Lagu anak-anak tempo dulu alias lagu dolanan yang berkumandang dalam konser orkestra Kumandang Kidung Bocah di Jogja membuat saya tersenyum dan menangis sendiri. Kenangan masa kecil langsung datang berkelebatan.
***
Saat memasuki Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY) menjelang jam delapan malam WIB, kursi-kursi penonton sudah penuh. Bahkan di area lesehan—yang memang disediakan khusus oleh penyelanggara—juga sudah penuh sesak.
Meski bertajuk Kumandang Kidung Bocah alias konser lagu anak-anak, ternyata yang datang tidak hanya dari kalangan orang tua bersama anak-anaknya. Separuh penonton justru dari kalangan anak muda.
Kondisi penuh sesak tidak hanya terlihat di dalam ruangan. Tapi di area luar pun berjejal laki-laki dan perempuan, bocah-muda-dewasa, berharap bisa menyaksikan konser lagu-lagu anak tersebut. Di tulisan serie Kumandang Kidung Bocah berikutnya akan saya bagikan lebih lengkap soal suasana di luar Concert Hall, Jogja.
Datang untuk kembali menjadi anak-anak
Persis ketika saya masuk ruangan (Selasa (23/7/2024)), Guntur Nur Puspito selaku konduktor orkestra sudah berada di posisi. 19 lagu anak-anak—seperti yang sudah di-spill saat konferensi pers di Jogja sebelumnya—siap dibawakan. Saya lalu mengambil duduk di area lesehan sisi panggung: area untuk awak media yang hendak meliput.
Lalu jreng! Orkestra “Kumandang Kidung Bocah” di Jogja dimulai. Lagu demi lagu anak-anak tempo dulu yang memorable bergema meriah di dalam Concert Hall TBY.
Sejak konferensi pers orkestra Kumandang Kidung Bocah pada Jumat (19/7/2024) sebelumnya di Jogja, saya memang langsung tertarik untuk hadir secara langsung. Bukan semata untuk keperluan meliput, tapi ada rasa kangen dengan masa kanak-kanak.
Lagu anak-anak yang akan dibawakan dalam konser tersebut betul-betul familiar dengan masa kecil saya dulu (mungkin juga familiar bagi banyak orang yang hadir). Sebab, selain diajari dalam mata pelajaran Bahasa Jawa, lagu-lagu anak berbahasa Jawa tempo dulu memang kerap saya nyanyikan dengan ibu untuk mengisi waktu bersama.
Masa-masa itu memang sudah lewat. Tapi mendengarnya kembali saya rasa akan mengembalikan memori-memori indah itu. Masa ketika pikiran saya hanya sejauh besok mau main apa dan di mana. Belum mengkhawatirkan kelak bakal jadi apa dan bernsib seperti apa.
Itulah kenapa saat sudah berada di ruangan, saya memutuskan mengambil gambar sekadarnya. Sisanya saya gunakan untuk benar-benar menyimak dan menikmati.
Senyum-senyum sendiri mendengar lagu anak-anak
Orkestra Kumandang Kidung Bocah dibuka dengan sangat ceria dengan lagu Padang Bulan (Yo Pra Kanca). Berturut-turut disusul oleh Cublak-cublak Suweng, Sluku-sluku Bathok, Gambang Suling, Gregeting Murid, E Dayohe Teka, Aja Rame-rame, Dhondhong Apa Salak, Lir-ilir, Pitik Walik Jambul, Kidang Talun, Menthok-menthok, Jaranan, Kodhok Ngorek, Kembang Jagung, Prahu Layar, Buto-buto Galak, lalu pamungkasnya adalah lagu Tak Lela Lela Ledhung.
Terjalin kolaborasi apik antara anak-anak dan para penampil yang bergantian menyanyikan lagu-lagu dolanan tempo dulu tersebut.
Untuk diketahui, konser malam tadi memang menghadirkan kolaborasi dari beberapa seniman Jogja. Antara lain, Doni Saputro, Okky Kumala, Paksi Raras Alit, Pandika Kamajaya, Silir Wangi, Asita Kaladewa, Kinanti Sekar Rahina, dan melibatkan 30 anak dari Art for Children (AFC) binaan TBY.
Sungguh kumandang lagu-lagu anak alias lagu dolanan tempo dulu yang diaransemen ulang oleh Guntur membuat suasana hati jadi bergairah. Secara refleks saya manthuk-manthuk karena menikmati. Begitu juga beberapa penonton di barisan depan: menggoyangkan badan ke kiri dan ke kanan.
Gambang Suling dan Lir-ilir membuat saya menangis
Tapi saat tiba pada dua lagu (Gambang Suling dan Lir-ilir), air mata saya meleleh.
“Loh kok nangis, Mas?,” tanya seorang penonton (perempuan) di samping saya.
“Kangen jadi anak-anak e, Mba,” jawab saya setengah kaget, karena air mata saya ternyata cukup terlihat meski pencahayaan ruangan remang-remang.
“Iya e, Mas. Yen ngerti dewasa kayak ngene, aku milih cilik terus wae (Kalau tahu dewasa kayak gini, aku milih kecil terus aja),” timpal perempuan tersebut. Kami tertawa. Lalu kembali hanyut dalam sunyi masing-masing.
Lagu dolanan Gambang Suling sebenarnya dibawakan dengan sangat rancak dan riang. Namun lagu itu terlalu memorable bagi saya. Sehingga saya tak kuasa menahan air mata.
Gambang Suling adalah lagu favorit ibu. Lagu itu yang kerap kami nyanyikan bersama-sama di banyak kesempatan di masa silam. Saya jadi kangen ibu. Meski sudah bertahun-tahun merantau, saya masih tak terbiasa berjarak jauh dengannya. Rasanya nelangsa.
Air mata saya meleleh deras saat intro Lir-ilir masuk usai lagu Dhondhong Apa Salak.
Lir-ilir adalah lagu dolanan paling saya sukai dan masih sering saya dengar hingga sekarang. Terutama untuk lirik dan musik versi Cak Nun dan Kiai Kanjeng. Ini bukan semata tentang liriknya yang filosofis dan mengandung makna mendalam. Tapi entah kenapa, saya selalu menemukan rasa tenang “yang aneh” bercampur haru saat mendengar dan meresapi lagu tersebut.
Setiap saya banyak masalah, selain tentu mencoba lebih dekat dengan Tuhan lewat serangkaian praktik ibadah, mendengar Lir-ilir adalah ritual yang saya pilih untuk menenangkan hati. Mendengarnya rasanya seperti dituturi kalau hidup saya akan baik-baik saja. Itulah kenapa muncul rasa haru yang meluap jadi air mata.
Tak ingin konser lagu anak-anak lekas berakhir
“Yah kok selesai, ulang lagi, ulang lagi.”
Demikian bisik-bisik penonton di barisan depan saat pentas orkestra Kumandang Kidung Bocah di Jogja dinyatakan berakhir sekitar jam Sembilan malam WIB.
Kalau pun diulang sampai tengah malam sekalipun, rasa-rasanya para penonton tak akan keberatan untuk menyimaknya lagi. Karena memang seindah itulah orkastra malam tadi. Karena selain pertunjukan musik, disajikan pula seni gerak: tari dan atraksi.
Tepuk tangan dan sorak sorai penonton paling bergemuruh saat Doni Saputro tampil membawakan lagu Buto Buto Galak setelah sebelumnya membawakan Prahu Layar.
Pasalnya, dalam lagu Buto Buto Galak itu tampil pula atraksi barongan yang lincah dan atraktif. Doni bahkan sempat mengajak seorang anak untuk maju di depan penonton, ikut bersamanya kejar-kejaran dengan Si Buto (barongan).
Lagu anak-anak berakhir di Tak Lela Lela Ledhung. Setelahnya, 30 anak dari AFC TBY berjejer bersama menyanyikan lagu Aku Anak Indonesia. Lalu acara berakhir. Para penonton—termsuk saya—mau tak mau harus meninggalkan ruangan. Wajah mereka mengesankan rasa belum puas (karena ketagihan). Di saat bersamaan tergurat wajah sumringah dari mereka yang keluar dari pintu Concert Hall Jogja satu per satu.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Hammam Izzuddin
BACA JUGA: Rumah Annelies, Opsi Pelarian dari Sumpeknya Jogja yang Bikin Betah karena Serasa Hidup di Masa Lalu
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.