Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Liputan Ragam

Kami Berdoa Setiap Hari agar Soeharto Jadi Pahlawan Nasional. Sejarawan: Pragmatis dan Keliru

Agung Purwandono oleh Agung Purwandono
11 November 2025
A A
Kami Berdoa Setiap Hari agar Soeharto Jadi Pahlawan Nasional MOJOK.CO

Kami Berdoa Setiap Hari agar Soeharto Jadi Pahlawan Nasional. (Ilustrasi Ega Fansuri/Mojok.co)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Gelar pahlawan nasional untuk Soeharto dinilai sudah tepat. Seharusnya masyarakat paham tentang konsep dari leluhur, mikul dhuwur, mendhem jero. Di sisi lain, sejarawan melihat, jangan-jangan ada hal yang keliru dalam kriteria penentuan seseorang jadi pahlawan nasional.

***

Tak biasanya, suasana Museum Jenderal Besar HM Soeharto, Senin (10/11/2025) ramai dengan pengunjung. Biasanya pada hari Senin, museum yang diresmikan 8 Juni 2013 ini akan libur. 

“Harusnya libur, Mas, tapi tamu yang konfirmasi akan datang itu banyak. Ada 5 TK dan 2 SD yang datang, jadi akhirnya buka,” kata Kepala Museum Memorial Jenderal Besar HM Soeharto, Gatot Nugroho, kepada Mojok.

Ajak pengunjung museum berdoa agar Soeharto jadi pahlawan nasional

Mojok datang usai Presiden Prabowo mengumumkan 10 pahlawan nasional, termasuk Soeharto, Senin (10/11/2025). Bagi Gatot, ini adalah saat yang ditunggu-tunggu oleh keluarga besar HM Soeharto maupun masyarakat yang mencintai Presiden ke-2 Republik Indonesia tersebut. 

“Setiap hari itu kami mengajak pengunjung untuk berdoa agar Pak Harto jadi Pahlawan Nasional, akhirnya terjadi sekarang. Ini berkah Tuhan,” kata Gatot yang bekerja di keluarga Soeharto sejak tahun 1990-an. 

Menurut Gatot, diangkatnya Soeharto menjadi Pahlawan Nasional membuktikan bahwa Orde Baru tidak sejelek yang pihak-pihak tertentu sebutkan. Menurutnya jika masa reformasi lebih baik dari Orde Baru, Pak Harto nggak jadi Pahlawan Nasional.

“Ini membuktikan kebaikan seseorang akan dijaga Tuhan. Hal baik kalau difitnah sana sini, pasti akan dijaga Tuhan,” kata Gatot.

Soal gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto menurut Gatot sudah diusulkan sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di era itu menurutnya pemerintah masih bimbang. Di era pemerintahan Joko Widodo, sangat sulit diputuskan karena partai yang berkuasa berseberangan dan baru ketika pemerintahan Presiden Prabowo, usulan tersebut diterima. 

“Ini menunjukan, bukan manusia yang menentukan saatnya Pak Harto jadi Pahlawan Nasional, tapi Tuhan, melalui Presiden Prabowo,” ujar Gatot. 

Anak-anak dari sebuah SD melakukan kunjungan ke Memorial Jenderal Besar HM Soeharto di Kemusuk, Sedayu, Bantul, Senin 10 November 2025 MOJOK.CO
Anak-anak dari sebuah SD melakukan kunjungan ke Memorial Jenderal Besar HM Soeharto di Kemusuk, Sedayu, Bantul, Senin 10 November 2025. (Agung P/Mojok.co)

Tanggapan untuk masyarakat yang menolak

Saya lantas bertanya kepada Gatot, bagaimana tanggapannya dengan masyarakat yang menolak gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto?

Baginya dan keluarga besar HM Soeharto, itu nggak masalah, pro-kontra pasti ada. Gatot lantas menyatakan bahwa, dulu leluhur kita selalu memberi nasihat yang kini jarang terdengar yaitu konsep, mikul dhuwur mendhem jero.

“Orang yang punya jasa kebaikan baik untuk keluarga, masyarakat, maupun negara, maka jasa kebaikan itu harus dijunjung tinggi. Itu makna mikul dhuwur. Sedangkan mendhem jero, berarti kita sebagai manusia harus menyadari bahwa manusia tidak ada yang sempurna. Pasti ada kelebihan dan kekurangannya.

“Leluhur kita bilang, sik elek-elek dipendem jero wae (yang jelek-jelek dipendam yang dalam saja),” ujar Gatot Nugroho. 

Iklan

Menurutnya, Pak Harto sebagai manusia banyak kekurangannya, tapi menurutnya kebaikannya lebih banyak. 

Gatot lantas memberi contoh, ketika ada pihak-pihak yang membicarakan kekurangan Soeharto di media sosial, buktinya masyarakat justru merespon dengan membela. Komentar-komentar yang muncul justru kebalikan dari maksud orang yang memposting.

“Lho, logikanya kalau ada tokoh yang menjelek-jelekkan seseorang, dan itu orangnya memang punya kejelekan, pasti akan banyak orang yang ikut menjelek-jelekan, tapi ini buktinya justru lebih banyak orang yang berkomentar positif tentang peran Pak Harto. Itu butuh keberanian,” ujar Gatot.

Bagaimana kalau yang posting itu buzzer yang memang dikerahkan untuk mengatakan hal yang positif tentang Soeharto?

“Justru di media sosial terlihat suara hati nurani rakyat. Kebanggaan akan peran Pak Harto sebagai Bapak Pembangunan itu muncul dari kecintaan masyarakat. Buktinya malah mereka berkomentar positif, menunjukkan kecintaan yang tulus tentang Pak Harto, berkebalikan dengan yang posting,” kata Gatot. 

Pahlawan nasional harusnya berikan keteladanan untuk yang hidup

Mojok.co meminta tanggapan sejarawan Universitas Sanata Dharma, Dr Baskara T Wardaya SJ tentang gelar pahlawan nasional untuk Soeharto. Romo Bas, demikian biasa diakrab dipanggil, mengatakan gelar pahlawan nasional itu seharusnya dilihat bukan sekadar proses administratif saja. 

Menurutnya, yang lebih penting adalah melihat proses pengajuan dan motif di baliknya. “Saya tidak menilai individu per individu penerima penghargaan. Yang perlu dipertanyakan adalah proses pemilihannya, siapa yang mengajukan, dan apa tujuan di balik pengajuan itu,” kata penulis buku Bung Karno Menggugat! Dari Marhaen, CIA, pembantaian massal ’65 hingga G30S. 

Ia menyatakan, ketika seseorang mendapat gelar pahlawan nasional, maka sosok itu jadi sumber inspirasi bagi yang hidup.  

Romo Bas menyatakan, apakah tokoh yang memiliki latar belakang praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), memperkaya kroni-kroninya, melanggar kebebasan pers, atau bahkan terlibat dalam mendorong pelanggaran HAM berat, pantas mendapat gelar pahlawan nasional? 

“Yang butuh inspirasi dari para pahlawan ini kan generasi yang masih hidup, bukan yang sudah mati,” lanjut sejarawan yang juga menulis buku Luka Bangsa, Luka Kita: Pelanggaran HAM Masa Lalu dan Tawaran Rekonsiliasi. Buku ini menceritakan tentang pentingnya mengingat kembali pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu di Indonesia, seperti peristiwa 1965-1966 dan pelanggaran HAM lainnya selama Orde Baru.

Keliru kalau pahlawan nasional ditentukan karena hal pragmatis 

Menurut Romo Bas, keteladanan yang diambil dari seorang pahlawan harus dilihat dengan jernih: apakah ia berjuang untuk kepentingan bangsa dan kemanusiaan, atau justru untuk diri sendiri, keluarga, dan kroni-kroninya.

Menurut Romo Baskara, yang berbahaya adalah ketika syarat dan persepsi tentang kepahlawanan menjadi pragmatis. “Misalnya seseorang dianggap baik hati karena membagikan bantuan sosial,” ujarnya, “padahal dana bansos itu berasal dari utang negara dan uang rakyat.” Bila ukuran moral bangsa hanya didasarkan pada hal-hal pragmatis seperti itu, sejarah akan menjadi kabur.

Ia kemudian mengingatkan pesan Pramoedya Ananta Toer: “Orang yang tidak tahu asal-usulnya, tidak akan tahu ke mana ia akan pergi.” Kutipan itu menjadi refleksi penting bahwa bangsa tanpa kesadaran sejarah akan mudah kehilangan arah.

Karena itu, Romo Baskara menekankan pentingnya melihat motif dan proses di balik pemberian gelar pahlawan nasional. Bukan sekadar soal siapa yang dipilih, melainkan pelajaran moral apa yang ditanamkan kepada generasi berikutnya. “Kita harus berhati-hati agar tidak mengajukan sosok yang keliru,” ujarnya. 

Penulis: Agung Purwandono
Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA BACA JUGA: Suara Marsinah dari Dalam Kubur: ‘Lucu! Aku Disandingkan dengan Pemimpin Rezim yang Membunuhku’ atau Liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Terakhir diperbarui pada 11 November 2025 oleh

Tags: pahlawan nasionalSoeharto
Agung Purwandono

Agung Purwandono

Jurnalis di Mojok.co, suka bercocok tanam.

Artikel Terkait

Pemkot Semarang kuatkan usulan gelar pahlawan nasional ke KH. Sholeh Darat MOJOK.CO
Kilas

KH. Sholeh Darat Semarang Harusnya Semat Gelar “Pahlawan”: Penyusun Tafisr Al-Qur’an Jawa Pegon-Guru bagi RA. Kartini hingga KH. Hasyim Asy’ari

12 November 2025
Nasib buruh usai Marsinah jadi pahlawan nasional. MOJOK.CO
Ragam

Suara Hati Buruh: Semoga Gelar Pahlawan kepada Marsinah Bukan Simbol Semata, tapi Kemenangan bagi Kami agar Bebas Bersuara Tanpa Disiksa

12 November 2025
Suara Marsinah dari Dalam Kubur: 'Lucu! Aku Disandingkan dengan Pemimpin Rezim yang Membunuhku'.MOJOK.CO
Ragam

Suara Marsinah dari Dalam Kubur: ‘Lucu! Aku Disandingkan dengan Pemimpin Rezim yang Membunuhku’

10 November 2025
Alasan Soeharto tak layak dapat gelar pahlawan, referensi dari buku Mereka Hilang Tak Kembali. MOJOK.CO
Aktual

Buku “Mereka Hilang Tak Kembali”, Menyegarkan Ingatan bahwa Soeharto Tak Pantas Dapat Gelar Pahlawan, tapi Harus Diadili

1 November 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Gedung Sarekat Islam, saksi sejarah dan merwah Semarang sebagai Kota Pergerakan MOJOK.CO

Upaya Merawat Gedung Sarekat Islam Semarang: Saksi Sejarah & Simbol Marwah yang bakal Jadi Ruang Publik

20 Desember 2025
Safari Christmas Joy jadi program spesial Solo Safari di masa liburan Natal dan Tahun Baru (libur Nataru) MOJOK.CO

Liburan Nataru di Solo Safari: Ada “Safari Christmas Joy” yang Bakal Manjakan Pengunjung dengan Beragam Sensasi

20 Desember 2025
ugm.mojok.co

UGM Dorong Kewirausahaan dan Riset Kehalalan Produk, Jadikan Kemandirian sebagai Pilar

20 Desember 2025
Kisah Kelam Pasar Beringharjo Jogja yang Tak Banyak Orang Tahu MOJOK.CO

Kisah Kelam Pasar Beringharjo Jogja di Masa Lalu yang Tak Banyak Orang Tahu

24 Desember 2025
Terpaksa jadi maling, buronan polisi, hingga masuk penjara karena lelah punya orang tua miskin MOJOK.CO

Terpaksa Jadi Maling-Mendekam di Penjara karena Lelah Punya Orang Tua Miskin, Sejak Kecil Hanya Bisa Ngiler ke Hidup Enak Teman Sebaya

22 Desember 2025
Anugerah Wanita Puspakarya 2025, penghargaan untuk perempuan hebat dan inspiratif Kota Semarang MOJOK.CO

10 Perempuan Inspiratif Semarang yang Beri Kontribusi dan Dampak Nyata, Generasi ke-4 Sido Muncul hingga Penari Tradisional Tertua

23 Desember 2025

Video Terbaru

Petung Jawa dan Seni Berdamai dengan Hidup

Petung Jawa dan Seni Berdamai dengan Hidup

23 Desember 2025
Sepak Bola Putri SD Negeri 3 Imogiri dan Upaya Membangun Karakter Anak

Sepak Bola Putri SD Negeri 3 Imogiri dan Upaya Membangun Karakter Anak

20 Desember 2025
SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.