitar terminal dan pelabuhan ikan, warung-warung kecil tumbuh untuk melayani para sopir truk, buruh bongkar muat, dan nelayan. Sebagian pelayan warung tak sekadar menyajikan kopi. Mereka menemani, memijat, atau sekadar mengobrol hangat di tengah malam yang panjang.

Istilah “kopi pangku” mulai muncul di awal 2000-an, seiring menjamurnya warung semacam itu di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Nama, itu konon muncul dari obrolan sopir truk. Kalau merujuk ke istilah yang “jorok”,  kopi pangku berarti “minum kopi sambil memangku pelayannya”.

Dalam banyak laporan media, fenomena ini sering dibingkai sebagai “penyimpangan moral” atau “ancaman sosial”. Padahal, jika dilihat dengan lensa sejarah, kopi pangku adalah transformasi sosial dari praktik lama yang berpindah bentuk, tapi tidak pernah benar-benar hilang.

Dari pelabuhan ke jalan raya, dari rumah hiburan ke warung tenda, ekonomi sensual di Pantura terus menyesuaikan diri dengan zaman. Jika dulu tubuh perempuan dicatat dalam register kolonial, kini ia menjadi bagian dari ekonomi informal yang menopang keluarga dan anak-anak.

Kopi pangku seringkali dilihat sebagai sisi gelap Pantura. Namun, di sisi lain, ia juga memperlihatkan daya tahan perempuan menghadapi ekonomi yang rapuh. Mereka yang bekerja di warung kopi ini bukan sekadar “penjual tubuh”, melainkan penjaga ruang sosial di antara antara kendaraan yang lewat dan para sopir yang singgah.

Kita bisa membacanya sebagai kelanjutan dari sejarah panjang kolonialisme: ketika tubuh perempuan ditempatkan di posisi paling rentan, sekaligus juga paling adaptif. Sejak abad ke-19, perempuan pelabuhan menjadi aktor penting dalam ekonomi kolonial, meski tak pernah diakui secara resmi. Kini, peran itu tetap ada, hanya berganti nama dan ruang.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Ibuku Penjual Kopi Pangku, Dicap Kotor dan Memalukan karena Layani Sopir Truk tapi Beri Kami Hidup atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Terakhir diperbarui pada 6 November 2025 oleh

Tags: film kopi pangkujalur panturakopi pangkukopi pangku panturapanturapilihan redaksisejarah kopi pangku
Ahmad Effendi

Ahmad Effendi

Reporter Mojok.co

Artikel Terkait

pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO
Ragam

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO
Ragam

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO
Ragam

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO
Ragam

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

ump diy.MOJOK.CO

Working Poor dalam Bayang-Bayang UMP DIY 2026 dan Biaya Hidup yang Semakin Tinggi

28 November 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Para penyandang disabilitas jebolan SLB punya kesempatan kerja setara sebagai karyawan Alfamart berkat Alfability Menyapa MOJOK.CO

Disabilitas Jebolan SLB Bisa Kerja Setara di Alfamart, Merasa Diterima dan Dihargai Potensinya

2 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
'Aku Suka Thrifting': Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism.MOJOK.CO

‘Aku Suka Thrifting’: Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.