Gelar pahlawan nasional untuk Soeharto dinilai sudah tepat. Seharusnya masyarakat paham tentang konsep dari leluhur, mikul dhuwur, mendhem jero. Di sisi lain, sejarawan melihat, jangan-jangan ada hal yang keliru dalam kriteria penentuan seseorang jadi pahlawan nasional.
***
Tak biasanya, suasana Museum Jenderal Besar HM Soeharto, Senin (10/11/2025) ramai dengan pengunjung. Biasanya pada hari Senin, museum yang diresmikan 8 Juni 2013 ini akan libur.
“Harusnya libur, Mas, tapi tamu yang konfirmasi akan datang itu banyak. Ada 5 TK dan 2 SD yang datang, jadi akhirnya buka,” kata Kepala Museum Memorial Jenderal Besar HM Soeharto, Gatot Nugroho, kepada Mojok.
Ajak pengunjung museum berdoa agar Soeharto jadi pahlawan nasional
Mojok datang usai Presiden Prabowo mengumumkan 10 pahlawan nasional, termasuk Soeharto, Senin (10/11/2025). Bagi Gatot, ini adalah saat yang ditunggu-tunggu oleh keluarga besar HM Soeharto maupun masyarakat yang mencintai Presiden ke-2 Republik Indonesia tersebut.
“Setiap hari itu kami mengajak pengunjung untuk berdoa agar Pak Harto jadi Pahlawan Nasional, akhirnya terjadi sekarang. Ini berkah Tuhan,” kata Gatot yang bekerja di keluarga Soeharto sejak tahun 1990-an.
Menurut Gatot, diangkatnya Soeharto menjadi Pahlawan Nasional membuktikan bahwa Orde Baru tidak sejelek yang pihak-pihak tertentu sebutkan. Menurutnya jika masa reformasi lebih baik dari Orde Baru, Pak Harto nggak jadi Pahlawan Nasional.
“Ini membuktikan kebaikan seseorang akan dijaga Tuhan. Hal baik kalau difitnah sana sini, pasti akan dijaga Tuhan,” kata Gatot.
Soal gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto menurut Gatot sudah diusulkan sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di era itu menurutnya pemerintah masih bimbang. Di era pemerintahan Joko Widodo, sangat sulit diputuskan karena partai yang berkuasa berseberangan dan baru ketika pemerintahan Presiden Prabowo, usulan tersebut diterima.
“Ini menunjukan, bukan manusia yang menentukan saatnya Pak Harto jadi Pahlawan Nasional, tapi Tuhan, melalui Presiden Prabowo,” ujar Gatot.

Tanggapan untuk masyarakat yang menolak
Saya lantas bertanya kepada Gatot, bagaimana tanggapannya dengan masyarakat yang menolak gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto?
Baginya dan keluarga besar HM Soeharto, itu nggak masalah, pro-kontra pasti ada. Gatot lantas menyatakan bahwa, dulu leluhur kita selalu memberi nasihat yang kini jarang terdengar yaitu konsep, mikul dhuwur mendhem jero.
“Orang yang punya jasa kebaikan baik untuk keluarga, masyarakat, maupun negara, maka jasa kebaikan itu harus dijunjung tinggi. Itu makna mikul dhuwur. Sedangkan mendhem jero, berarti kita sebagai manusia harus menyadari bahwa manusia tidak ada yang sempurna. Pasti ada kelebihan dan kekurangannya.
“Leluhur kita bilang, sik elek-elek dipendem jero wae (yang jelek-jelek dipendam yang dalam saja),” ujar Gatot Nugroho.
Menurutnya, Pak Harto sebagai manusia banyak kekurangannya, tapi menurutnya kebaikannya lebih banyak.
Gatot lantas memberi contoh, ketika ada pihak-pihak yang membicarakan kekurangan Soeharto di media sosial, buktinya masyarakat justru merespon dengan membela. Komentar-komentar yang muncul justru kebalikan dari maksud orang yang memposting.
“Lho, logikanya kalau ada tokoh yang menjelek-jelekkan seseorang, dan itu orangnya memang punya kejelekan, pasti akan banyak orang yang ikut menjelek-jelekan, tapi ini buktinya justru lebih banyak orang yang berkomentar positif tentang peran Pak Harto. Itu butuh keberanian,” ujar Gatot.
Bagaimana kalau yang posting itu buzzer yang memang dikerahkan untuk mengatakan hal yang positif tentang Soeharto?
“Justru di media sosial terlihat suara hati nurani rakyat. Kebanggaan akan peran Pak Harto sebagai Bapak Pembangunan itu muncul dari kecintaan masyarakat. Buktinya malah mereka berkomentar positif, menunjukkan kecintaan yang tulus tentang Pak Harto, berkebalikan dengan yang posting,” kata Gatot.
Pahlawan nasional harusnya berikan keteladanan untuk yang hidup
Mojok.co meminta tanggapan sejarawan Universitas Sanata Dharma, Dr Baskara T Wardaya SJ tentang gelar pahlawan nasional untuk Soeharto. Romo Bas, demikian biasa diakrab dipanggil, mengatakan gelar pahlawan nasional itu seharusnya dilihat bukan sekadar proses administratif saja.
Menurutnya, yang lebih penting adalah melihat proses pengajuan dan motif di baliknya. “Saya tidak menilai individu per individu penerima penghargaan. Yang perlu dipertanyakan adalah proses pemilihannya, siapa yang mengajukan, dan apa tujuan di balik pengajuan itu,” kata penulis buku Bung Karno Menggugat! Dari Marhaen, CIA, pembantaian massal ’65 hingga G30S.
Ia menyatakan, ketika seseorang mendapat gelar pahlawan nasional, maka sosok itu jadi sumber inspirasi bagi yang hidup.
Romo Bas menyatakan, apakah tokoh yang memiliki latar belakang praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), memperkaya kroni-kroninya, melanggar kebebasan pers, atau bahkan terlibat dalam mendorong pelanggaran HAM berat, pantas mendapat gelar pahlawan nasional?
“Yang butuh inspirasi dari para pahlawan ini kan generasi yang masih hidup, bukan yang sudah mati,” lanjut sejarawan yang juga menulis buku Luka Bangsa, Luka Kita: Pelanggaran HAM Masa Lalu dan Tawaran Rekonsiliasi. Buku ini menceritakan tentang pentingnya mengingat kembali pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu di Indonesia, seperti peristiwa 1965-1966 dan pelanggaran HAM lainnya selama Orde Baru.
Keliru kalau pahlawan nasional ditentukan karena hal pragmatis
Menurut Romo Bas, keteladanan yang diambil dari seorang pahlawan harus dilihat dengan jernih: apakah ia berjuang untuk kepentingan bangsa dan kemanusiaan, atau justru untuk diri sendiri, keluarga, dan kroni-kroninya.
Menurut Romo Baskara, yang berbahaya adalah ketika syarat dan persepsi tentang kepahlawanan menjadi pragmatis. “Misalnya seseorang dianggap baik hati karena membagikan bantuan sosial,” ujarnya, “padahal dana bansos itu berasal dari utang negara dan uang rakyat.” Bila ukuran moral bangsa hanya didasarkan pada hal-hal pragmatis seperti itu, sejarah akan menjadi kabur.
Ia kemudian mengingatkan pesan Pramoedya Ananta Toer: “Orang yang tidak tahu asal-usulnya, tidak akan tahu ke mana ia akan pergi.” Kutipan itu menjadi refleksi penting bahwa bangsa tanpa kesadaran sejarah akan mudah kehilangan arah.
Karena itu, Romo Baskara menekankan pentingnya melihat motif dan proses di balik pemberian gelar pahlawan nasional. Bukan sekadar soal siapa yang dipilih, melainkan pelajaran moral apa yang ditanamkan kepada generasi berikutnya. “Kita harus berhati-hati agar tidak mengajukan sosok yang keliru,” ujarnya.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA BACA JUGA: Suara Marsinah dari Dalam Kubur: ‘Lucu! Aku Disandingkan dengan Pemimpin Rezim yang Membunuhku’ atau Liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












