Seorang presenter tv junior berkeluh kesah perihal apa yang ia rasakan selama menjalani profesi yang ia idam-idamkan sejak kuliah tersebut.
Sering tampil di layar kaca sebuah stasiun tv ternama nyatanya tak serta merta membuatnya bahagia. Ada hal-hal yang membuat hatinya selalu ciut tiap membayangkan hari depan.
***
“Kalau Sujiwo Tejo bilang ‘Khawatir besok nggak bisa makan sama dengan menghina Tuhan’, aku nggak begitu peduli. Kenyataannya duitku memang cuma dikit, jelas tetap was-was, ini cukup nggak sampai sebulan kedepan,” keluh Fuadi* (24) saat kami bertemu Senin, (27/11/2023) malam.
Kami janjian untuk bertemu di sebuah angkringan di Ketintang, Surabaya.
Fuadi tiba sesaat setelah saya duduk menunggu pesanan, kira-kira pukul 20.00 WIB, jam-jam seusai ia siaran.
Dalam dua bulan terakhir ini Fuadi memang cukup pusing dan ketar-ketir. Pasalnya, Akhir Desember 2023 ini kontraknya sebagai presenter tv di sebuah stasiun tv swasta untuk biro Jawa Timur yang berkantor di Surabaya akan habis.
Ekspektasi tinggi sebagai presenter tv
Sudah dua tahun Fuadi menjalani profesi sebagai presenter tv. Ia bertugas membawakan berita khusus untuk wilayah Jawa Timur yang tayang setiap pukul 04.30 WIB.
Sejak pertama diterima casting pada akhir tahun 2021 lalu, ada hal-hal yang memang tak sesuai ekspektasinya.
Semula ia mengira akan menjadi karyawan tetap yang mendapat jatah siaran setiap hari. Lalu ia akan mendapat gaji bulanan yang, ya paling tidak, mencapai UMR Surabaya lah. Namun, kenyataannya tidak demikian.
“Pertama aku mendapat kontrak enam bulan. Setelah itu ya ada opsi perpanjangan, bisa juga nggak,” tuturnya.
“Kupikir bakal setiap hari. Tapi ternyata sebulan mungkin cuma lima kali siaran karena dibagi dengan presenter yang lain. Per siaran itu satu jam, dihargai Rp200 ribu,” lanjutnya.
Di satu tahun pertama, Fuadi lebih sering mendapat jatah lima kali siaran. Jadi bisa dibilang, setiap bulan, Fuadi hanya menerima gaji sebesar Rp1 juta.
Baru di tahun kedua inilah ia bisa mendapat jatah lima sampai delapan kali siaran dalam sebulan. Artinya, bayaran yang diterima Fuadi naik menjadi Rp1,6 juta.
“Masih sangat kurang untuk hidup di Surabaya, Mas. Apalagi kita ngekos,” ucap pemuda asal Madura tersebut.
Proses yang tak gratis jadi presenter tv
Pada tahun 2018, Fuadi berangkat kuliah ke Surabaya sebenarnya tanpa angan-angan kelak bakal terjun ke dunia presenting.
Sampai akhirnya pada 2019 ia mulai iseng-iseng mengikuti kelas-kelas tersebut karena diajak oleh seorang teman.
“Ternyata ketagihan. Akhirnya sering ikut kelas. Harus bayar memang. Paling murah seingatku ada yang Rp500 ribu. Dalam satu bulan itu empat pertemuan, seminggu sekali,” terangnya.
Sementara untuk harga paling mahal yang pernah ia keluarkan untuk mengikuti kelas adalah Rp1,2 juta, dengan pertemuan seminggu sekali selama dua bulan.
“Untungnya aku (beasiswa) Bidikmisi. Jadi untuk ikut kelas-kelas itu nggak perlu minta ke orang tua,” ungkapnya.
Terpaksa tak jujur biar tak ditendang
Kelas-kelas tersebut tentu hanya bertanggung jawab mengajari hal-hal seputar teknik saja. Sehingga, gaji kecil dan kontrak pendek adalah sesuatu yang tak pernah Fuadi perkirakan sebelumnya.
“Waktu itu aku berpikir, ah ini baru awal karier. Siapa tahu setelah itu ada banyak jalan yang terbuka,” ucap Fuadi.
Lebih-lebih, tentu akan membanggakan rasanya baginya dan khususunya orang-orang terdekatnya. Masuk tv, bro, bagi anak kampung tentu jadi pencapaian yang patut diomongkan (dipamerkan) ke tetangga-tetangga.
Namun, setelah satu tahun berjalan, di tahun kedua Fuadi mulai kehilangan kebanggaan itu. Yang tersisa adalah perasaan cemas, takut ditendang sewaktu-waktu.
“Pokoknya tiap kali ada casting dan aku tahu ada kandidat yang aku akui memang sangat bagus, aku langsung membatin, ‘mati aku!’,” akunya.
Fuadi bahkan mengakui kalau ia tak segan untuk bersaing secara tak sehat atas setiap potensi yang mengancam keberlangsungan kariernya di tv tersebut.
Misalnya, tiap kali produser meminta rekomendasi calon presenter junior baru dari kelas-kelas yang pernah Fuadi ikuti, ia pasti sengaja tak berupaya untuk mencari.
“Gak nemu, bos!”. Paling itu jawaban yang ia berikan. Meskipun pada dasarnya ia tahu kalau ada kandidat yang cocok.
“Aku pernah jujur, ngasih rekomendasi temen dekatku waktu ikut kelas yang Rp1,2 juta. Memang bagus banget dia. Tapi hampir aja posisiku digeser. Aku dapat evaluasi. Untungnya, temenku itu malah mundur, nggak lanjut,” bebernya. Dan sejak saat itu, ia tak mau lagi coba-coba memberi rekomendasi.
Dikira sukses jadi presenter tv dan banyak uang, alhasil jadi tempat ngutang
Seperti yang saya singgung sebelumnya, siapa yang tak bangga jika orang terdekat “masuk tv”. Yang bukan keluarga pun bisa jadi ngaku-ngaku keluarga. Yang awalnya nggak akrab pun bisa tiba-tiba ngaku sebagai teman dekat.
Orang-orang seperti itulah yang Fuadi hadapi sejak hari pertama ia menjadi presenter tv.
Yang kemudian menjadi masalah bagi Fuadi adalah banyak di antara mereka yang menganggap, dengan masuk tv itu berarti Fuadi bergelimang uang. Alhasil, banyak yang ngutang.
“Ngutangnya nggak tanggung-tanggung, Mas. Ada orang di kampungku pinjem Rp5 juta, Rp7 juta. Pas aku jawab, gajiku nggak segitu, malah dibilang pelit,” jelas Fuadi.
“Kalau temen atau yang ngaku-ngaku temen paling pinjam Rp100 ribu, Rp300 ribu. Aku berani ngasih lah. Nggak enak juga, takut dibilang gimana-gimana. Sementara di perantauan aku sendiri butuh banyak temen,” imbuhnya.
Fuadi tak pernah berani mengatakan yang sebenarnya perihal gaji yang ia terima dari tv, meskipun ke teman-teman sendiri. Alasannya tidak lain tidak bukan, gengsi.
Namun, ia tak bisa tak berterus terang pada orang tuanya. Ia merasa tak enak belum bisa memberi uang kepada orang tuanya di kampung sebagaimana saudara-saudara kandungnya yang lain.
Orang tuanya sendiri tak mempermasalahkan dan akan selalu support atas setiap perjalanan Fuadi. Hanya saja, Fuadi sendiri tetap merasa tak enak hati. Bahkan sampai ia tak berani pulang.
“Pulang biasanya tiga sampai empat bulan sekali. Jadi setiap bulan aku nyisihin uang, dikit-dikit lah. Nah, kalau empat bulan kan kelihatannya jadi banyak. Jadi sekali pulang itu bisa ngasih (ke orang tua). Kalau nggak punya uang lebih, nggak berani pulang,” akunya.
Tertolong side job untuk bertahan hidup
Dengan uang Rp1 juta-Rp1,6 juta, tentu sangat sulit—bahkan bisa-bisa kurang—untuk bertahan hidup di kota sebesar Surabaya.
Namun, beruntungnya, berkat label sebagai “presenter tv”, membuat Fuadi banyak mendapat undangan untuk mengisi kelas-kelas presenting/public speaking, pembicara seminar, hingga nge-MC.
“Dari nge-MC di instansi sampai nikahan, aku ambil semua, Mas, kalau ada,” katanya.
Uang-uang tambahan dari situlah yang membuat Fuadi akhirnya tak merasa kekurangan banget. Ya meskipun juga tak lebih-lebih banget. Mengingat, job semacam itu tentu tidak pasti tiap bulan dapat.
“Sebulan ada satu aja syukur. Kalau lagi lancar kadang bisa dua sampai tiga job sebulan. Tapi kan nggak mesti bulan berikutnya ada atau nggak,” tuturnya.
Karena serba tak pasti, maka Fuadi sendiri berusaha membatasi diri.
Untuk makan sehari-hari di kos, ia memilih menanak nasi sendiri. Berasnya patungan dengan teman sekamarnya. Lalu ia tinggal beli lauk saja yang tentu harganya lebih murah ketimbang jika beli sekalian dengan nasi.
Fuadi juga menghindari ajakan ngopi-ngopi yang tak penting. Ia baru mau diajak ngopi kalau kemungkinannya prospek; bisa jadi cuan. Kalau hanya ngobrol-ngobrol biasa, skip, mending nyantai di kosan.
Insecure, tak pernah berani memulai hubungan sampai dikira gay
Kalau mau gaya-gayaan, modal popularitas (nampang di tv) pasti membuat Fuadi gampang saja kalau mau cari pasangan. Begitu sih kata Fuadi.
Sebab nyatanya memang ada banyak perempuan—terutama teman-teman semasa kuliahnya—yang coba-coba mendekatinya.
Sayangnya, perasaan ingin memulai hubungan dengan seseorang selalu ia tekan karena kondisi keuangannya belum stabil.
“Masuk tv thok, nggak punya duit, terus gimana mau menghidupi (pasangan),” ujarnya.
Ia beberapa kali dekat dengan perempuan. Namun, tiap kali ia merasa perasaannya sudah cukup dalam, ia buru-buru mundur dan menjauh, tak melanjutkan lagi.
Fuadi bahkan sempat mengungkapkan perasaannya pada seorang perempuan. Tentu perasaan itu berbalas.
Tapi, saat akhirnya Fuadi tahu bahwa si perempuan itu secara keuangan lebih mapan darinya, ia memilih mengakhiri hubungannya yang bahkan belum genap satu bulan itu.
Saking lamanya menjomblo, beberapa orang di kantornya sampai ada yang mengira kalau Fuadi gay.
“Malah ada gay asli yang ngaku tertarik sama aku. Langsung saja aku tegaskan lah, ‘Aku normal! Aku normal!,” ungkapnya.
Memilih realistis, mencoba mencari pekerjaan lain
Dua tahun dilewati Fuadi dengan keluh kesah dan overthinking yang tak sudah-sudah.
Ini bukan perkara syukur dan tak syukur katanya. Sebab, ada orang tua yang harus ia bahagiakan di kampung halaman, ada banyak hal yang hanya bisa ia tebus dengan uang.
Oleh karena itu, setelah ditimbang-timbang, Fuadi berniat untuk menepi dulu dari dunia presenting, mencari pekerjaan dengan gaji lebih banyak dari yang ia dapatkan sekarang.
“Entah aku yang nggak sabar proses atau gimana, tapi aku merasa nyatanya aku stuck di sini-sini saja. Karierku nggak ke mana-mana juga. Apalagi gajinya,” ungkapnya.
Fuadi pernah mengirim CV ke stasiun tv lain, tapi tak ada balasan. Ia juga pernah mengirim CV untuk mengisi posisi humas di sebuah instansi pemerintah, tapi gagal juga.
Pokoknya yang berbau-bau “komunikasi” ia coba semua. Sayangnya, satupun tak ada yang tembus.
“BUMN pun pernah kucoba waktu ada rekrutmen bersama. Tapi ya, ya begitulah, seperti yang sudah-sudah,” gerutunya.
Kini, sembari menunggu kontraknya yang akan habis akhir Desember 2023 ini dan belum pasti ada perpanjangan atau tidak, Fuadi tengah menunggu hasil dari mengirim CV ke sejumlah bank swasta di Surabaya yang beberapa waktu sebelumnya membuka lowongan.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Gen Z Bukannya Tak Mau Kerja Keras, tapi Upah Murah dan Lingkungan Toxic Itu Memang Masalah
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News