Ibu-ibu di Rembang, Jawa Tengah kini mau tak mau harus ikut bekerja. Sebab, jika hanya menjadi ibu rumah tangga, pasti akan keteteran untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kondisi tersebut harus mereka jalani karena masa kejayaan para suami sebagai seorang TKI telah habis.
***
Hampir setiap tamu yang berkunjung ke rumah Malikah (43) di momen Lebaran 1445 H/2024 M kemarin pasti menanyakan hal yang sama: ada kerjaan atau tidak. Rata-rata adalah dari kalangan ibu-ibu usia 40-an tahun yang memang satu desa dengan Malikah sendiri.
Di desanya, Manggar, Sluke, Rembang, Malikah bisa dibilang menjadi salah satu ibu-ibu yang cukup berpengalaman di pekerjaan yang ia jalani. Yakni sebagai buruh di sebuah pabrik pengolahan sea food di pusat kota Rembang.
“Saya mulai kerja tahun 2018 di TPI Tasik Agung. Karena lagi butuh kerja, saya coba-coba. Tapi kemudian berlanjut sampai sekarang,” ujar Malikah saat berbincang dengan saya, Minggu, (14/4/2024).
Sejak 2018 sampai sekarang, Malikah sudah terhitung lima kali pindah pabrik. Dari buruh biasa, Malikah kemudian menjadi mandor seperti sekarang ini. Itulah kenapa banyak ibu-ibu di desanya di Rembang yang meminta info-info pekerjaan pada Malikah.
Masa kejayaan suami sebagai TKI sudah habis
Saya tidak menemukan data tertulis mengenai persentase TKI di Desa Manggar, Rembang. Namun, sudah menjadi pengetahuan umum di Rembang bahwa Desa Manggar adalah salah satu desa pemasok TKI terbanyak di Rembang. Di mana mayoritas menjadi TKI di Malaysia.
Di Desa Manggar, Rembang, menjadi TKI memang meningkatkan status sosial seseorang di mata masyarakat setempat. Pasalnya, menjadi TKI dengan pekerjaan sebagai kuli di Malaysia bisa mendapat gaji setara dengan gaji pokok PNS di Indonesia. Gaji yang tentu sulit didapat jika menjadi kuli bangunan di negeri sendiri.
Atas perolehan gaji yang besar tersebut, para TKI itu tampak hidup sangat berkecukupan. Oleh karena itu, mayoritas para suami “memanjakan” istri masing-masing. Istri hanya diam diri di rumah, tinggal menerima kiriman uang setiap bulan.
“Tapi ya para suami yang jadi TKI itu tentu jarang pulang. Ada yang bisa pulang setahun sekali setiap Lebaran. Tapi ada juga yang dua sampai tiga tahun baru pulang,” jelas Malikah
Sayangnya, masa-masa jaya tersebut seiring waktu mulai habis. Para suami di Desa Manggar dalam kurun lima tahun terakhir sejak pandemi Covid-19 sudah jarang ada yang bisa balik lagi menjadi TKI di Malaysia.
“Dengar-dengar untuk mengurus permit semakin susah. Terutama buat yang usianya sudah 50-an ke atas. Biayanya juga makin tinggi. Jadi nggak bisa balik lagi,” jelas Malikah.
Kalau toh ada yang tetap bisa balik ke Malaysia, kebanyakan menempuh jalur ilegal. Dan itu sangat berisiko. Sementara para suami yang tidak bisa balik akhirnya bekerja serabutan. Senemu-nemunya proyek di Indonesia. Paling sering di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, hingga Batam.
“Meskipun upah murah ya tetap diambil. Karena mau dapat duit dari mana lagi,” kata Malikah yang suaminya sendiri merupakan seorang TKI asal Rembang.
Ibu-Ibu di Rembang “dipaksa kerja” untuk penuhi kebutuhan sehari-hari
Karena pemasukan suami semakin berkurang, lebih-lebih karena kerjaan yang tidak tentu (kadang dapat proyek kadang juga tidak), maka banyak sepasang suami istri di Desa Manggar yang mulai keteteran memenuhi kebutuhan hidup. Apalagi jika memiliki anak yang masih sekolah.
Awalnya, kata Malikah, hutang dan menjual-jual beberapa aset yang dimiliki menjadi solusi. Tapi banyak ibu yang menyadari kalau mereka tidak bisa terus-menerus seperi itu. Alhasil, banyak ibu-ibu di Desa Manggar, Rembang yang menjadi buruh di pabrik pengolahan sea food di Rembang.
“Dulu bisa dihitung jari, tapi sekarang banyak sekali ibu-ibu di sini (Desa Manggar) yang ikut jadi buruh,” jelas ibu dua anak itu.
Makin banyak pula ibu-ibu yang kalau ketemu Malikah bertanya perihal lowongan. Malikah, karena merasa berempati, biasanya berupaya mencarikan ibu-ibu itu pekerjaan menjadi buruh harian (bukan buruh tetap). Syukur-syukur jika memang pabrik sedang butuh buruh tetap.
“Buruh harian itu ya kalau pengolahan sedang membludak baru dipanggil. Tapi kan nggak setiap hari. Pokoknya dalam sehari kerja itu dapat upah Rp50 ribu sampai Rp80 ribu,” beber Malikah.
Meski begitu, ibu-ibu di Desa Manggar, Rembang sudah merasa sangat senang dan terbantu. Setidaknya ada jaga-jaga buat beli minyak goreng atau uang saku anak.
Ibu-Ibu di Rembang rasakan kerasnya dunia kerja
Terbiasa tak bekerja berat lalu tiba-tiba harus ikut banting tulang tentu tak mudah bagi para ibu-ibu di Desa Manggar, Rembang. Seperti misalnya pengakuan dari Las (40), tetangga dari Malikah.
Ia coba-coba ikut Malikah bekerja di pabrik pengolahan sea food sebelum Ramadhan 1445 H/2024 M. Sudah jauh-jauh hari ia memang minta tolong ke Malikah kalau ada info tambahan tenaga ia mohon untuk diajak. Sampai akhirnya Malikah mengajaknya. Namun, baru tiga hari ikut kerja, Las merasa tak sanggup.
“Perjalanan Sluke ke Rembang kan jauh, berangkatnya harus pagi-pagi sekali. Tapi paginya kan juga harus mengurus rumah dulu. Terus pulangnya sampai rumah antara Magrib atau Isya. Sampai di rumah nggak langsung istirahat, masih ngurus rumah dulu. Itu kerasa capek sekali,” tutur Las.
“Belum lagi kerjanya berdiri seharian. Rasanya remuk,” sambungnya.
Akan tetapi, Las menyadari kalau ia pun harus terlibat dalam urusan mencari nafkah. Karena suaminya yang kini bekerja serabutan pun sangat keteteran untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
“Kalau nggak ada pilihan lain, mungkin ikut Malikah lagi,” kata Las.
Las jelas bukan satu-satunya. Ada banyak ibu-ibu di Desa Manggar, Rembang yang merasa bahwa kerja seharian ternyata begitu melelahkan. Tapi mereka tidak punya pilihan lain. Mereka harus ikut bekerja.
“Memang sekarang yang ibu-ibu incar kerja di pabrik kayak Malikah. Karena upahnya lumayan. Walaupun memang rekasa,” ucap ibu yang satu anaknya baru saja masuk SMK itu.
Di samping itu, kata Las, tidak sedikit ibu-ibu lain yang mencoba bekerja di bidang lain karena tahu beratnya bekerja di pabrik. Misalnya ada yang jadi tukang bersih-bersih di sebuah penginapan. Ada yang jadi pelayan di sebuah warung bakso di kecamatan. Ada pula yang mencoba peruntungan menjual jajanan anak-anak di sekolah. Hanya saja hasilnya memang masih jauh dari cukup.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News