Kesabaran rakyat Indonesia di bulan Ramadan sepertinya tengah diuji besar-besaran oleh pemerintah. Bagaimana tidak, isu sosial politik mencuat dengan sentimen negatif di tahun 2025 ini. Sebut saja, pengoplosan BBM, PHK massal, rupiah yang semakin melemah, IHSG yang anjlok, hingga isu terbaru soal pengesahan RUU TNI.
Salah satu yang paling disorot ialah Pasal 47 UU TNI, di mana prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan di 16 kementerian atau lembaga sipil. Pengesahan terhadap revisi RUU TNI ini dikhawatirkan akan mengembalikan militerisme di Indonesia, yakni kembali ke masa orde baru. Tak menutup kemungkinan, dwifungsi ABRI akan terlahir kembali.
Kekecewaan terhadap pengesahan RUU TNI
Mendengar keputusan dari DPR, masyarakat beramai-ramai meresponsnya dengan rasa penuh kecewa. Padahal, umat muslim dianjurkan untuk menahan nafsu di bulan puasa. Konon, setan-setan memang dibelenggu di bulan Ramadan, tapi berat rasanya jika memikirkan kebijakan pemerintah yang carut marut.
Nyatanya, “setan-setan” tetap berkeliaran di era pemerintahan Prabowo-Ghibran. Mereka tetap bergentayangan di kursi kekuasaan. Siap menguji kesabaran dan amarah masyarakat.
Tak ayal, muncul kekhawatiran dari warganet di X jika puasanya batal karena tak tahan untuk mengumpat. Pasalnya, tiada hari tanpa emosi saat melihat berita yang berseliweran tentang gebrakan konyol dari para pejabat dan aparat.
“Ujian menjadi WNI di bulan puasa ini memang berat, setan memang dikurung tapi punya pemerintah kelakuannya kayak setan. Buat emosi mulu tiap hari, heran gue,” ujar Vigo seperti yang dikutip dari akun X, @enoliska_ saat dikonfirmasi Mojok pada Kamis (20/3/2025).
Merespons tweet tersebut, beberapa pengikutnya ikut mengomentari jika mereka juga berada di tahap hopeless dan speechless. Bagi netizen, sudah tidak ada lagi kata yang pas untuk sekadar mengumpat keculasan dari kebijakan pemerintah soal pengesahan RUU TNI.
Bahkan ada yang berkomentar jika pahala di bulan Ramadan akan bertambah alias dilipatgandakan karena menghujat pemerintah. Beberapa dari mereka sampai siap tidak menjalani ibadah puasa demi mengumpat.
“Goblok-goblokin pemerintah, lembaga yang nggak bisa kerja mah nggak apa-apa. Lagipula kelakuannya melebihi setan. Kalau perlu ada lempar jumroh,” seperti yang dikutip dari akun Black Farm Municipal di X, @TaniHitam pada Kamis (19/3/2025).
Mengkritik pengesahan RUU TNI tidak membatalkan puasa
Menurut Ketua Pusat Studi Dakwah dan Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Mujazin, ada tujuh hal yang dapat membatalkan puasa. Pertama, ketika seseorang makan dan minum di siang hari selama bulan Ramadan dengan sengaja.
Kedua, muntah dengan sengaja. Ketiga, perempuan yang sedang haid, atau nifas. Keempat, ketika air mani keluar dengan sengaja. Kelima, pasangan yang berhubungan seksual di siang hari. Keenam, merokok. Terakhir, murtad.
“Hendaknya menjauhi gibah atau menggunjing, berkata kotor, ataupun berkelahi agar pahala puasa tidak berkurang,” ujar Mujazin dikutip dari laman resmi Universitas Muhammadiyah Surakarta pada Kamis, (20/3/2025).
Senada dengan Mujazin, dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) Institut Ilmu Al Quran An-Nur Yogyakarta, Edo Segara Gustanto sepakat jika perilaku gibah melunturkan pahala puasa. Namun, mengkritik negara, kata Edo, tidak membatalkan puasa.
Menurut dia, mengkritik negara termasuk bagian dari demokrasi. Kritik justru penting sebagai bentuk perhatian warga terhadap kondisi negerinya. Apalagi, ia juga sepakat dengan kekhawatiran warga net yang melihat pemerintah telah merusak kestabilan sosial.
“Misalnya, isu RUU TNI kemarin yang soal Dwifungsi TNI, ditambah perilaku buzzer yang membelanya seperti Deddy Corbuzier. Maka hal tersebut wajib dikritik,” kata Edo saat dihubungi Mojok, Selasa (18/3/2025).
Sebagai informasi, Deddy Corbuzier yang bernama lengkap Deodatus Andreas Deddy Cahayadi Sunjoyo itu menyoriti kritik yang dilayangkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada sidang Revisi UU TNI. Ia menganggap anggota KontraS terlalu anarkis saat memasuki Hotel Fairmont, di mana rapat DPR sedang berlangsung.
Kritik terhadap pengesahan RUU TNI wajib dilakukan
Walaupun kritik itu penting, tapi Edo mewanti-wanti masyarakat Indonesia untuk tidak berkata kasar, sebab kritik yang isinya hanya cacian dapat mengurangi pahala. Laki-laki asal Lampung itu menegaskan, mengkritik pemimpin yang zalim maupun kebijakannya seperti pengesahan RUU TNI sudah menjadi kewajiban umat muslim, tapi harus menggunakan bahasa yang santun.
“Dahulu, cara umat Islam mengkritik pemerintah ialah dengan membuat surat yang berisi berbagai tuntutan,” kata Edo.
Pendapat Edo bukan tanpa dasar. Ia berpegang teguh pada hadist riwayat Abu Dawud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah yang berbunyi Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.
Selain itu, ia juga merujuk pada salah satu tokoh muslim, Taimiyah, ulama yang lahir di Tabaran, Persia pada 450H/1058H. Edo menjelaskan Taimiyah kerap menyuarakan kritiknya lewat tulisan. Melalui kitabnya yang berisi nasihat untuk para penguasa dengan pemilihan kata yang santun.
Demo yang berujung anarki…
Sementara itu, Ustaz di Tasikmalaya, Dykasakti Nytotama alias Sakti berpendapat mengkritik pemerintah dengan bahasa kasar boleh-boleh saja, bahkan tidak mengurangi pahala puasa.
“Misal, bilang ‘pemerintah bangsat’ itu tidak apa-apa. Selama ‘bangsat’ yang dimaksud bersifat objektif, dan bukan atas dasar asumtif atau punya kepentingan pribadi,” ucap Sakti, Selasa (18/3/2025).
Hanya saja, Sakti tak sepakat jika ada orang yang berdemo dan melayangkan kritik sembari merusak fasilitas umum. Apalagi, demo RUU TNI sampai berujung anarki. Justru ia mempertanyakan seberapa penting chaos itu dibuat hingga seberapa jauh dampaknya?
“Prinsipnya, apa pun itu kembali kepada niat, Islam mengajarkan adab, mengkritik ad hominem saja tidak boleh, apalagi dengan kekerasan,” kata dia.
“Tetapi jika demo mensyaratkan harus bertindak anarki, selama itu kebaikannya lebih banyak daripada mudharatnya, maka itu masih bisa ditoleransi,” lanjutnya.
Taatilah pemimpin, tapi bagaimana jika pemimpinnya zalim?
Baik, Edo dan Sakti sama-sama merujuk pada surat An-Nisa’ ayat 59 yang berbunyi: Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu…
Keduanya sepakat bahwa sebagai umat muslim dan sebagai masyarakat bernegara wajib hukumnya mematuhi pemimpin. Dalam hal ini, syarat dan ketentuan pun berlaku. Tidak seluruh perintah mereka bisa dilakukan, sebab masyarakat juga harus kritis.
“Saya berpegang teguh pada Hadits Riwayat Muslim, barang siapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman,” kata Edo.
Maka, bagi Edo, siapa pun orang yang melakukan kemungkaran, termasuk pemimpin, wajib hukumnya untuk dikritik. Jika tidak mampu, maka setidak-tidaknya, selemah-lemahnya iman, hati juga ikut mengutuk pebuatan tersebut.
“Taat kepada pemimpin juga ada tafsirnya, tidak sekadar merujuk kepada siapa yang memimpin, misal jika pemerintah menganjurkan untuk diam di rumah ketika Covid, maka seyogyanya kita patuh.
“Tetapi, jika pemerintah berbicara di luar pakarnya, misalnya membicarakan hukum agama. Maka kita boleh untuk mengindahkannya, dan lebih memilih rujukan dari ulama,” lanjutnya.
Sakti menekankan jangan sampai umat Islam salah menafsirkan. Sebab, jika mematuhi pemimpin secara mutlak, justru kita akan dekat dengan kemungkaran.
Penulis: Rizky Benang
Editor: Aisyah Amira Wakang
BACA JUGA: Dwifungsi TNI is Back, Ancaman Nyata Bagi Dunia Akademik atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.