Malioboro Jogja ibarat jadi miniatur Indonesia. Pasalnya, pedagang di sana cikal bakalnya berasal dari berbagai daerah. Pedagang Minang dari Sumatera Barat jadi salah satu yang banyak mengisi sejak setengah abad silam.
Jika berkunjung ke Malioboro dan berinteraksi dengan banyak pedagang, wisatawan pasti bisa menjumpai sosok yang berasal dari Sumatera Barat. Atau setidaknya keturunan perantau dari Tanah Minang yang pendahulunya mencari nafkah di Jogja sejak beberapa dekade silam.
Pada era 70-an, Malioboro yang masih lengang menjadi tempat banyak orang mencoba peruntungan berjualan. Mereka menggelar dagangan di emperan. Budayawan Jogja, Charis Zubair menyebut pada era 70-an, sudah ada sejumlah PKL di Malioboro.
“Saya kira ini sudah ada sejak 1970-an, dari dulu bukan hanya penduduk Jogja yang jadi PKL,” ujar Charis Zubair melansir Harian Jogja.
Mojok pernah menemui Bakrim Maasi (71), perantau dari Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat yang sudah berdagang di Malioboro pada 1970. Bakrim awalnya datang ke Jogja untuk berkuliah di IAIN Sunan Kalijaga.
Namun, keterbatasan ekonomi mendorongnya untuk mencari nafkah sendiri. Bakrim bercerita bahwa Malioboro saat itu sudah ada beberapa pedagang di emperan. Mereka kebanyakan berjualan perkakas dapur.
Ia kemudian mulai berjualan sandal dengan menggelar tikar di dekat trotoar. Selain mengetahui potensi yang bisa dikembangkan, menurut Bakrim, pedagang mulai berdatangan lantaran baru mengetahui kalau di kawasan itu bisa untuk jualan meski tidak resmi. Selain itu, areanya masih sangat lapang untuk ditempati.
“Saya ingat dulu ada namanya Masri, jualan sepatu. Selain itu ada Jaya, Soni, Azmi yang jualan baju. Mereka semua orang Minang,” tutur Bakrim.
Baca halaman selanjutnya…
Diperkirakan, jumlah pedagang Minang 50 persen dari keseluruhan PKL?