Gaya hidup banyak gus dan ning—putra dan putri kiai pengasuh pesantren—belakangan memang menjadi sorotan. Para gus dianggap tidak mencerminkan gaya hidup laiknya yang mereka sampaikan dalam setiap ceramaah. Alih-alih penuh kesederhanaan, mereka justru tampil bermewah-mewahan.
Misalnya, ada gus yang berkendara dengan mobil atau motor mahal. Pakai jam tangan Rolex. Pakai tas LV. Bahkan makan di restoran-restoran bintang lima.
“Disuruh sabar dan tawakal sama orang yang hidupnya bergelimang kekayaan.” Begitu komentar seorang warganet merespons gaya hidup mewah para gus. Dalam konteks ini adalah Gus Iqdam (pengasuh Majelis Ta’lim Sabilu Taubah asal Blitar Jawa Timur).
Bukan sekali-dua kali Gus Iqdam, dalam ceramahnya, mengajak agar jemaahnya untuk sabar dan menerima bagaimanapun takdir Allah Swt. Akan tetapi, di media sosial, Gus Iqdam justru sering tampil dengan motor atau mobil mewah.
“Bayangin. Nggak kerja. Cuma ceramah. Tapi hidupnya bisa mewah. Uang dari mana?” Sementera begitu komentar lain yang lebih ekstrem.
Upaya gus dan komunitas pesantren agar tidak dipandang sebelah mata
Sejumlah gus muda—di pesantren Jawa Timur dan Jawa Tengah—yang Mojok hubungi awalnya bersedia diwawancara perihal fenomena tersebut. Namun, mendadak mereka menolak memberi jawaban karena menganggap pertanyaan yang Mojok ajukan terlalu sensitif.
Memang, dalam etik pesantren—sejauh yang reporter Mojok pahami semasa nyantri dulu—ada imbauan agar tidak membahas apalagi sampai mengkritisi gus atau kiai. Argumentasinya, itu bukan wilayah “orang awam”, melainkan jadi wilayah Allah sendiri.
Ada satu ning (sebutan untuk putri kiai pemilik pesantren) asal Jawa Timur yang berkenan menjawab pertanyaan Mojok. Dengan catatan namanya disamarkan. Sekali lagi, pertimbangannya adalah sensitivitas isu yang Mojok bawa. Maka, panggil saja namanya Ning Lia* (26).
“Dulu, orang pesantren itu selalu diidentikkan dengan label kumuh, lecek, kusam, begitu-begitu. Gus atau ning berpakaian agak bagus itu sebenarnya juga upaya agar orang pesantren tidak selalu dipandang begitu. Masa yang boleh berpakaian bagus hanya orang-orang kampus atau kantoran misalnya,” ujarnya, Minggu (16/3/2025) pagi WIB.
Jadi tren baru dunia fashion muslim
Tapi bagaimana jika itu ditiru santri? Sementara santri berangkat dari latar belakang yang beragam. Bagaimanapun, gus, ning, atau bahkan kiai adalah panutan mereka. Dari segi pakaian pun juga mengikuti. Alhasil, kalau ada santri yang secara ekonomi tidak bagus, akan berat mengikutinya. Lalu berpotensi melahirkan kasta sosial di level santri sendiri?
“Prinsipnya, gus atau ning tidak meminta santri mengikuti gaya hidup kami,” jawab Ning Lia.
Namun, menurutnya, tren berpakaian ala gus dan ning yang simpel tapi elegan, bisa jadi tren baru di dunia fashion muslim. Itu membuka peluang ekonomi bagi produk-produk fashion muslim.
Gus dan komunitas pesantren butuh simbol basis sosial
Sosisiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang cukup memperhatikan fenomena dunia pesantren, Asep Suryana, menyebut bahwa fenomena gus dan komunitas pesantren yang tampil mewah adalah bentuk mobilitas vertikal karena terbukanya akses pendidikan.
Setelah reformasi, kata Asep, gus dan komunitas santri semakin gemuk kelas menengahnya. Ditandai oleh munculnya boarding school pesantren berbiaya mahal.
“Sejak era reformasi komunitas santri juga mulai bisa menduduki posisi sentral. Menjadi elite baru. Di buku saya “Di Bawah Laras Negara: Religio-Politik Pesantren di Era Orde Baru”, saya jelaskan di zaman Soeharto komunitas pesantren tidak bisa jadi eksekutif, hanya jadi objek kebijakan saja. Lalu pasca reformasi, karena tidak adanya kelompok dominan, mereka akhirnya bisa berkompetisi: jadi gubernur, menteri, bahkan wapres,” beber Asep.
Lantaran menjadi elite baru, lanjut Asep, maka para gus dan komunitas pesantren membutuhkan simbol-simbol basis sosial seperti pakaian maupun aspek-aspek material lainnya.
Hanya saja, ketika akhirnya memasuki era global yang serba terhubung dengan internet-media sosial, terjadi proses narsisme-individualisme.
“Mereka akhirnya kan punya daya beli karena terpapar oleh gaya hidup tinggi, flexing, dan sebagainya. Apalagi kalau penghayatan keagamaannya tidak dalem, mereka akhirnya terjebak pada materialisme dan modus eksistensi belaka,” kata Asep.
Jangan sampai meninggalkan zuhud
Pada dasarnya, tidak ada masalah dalam gaya necis para gus. Asep melihatnya sebagai alat bagi gus untuk negosiasi dengan kelompok sosial atau politik lain. Biar terlihat setara. Ya persis seperti yang Ning Lia sampaikan sebelumnya.
Kalau diartikan sebagai kapital-simbolik pun juga menarik. Sebab, gaya necis para gus itu bisa menarik komunitas muslim santri untuk naik kelas. Agar santri tidak melulu diidentikkan dengan kondisi serba tak layak.
“Tapi sebaiknya itu hanya diperlakukan sebagai instrumen alias alat, bukan ke hati. Jadi jangan tinggalkan ajaran zuhud, tirakat, dan lain-lain. Zuhud itu kan kerja hati. Kontrol hati agar hati tidak ketergantungan pada materi. Punya materi, tapi tidak menganggap materi adalah segalanya,” papar Asep.
Ini seperti konsep zuhud dari Ibn Athoillah al-Sakandari. Zuhud bukan berarti menolak dunia sama sekali. Tetap mencari dunia. Tapi jangan biarkan diri kita dikuasai oleh dunia. Justru menggunakan dunia sebagai alat untuk menuju akhirat: fi al-dunya hasanah wa fi al-akhirati hasanah.
Mengimbangi gaya hidup dengan daya belajar
Sialnya, fenomena gus-gus muda yang muncul belakangan justru tidak demikian. Malah menunjukkan arogansinya sebagai orang yang tampak mapan.
Maka, untuk sampai pada level seperti yang Ibn Athoillah ilustrasikan, bagi Asep, para gus idealnya harus mau belajar lebih dalam lagi. Kalau perlu belajar yang jauh, belajar dari komunitas-komunitas lain. Jangan terjebak dalam rasa nyaman di pesantren sendiri.
Dengan begitu, para gus nanti akan punya akses pada kemapanan ekonomi, tapi tidak lantas menjadi orang yang, meminjam istilah Jawa, gumunan. Punya materi, tapi ya biasa saja. Tidak lantas flexing dan narsis.
“Saya membayangkan komunitas gus itu mau seperti komunitas Tionghoa. Biarpun mereka (komunitas Tionghoa) mapan, anak-anaknya rajin belajar dan terus meningkatkan kapasitas diri,” tutur Asep.
“Intinya gus-gus memang harus punya keilmuan yang mendalam. Bukan hanya karena anak kiai dia otomatis sama tingkat kealiman maupun kesalehannya dengan bapaknya. Dia kan cuma anak. Kalau mau punya ilmu ya belajar. Harus punya tradisi belajar yang kuat,” tandasnya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Banyak Grup Salawat Tak Paham Bahasa Arab, Salah Kaprah Sandingkan Pujian pada Nabi dengan Sanjungan ke Gus Azmi atau liputan Mojok lainnya rubrik Liputan
.