Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Liputan Ragam

Gaya Mewah Para Gus Masa Kini, Upaya Relevan dengan Zaman atau Meninggalkan Kezuhudan?

Muchamad Aly Reza oleh Muchamad Aly Reza
20 Maret 2025
A A
Gaya mewah gus di pesantren masa kini MOJOK.CO

Ilustrasi - Gaya mewah gus di pesantren masa kini. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Gaya hidup banyak gus dan ning—putra dan putri kiai pengasuh pesantren—belakangan memang menjadi sorotan. Para gus dianggap tidak mencerminkan gaya hidup laiknya yang mereka sampaikan dalam setiap ceramaah. Alih-alih penuh kesederhanaan, mereka justru tampil bermewah-mewahan.

Misalnya, ada gus yang berkendara dengan mobil atau motor mahal. Pakai jam tangan Rolex. Pakai tas LV. Bahkan makan di restoran-restoran bintang lima.

“Disuruh sabar dan tawakal sama orang yang hidupnya bergelimang kekayaan.” Begitu komentar seorang warganet merespons gaya hidup mewah para gus. Dalam konteks ini adalah Gus Iqdam (pengasuh Majelis Ta’lim Sabilu Taubah asal Blitar Jawa Timur).

Bukan sekali-dua kali Gus Iqdam, dalam ceramahnya, mengajak agar jemaahnya untuk sabar dan menerima bagaimanapun takdir Allah Swt. Akan tetapi, di media sosial, Gus Iqdam justru sering tampil dengan motor atau mobil mewah.

“Bayangin. Nggak kerja. Cuma ceramah. Tapi hidupnya bisa mewah. Uang dari mana?” Sementera begitu komentar lain yang lebih ekstrem.

Upaya gus dan komunitas pesantren agar tidak dipandang sebelah mata

Sejumlah gus muda—di pesantren Jawa Timur dan Jawa Tengah—yang Mojok hubungi awalnya bersedia diwawancara perihal fenomena tersebut. Namun, mendadak mereka menolak memberi jawaban karena menganggap pertanyaan yang Mojok ajukan terlalu sensitif.

Memang, dalam etik pesantren—sejauh yang reporter Mojok pahami semasa nyantri dulu—ada imbauan agar tidak membahas apalagi sampai mengkritisi gus atau kiai. Argumentasinya, itu bukan wilayah “orang awam”, melainkan jadi wilayah Allah sendiri.

Ada satu ning (sebutan untuk putri kiai pemilik pesantren) asal Jawa Timur yang berkenan menjawab pertanyaan Mojok. Dengan catatan namanya disamarkan. Sekali lagi, pertimbangannya adalah sensitivitas isu yang Mojok bawa. Maka, panggil saja namanya Ning Lia* (26).

“Dulu, orang pesantren itu selalu diidentikkan dengan label kumuh, lecek, kusam, begitu-begitu. Gus atau ning berpakaian agak bagus itu sebenarnya juga upaya agar orang pesantren tidak selalu dipandang begitu. Masa yang boleh berpakaian bagus hanya orang-orang kampus atau kantoran misalnya,” ujarnya, Minggu (16/3/2025) pagi WIB.

Jadi tren baru dunia fashion muslim

Tapi bagaimana jika itu ditiru santri? Sementara santri berangkat dari latar belakang yang beragam. Bagaimanapun, gus, ning, atau bahkan kiai adalah panutan mereka. Dari segi pakaian pun juga mengikuti. Alhasil, kalau ada santri yang secara ekonomi tidak bagus, akan berat mengikutinya. Lalu berpotensi melahirkan kasta sosial di level santri sendiri?

“Prinsipnya, gus atau ning tidak meminta santri mengikuti gaya hidup kami,” jawab Ning Lia.

Namun, menurutnya, tren berpakaian ala gus dan ning yang simpel tapi elegan, bisa jadi tren baru di dunia fashion muslim. Itu membuka peluang ekonomi bagi produk-produk fashion muslim.

Gus dan komunitas pesantren butuh simbol basis sosial

Sosisiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang cukup memperhatikan fenomena dunia pesantren, Asep Suryana, menyebut bahwa fenomena gus dan komunitas pesantren yang tampil mewah adalah bentuk mobilitas vertikal karena terbukanya akses pendidikan.

Setelah reformasi, kata Asep, gus dan komunitas santri semakin gemuk kelas menengahnya. Ditandai oleh munculnya boarding school pesantren berbiaya mahal.

Iklan

“Sejak era reformasi komunitas santri juga mulai bisa menduduki posisi sentral. Menjadi elite baru. Di buku saya “Di Bawah Laras Negara: Religio-Politik Pesantren di Era Orde Baru”, saya jelaskan di zaman Soeharto komunitas pesantren tidak bisa jadi eksekutif, hanya jadi objek kebijakan saja. Lalu pasca reformasi, karena tidak adanya kelompok dominan, mereka akhirnya bisa berkompetisi: jadi gubernur, menteri, bahkan wapres,” beber Asep.

Lantaran menjadi elite baru, lanjut Asep, maka para gus dan komunitas pesantren membutuhkan simbol-simbol basis sosial seperti pakaian maupun aspek-aspek material lainnya.

Hanya saja, ketika akhirnya memasuki era global yang serba terhubung dengan internet-media sosial, terjadi proses narsisme-individualisme.

“Mereka akhirnya kan punya daya beli karena terpapar oleh gaya hidup tinggi, flexing, dan sebagainya. Apalagi kalau penghayatan keagamaannya tidak dalem, mereka akhirnya terjebak pada materialisme dan modus eksistensi belaka,” kata Asep.

Jangan sampai meninggalkan zuhud

Pada dasarnya, tidak ada masalah dalam gaya necis para gus. Asep melihatnya sebagai alat bagi gus untuk negosiasi dengan kelompok sosial atau politik lain. Biar terlihat setara. Ya persis seperti yang Ning Lia sampaikan sebelumnya.

Kalau diartikan sebagai kapital-simbolik pun juga menarik. Sebab, gaya necis para gus itu bisa menarik komunitas muslim santri untuk naik kelas. Agar santri tidak melulu diidentikkan dengan kondisi serba tak layak.

“Tapi sebaiknya itu hanya diperlakukan sebagai instrumen alias alat, bukan ke hati. Jadi jangan tinggalkan ajaran zuhud, tirakat, dan lain-lain. Zuhud itu kan kerja hati. Kontrol hati agar hati tidak ketergantungan pada materi. Punya materi, tapi tidak menganggap materi adalah segalanya,” papar Asep.

Ini seperti konsep zuhud dari Ibn Athoillah al-Sakandari. Zuhud bukan berarti menolak dunia sama sekali. Tetap mencari dunia. Tapi jangan biarkan diri kita dikuasai oleh dunia. Justru menggunakan dunia sebagai alat untuk menuju akhirat: fi al-dunya hasanah wa fi al-akhirati hasanah.

Mengimbangi gaya hidup dengan daya belajar

Sialnya, fenomena gus-gus muda yang muncul belakangan justru tidak demikian. Malah menunjukkan arogansinya sebagai orang yang tampak mapan.

Maka, untuk sampai pada level seperti yang Ibn Athoillah ilustrasikan, bagi Asep, para gus idealnya harus mau belajar lebih dalam lagi. Kalau perlu belajar yang jauh, belajar dari komunitas-komunitas lain. Jangan terjebak dalam rasa nyaman di pesantren sendiri.

Dengan begitu, para gus nanti akan punya akses pada kemapanan ekonomi, tapi tidak lantas menjadi orang yang, meminjam istilah Jawa, gumunan. Punya materi, tapi ya biasa saja. Tidak lantas flexing dan narsis.

“Saya membayangkan komunitas gus itu mau seperti komunitas Tionghoa. Biarpun mereka (komunitas Tionghoa) mapan, anak-anaknya rajin belajar dan terus meningkatkan kapasitas diri,” tutur Asep.

“Intinya gus-gus memang harus punya keilmuan yang mendalam. Bukan hanya karena anak kiai dia otomatis sama tingkat kealiman maupun kesalehannya dengan bapaknya. Dia kan cuma anak. Kalau mau punya ilmu ya belajar. Harus punya tradisi belajar yang kuat,” tandasnya.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Banyak Grup Salawat Tak Paham Bahasa Arab, Salah Kaprah Sandingkan Pujian pada Nabi dengan Sanjungan ke Gus Azmi atau liputan Mojok lainnya rubrik Liputan

.

 

 

 

Terakhir diperbarui pada 20 Maret 2025 oleh

Tags: gaya hidup gusgusPesantrenpesantren jawa timurpilihan redaksi
Muchamad Aly Reza

Muchamad Aly Reza

Reporter Mojok.co

Artikel Terkait

pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO
Ragam

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO
Ragam

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO
Ragam

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO
Ragam

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
'Aku Suka Thrifting': Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism.MOJOK.CO

‘Aku Suka Thrifting’: Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.