Belakangan ini di media sosial muncul tren “rebutan takjil” antara saudara-saudara non-Islam vs teman-teman muslim. Namun, konteks tren tersebut tentu saja hanya sekadat candaan dan untuk seru-seruan di bulan Ramadan.
Beda dengan apa yang terjadi dalam setiap momen bagi takjil di Surabaya, di mana jatah orang-orang kelas bawah justru direbut oleh orang-orang bermobil yang serakah.
***
Saya meminta seorang teman driver ojek online (ojol) di Surabaya, Dodik (25) untuk melintas di Jl. Ahmad Yani, tepatnya di sekitar Universitas Bhayangkara (UBARA) Surabaya di jam lima sore.
Ia pun menyanggupi. Sebab, sebagai driver ojol, sudah menjadi kebiasannya setiap sore selama Ramadan menyisir titik-titik tertentu di Surabaya untuk berburu takjil.
“Kalau bukber tetap ke masjid Jemursari belakang yang dekat Raja Angkringan,” ucap Dodik.
Masjid itu memang jadi jujukan mahasiswa UINSA, UNUSA, dan para driver ojol Surabaya setiap bulan Ramadan. Saya pun termasuk yang istikamah ke masjid tersebut setiap bulan Ramadan.
Pertama, menu takjil dan buka bersama di masjid tersebut lebih mewah ketimbang masjid-masjid sekitar. Kedua, menu bukber yang berupa nasi kotak pasti akan ada lebihnya. Sehingga lumayan lah buat dibawa ke kos, bisa buat makan malam atau sahur sekalian.
Sebab, masjid tersebut berada di tengah perumahan yang agak elite untuk ukuran Jemursari. Jadi, para jemaah yang merupakan warga perumahan memang tak akan ikut mengambil jatah nasi kota tersebut. Dengan kata lain, nasi kotak itu memang khusus untuk kaum-kaum seperti mahasiswa UINSA, UNUSA, dan para driver ojol.
Orang bermobil di Surabaya ikut rebutan takjil
“Waktu takjil dibagikan, pemotor-pemotor langsung merapat. Tapi ada juga sih orang bermobil yang ikutu nyahut, tapi satu dua aja. Nggak tahu driver (taksi online) juga atau nggak,” terang Dodik setelah sengaja berburu takjil di sekitaran Jl. Ahmad Yani, Surabaya, Senin (18/3/2024).
Sayangnya saya lupa berpesan agar Dodik mengabadikan momen rebutan takjil tersebut. Tapi, kata Dodik, kalau toh saya memintanya mengambil foto, ia pun pastinya tak akan sempat.
“Kamu sudah pengalaman, berburu takjil, bukber, atau nasi kotak Jumatan di Surabaya itu pasti berlangsung brutal,” kata Dodik saat kami berkirim pesan. “Mana sempat foto-foto. Malah nggak kebagian”.
Sebelum ke sekiataran Jl. Ahmad Yani, Surabaya, Dodik mengaku sempat muter ke beberapa titik yang biasanya jadi tempat bagi-bagi takjil. Kata Dodik, bagi-bagi takjil di titik lain itu pun juga tak kalah brutal di kalangan pengendara motor. Sementara untuk pengendara mobil memang tak terlalu.
“Tapi memang kadang ada orang bermobil yang ikut nyikat (takjil),” imbuhnya.
Saya coba bandingkan dengan pengalaman saya sendiri selama kuliah di Surabaya sejak 2017. Sebagai mahasiswa dengan uang saku pas-pasan, jelas saja saya tak akan pernah absen untuk berburu takjil dan bukber gratis di masjid-masjid.
Dulu, dari jembatan penyeberangan UINSA, saya dan beberapa teman akan menyisir Jl. Ahmad Yani di sekitar UBARA. Dulu, dalam satu sore, bisa ada dua hingga tiga kelompok yang bagi-bagi takjil secara bergantian. Karena kebetulan daerah tersebut bisa dibilang merupakan kawasan perkantoran.
Setelah itu, barulah kami akan melipir ke sebuah masjid dekat situ (saya tak pernah tahu namanya sampai sekarang) untuk berburu bukber gratis. Mengingat, menu masjid tersebut masih lebih mewah lah ketimbang masjid-masjid di sekitar kos saya di Wonocolo, Surabaya.
Nah, dalam beberapa kali momen berburu takjil di Jl. Ahmad Yani itu, saya kerap kali mendapati dua sampai tiga mobil yang ikut berebut. Tak hanya satu orang, tapi kadang rombongan keluarga dalam mobil itu ikut turun untuk berebut takjil yang tengah dibagikan.
Apakah mereka benar-benar orang kaya? Saya tidak bisa memastikan. Tapi waktu itu, saya sempat mendengar seorang driver ojol mengeluh, “Wong tumpakane mobil kok melu rebutan takjil (Orang kendaraannya mobil kok ikut rebutan takjil)”.
Soal gratisan tak ada kata ngalah
Karena pengalaman berhadapan dengan brutalnya pekerja-pekerja di Surabaya setiap momen bagi-bagi takjil, saya dan teman-teman komunitas di Surabaya sempat membuat sasaran untuk bagi-bagi buka puasa secara spesifik.
Kami tak melapak di satu lokasi, tapi motoran menyisir sudut-sudut pinggiran Surabaya dengan banner kecil yang jelas-jelas bertuliskan “Khusus Tukang Becak dan Tukang Sampah”. Sebab, ketimbang ojol, secara penghasilan mereka tentu jauh lebih tidak pasti, dan mungkin menjadi orang yang paling sering berpuasa; jarang makan, sehari-hari bergelut dengan rasa lapar.
Setiap kali menemukan tukang becak atau pemulung, kami akan turun, lalu satu di antara kami akan membentangkan banner tersebut dengan harapan agar selain yang kami maksud dalam banner tersebut tidak mendekat.
Tapi dalam praktiknya, sejak di jalanan, sudah ada beberapa orang—baik ojol maupun pengendara motor lain—melirik. Bahkan ada yang sengaja putar balik untuk membuntuti.
Lalu, belum juga kami menyerahkan nasi kotak pada tukang becak atau pemulung, para pengendara motor itu sudah langsung kalap menyerbu. Bentangan banner bertuliskan “Khusus Tukang Becak dan Tukang Sampah” pun terabaikan begitu saja.
Bagi takjil di Surabaya tak pernah kondusif
Cara bagi-bagi takjil seperti yang komunitas kami lakukan sepertinya tak terlalu banyak dipakai oleh mahasiswa-mahasiswa Surabaya. Oleh karena itu, saya mencoba mengulik cerita adik tingkat di sebuah UKM di kampus.
Sebenarnya UKM-nya sendiri masih belum melakukan kegiatan bagi-bagi takjil, alias masih dalam tahap perencanaan. Tapi, Usam (23), bukan nama sebenarnya, mencoba bercerita dari pengalaman Ramadan-Ramadan sebelumnya.
“Tapi kayaknya bahasa yang bagus bukan brutal, deh, tapi lebih ke antusias,” ujar Usam menjabarkan kondisi saat UKM-nya bagi-bagi takjil di Ramadan-Ramadan yang lalu.
“Ya karena antusiasmenya besar, jadinya saling berebutan satu sama lain,” sambungnya.
Usam mengaku mafhum jika memang kondisi bagi-bagi takjil di Surabaya sering kali tak berjalan kondusif. Sebab, rata-rata orang yang melintas adalah perantau dan kelas pekerja, yang bisa jadi uangnya pas-pasan. Sehingga, mereka tak mau ketinggalan tiap ada gratisan.
“Pernah juga nemu orang bermobil ikut rebutan. Sebenarnya nggak apa-apa. Cuma, apa ya mentolo (tega), sudahlah nggak kepanasan karena naik mobil, tapi ikut rebutan takjil sama ojol-ojol yang seharian kepanasan,” ujar Usam. Karena memang panasnya Surabaya di setiap Ramadan seolah bertambah berkali-kali lipat. Bener-bener menyengat.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News.