Pukul 14.00 WIB, beberapa perempuan tampak keluar pabrik. Bercanda-canda. Sebagian menuju tempat salat. Sebagian lain duduk-duduk menyantap bekal makanan. Begitu lah pemandangan yang saya dapati saat mampir di sebuah pabrik rokok di Mlati, Sleman, Jogja.
Perempuan-perempuan itu berangkat dari kalangan usia yang beragam. Muda, dewasa, paruh baya.
“Total buruh di sini ada 160. Mayoritas memang perempuan,” ujar Waljid Budi Lestarianto, salah satu petinggi di pabrik rokok Jogja tersebut yang juga merupakan Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Rokok Tembakau Makanan dan Minuman (SPSI-RTMM) DIY.
Waljid menjadi orang pertama yang menjamu saya saat mampir di sana. Belum berselang lama berbincang, beberapa buruh berduyun-duyun keluar pabrik: istirahat.
Atas seizin Waljid, saya dipersilakan berbincang dengan dua orang buruh pabrik di salah satu pabrik rokok di Jogja tersebut.

Lulus SMA, mondar-mandir cari kerja
Jauh sebelum menjadi buruh di pabrik rokok Jogja tersebut, Rahma (22) awalnya begitu kesulitan mencari pekerjaan di Jogja.
Rahma lulusan sebuah SMA di Sleman. Setelah lulus tiga tahun lalu, ijazah dan cv-nya sudah dia masukkan ke berbagai pabrik dan beragam info loker lain. Sayangnya, satu pun tidak ada yang nyantol.
“Akhirnya kerja di toko kelontong. Gajinya nggak seberapa (jelas jauh dari UMR Jogja),” tutur Rahma.
Namun, Rahma mengaku ijazah SMA-nya tidak membantunya banyak untuk mencari kerja di Jogja. Alhasil, dia hanya bisa bertahan di toko kelontong tersebut hingga akhirnya Rahma mendapat informasi lowongan pekerjaan dari pabrik rokok di Jogja tersebut.
Rahma lantas mendaftar. Dan begitu mudahnya dia diterima.
“Waktu itu nggak kebayang juga kerjanya bagaimana. Karena kan aku nggak punya keterampilan sama sekali soal rokok. Cuma karena gajinya besar, aku nekat daftar,” kata Rahma.
Rahma memang nol keterampilan soal rokok. Akan tetapi, di pabrik rokok Jogja itu, dia mendapat pelatihan. Dia lalu ditempatkan di bagian packing.
Gaji buruh pabrik rokok di Mlati, Sleman, Jogja, untuk bantu orangtua
Iming-iming soal gaji besar ternyata bukan omong kosong belaka. Rahma mengaku menerima gaji di atas UMR Jogja.
“Alhamdulillah bisa buat beli motor sendiri,” ungkap Rahma dengan mata berbinar.
Bagi orang seperti Rahma, bisa beli motor dari hasil jerih payah sendiri menjadi sesuatu yang melegakan. Sesuatu yang nyaris tak terbayang ketika dulu masih menjadi karyawan toko.
Motor tersebut lah yang kemudian menjadi alat bagi Rahma untuk mobilitas sehari-hari.
“Sebagian uang juga bisa buat bantu-bantu orangtua,” sambungnya.
Rahma sebenarnya punya dua kakak. Hanya saja, keduanya kini tinggal di luar kota.
Sebagai anak bungsu, Rahma mendapat tanggungjawab untuk menemani orangtuanya di rumah (Sleman). Maka, Rahma merasa bersyukur karena tidak hanya sekadar menemani, lebih-lebih menjadi beban. Tapi Rahma bisa membantu kebutuhan hidup orangtuanya.
Jadi buruh pabrik rokok di Mlati, Sleman, Jogja, tak ada batasan usia
Saya juga berbincang dengan Ani (38), seorang ibu-ibu asal Gunung Kidul.
“Saya di Sleman ngekost, Mas, sama anak dan suami. Suami saya jadi satpam di sini (di pabrik rokok tempat Ani bekerja),” ujarnya sembari menunjuk seorang pria berseragam satpam yang sedang menjaga di pos depan pabrik.

Bagi Ani, salah satu kemudahan menjadi buruh di pabrik rokok, selain tak memerlukan ijazah dan keterampilan, adalah tidak diberlakukannya batasan umur.
Ani mulai menjadi buruh di pabrik rokok dalam tiga tahun terakhir. Saat pertama kali mendaftar kerja di sebuah pabrik rokok di Berbah, Sleman, dia sudah berumur 35 tahun.
Lalu di usianya yang hampir kepala empat, ternyata dia masih diterima saat melamar kerja di pabrik rokok tempat kerjanya sekarang (Mlati, Sleman).
“Ada juga yang lebih tua dariku. Memang nggak ada batasan umur,” ungkap perempuan berkacamata itu.
Yang penting anak bisa sekolah
Sebelum menjadi buruh pabrik rokok di Jogja, Ani mengaku sudah menjajal bekerja dari satu pabrik ke pabrik lain. Hingga suatu ketika, dia mendengar omong-omong dari temannya kalau kerja di pabrik rokok gajinya lebih menggiurkan.
Benar saja. Persis seperti pengakuan Rahma, Ani mengaku saat ini menerima gaji di atas UMR Jogja. Belum lagi ada jaminan BPJS pula.
“Syukur bisa buat bantu-bantu suami mencukupi kebutuhan sehari-hari. Paling penting bisa buat menyekolahkan anak. Sekarang anakku sudah kelas 3 SMP, sudah mau SMA,” kata Ani.
Sama seperti Rahma, Ani juga di bagian packing. Seturut pengalaman Ani, kerja di pabrik rokok terasa manusiawi.
“Sistemnya kan borongan. Kalau sudah target, bisa pulang. Misal, aku kok jam 3 (sore) sudah target, bisa langsung pulang. Bisa langsung ngurus anak,” akunya.
Kesempatan untuk perempuan
Jam istirahat rampung. Ani, Rahma, dan buruh-buruh lain bergegas kembali masuk pabrik. Sisa waktu saya habiskan untuk berbincang dengan Waljid, sembari menunggu hujan reda.
“Begini, Mas. Kalau kami pakai syarat harus berpengalaman, di pabrik rokok itu kalau ada yang berpengalaman, dia pasti naik posisi. Jadi mandor misalnya. Gajinya makin besar. Jadi kemungkinannya kecil untuk cari buruh yang sudah berpengalaman,” ujar Waljid menjelaskan perihal sistem perekrutan yang tidak menitikberatkan ijazah, pengalaman, dan umur.
“Jadi ya sudah, kami ambil yang bahkan nol keterampilan. Kami latih. Itu lah baiknya pabrik rokok. Memberi peluang kerja, terutama bagi perempuan,” tegas Waljid.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Getirnya Menjadi Buruh Pabrik di Tengah Keluarga PNS, Diremehkan Meski Gaji Lebih Besar dan Jadi Tulang Punggung Keluarga atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












