Kepada siapapun yang masih sensi terhadap demo buruh, sesekali bisa menonton Upstream di Hari Buruh Sedunia. Film dari China tersebut menceritakan perjuangan para kurir pengantar makanan (ojol) usai terkena PHK dan harus menghidupi keluarganya.
***
Hati saya tergelitik saat melihat komentar netizen terhadap demo Hari Buruh Sedunia kemarin, Kamis (1/5/2025). Alih-alih mendukung perjuangan buruh, beberapa masyarakat tak sepakat karena dianggap menganggu.
“Pancet ae, mbok yo sekali-kali buruh iku bikin adem ati. Bukan e malah bikin rusuh terus (Selalu seperti ini, kalau bisa sekali-kali buruh itu bikin hati damai. Bukannya rusuh),” komentar Octavia pada salah satu postingan di Instagram soal potret aksi May Day 2025 di Surabaya, dikutip Jumat (2/5/2025).
Beberapa netizen pun ikut menimpali dengan komentar membetulkan, karena demo buruh hanya membuat macet, menghalangi orang-orang yang masih bekerja, dan kebanyakan hanya menyulut emosi karena tuntutan yang tak masuk akal.
Sebelum terbawa arus lebih jauh dan sensi tak berujung, sejatinya demo buruh adalah hal yang wajar. Beberapa kelompok buruh berhak memperingatinya dalam bentuk upacara kebersamaan, kegiatan sosial, bahkan demo karena prihatin dengan nasib mereka.

Pengamat Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Bayu Dwi Apri Nugroho berujar peringatan Hari Buruh adalah momentum bagi buruh untuk mengubah nasib mereka, karena selama ini berbagai kebijakan dari pemerintah belum berpihak pada mereka.
“Mereka belum sepenuhnya hidup layak sesuai dengan harapan. Penghasilan pas-pasan membuat mereka terpaksa hidup apa adanya. Kerja keras yang mereka lakukan tidak seimbang dengan suasana hidup layak sebagai anak bangsa,” ujar Bayu dikutip dari laman resmi UGM, Jumat (2/5/2025).
Saya pun jadi teringat film Upstream yang tayang di Netflix pada Januari 2025. Film asal China tersebut menampilkan fenomena pasar kerja yang tidak menentu serta hidup sulit jutaan warganya yang terpaksa bekerja serabutan.
Realitas buruh yang ditunjukkan dalam film Upstream
Gao Zhilei, selaku karakter utama dalam film tersebut mengalami jalan buntu karena tak ada perusahaan yang mau merekrutnya. Salah satunya karena batas usia pelamar.
Saat diberhentikan kerja sebagai progammer di perusahaan digital, usia Gao Zhilei sudah kepala empat dan hampir menginjak paruh baya. Sementara, kebanyakan pemberi kerja lebih memilih anak muda dengan ide segar, meski ia punya pengalaman dan kemampuan mumpuni yang lebih.
Akhirnya, Gao Zhilei terpaksa bekerja serabutan sebagai pengantar makanan alias ojek online. Kondisi keluarga membuat dia harus bertindak cepat untuk mendapat pekerjaan ketimbang membuat bisnis baru.

Mulanya, Gao Zhilei sempat menyembunyikan pekerjaannya sebagai ojol dari kedua orang tua dan anaknya. Ia takut mereka malu atas pekerjaan tersebut. Bahkan saat ketahuan, ayahnya langsung tak merestui.
“Lulusan Tongji menjadi kurir makanan?” keluh ayahnya saat itu.
“Apa salahnya?” jawab Gao Zhilei.
“Aku tidak membanting tulang demi kuliahmu agar kau menjadi kurir,” jawab ayahnya marah.
Namun, Gao Zhilei seolah tak punya pilihan lain karena harus memenuhi kebutuhan keluarganya yang mendesak. Ia harus membiayai rehabilitasi ayahnya yang terkena stroke hingga cicilan rumah. Sampai-sampai, Gao Zhilei harus membatalkan biaya pendidikan anaknya yang baru diterima di kelas internasional.
Semangat buruh demi menghidupi keluarga
Padahal, menjadi pengantar makanan dengan upah yang sedikit bukanlah pekerjaan mudah. Mereka harus ngebut saat mengendarai motor di jalan agar tidak terlambat mengirim makanan. Jika tidak, upahnya akan dikurangi.
Upstream juga menggambarkan persaingan antar ojol dan platform pengirim makanan yang bekerja tiada henti. Mereka jarang punya waktu untuk istirahat.
Ada yang bekerja selama 14 jam demi mendapatkan insentif. Ada pula yang harus mengambil jalan pintas berbahaya agar tepat waktu mengantar makanan dan mendapat ulasan bagus. Namun, cara itu berisiko karena rawan kecelakaan. Padahal, tidak ada pekerjaan seharga nyawa.

“Aku berpikir roda (truknya) dan kepalaku sangat dekat nyaris sekali. Jika aku tak selamat, aku akan merasa lega. Namun, keluargaku bagaimana?” ucap salah satu ojol yang akrab dipanggil Si Pelit dalam film Usptream usai mengalami kecelakaan.
Upstream: ojol berhak mendapat rasa hormat
Realitas yang digambarkan dalam film Upstream tak jauh berbeda dengan kondisi buruh di Indonesia. Pada Hari Buruh Sedunia kemarin, serikat buruh di Indonesia menyampaikan beberapa tuntutan, mulai dari cabut UU Cipta Kerja beserta PP turunnya, lawan badai PHK, sahkan RUU Ketenagakerjaan yang pro buruh, hingga berikan kepastian dan jaminan kerja yang layak.
Tak jarang, dari film tersebut misalnya, keterlambatan ojol dalam mengirim makanan selalu dilimpahkan ke mereka. Kadang kala, konsumen tak mau memahami dengan kondisi permintaan pesanan yang muncul di jam-jam padat, kesalahan konsumen saat mengirim alamat, lokasi tempat tinggal yang sulit dijangkau alat transportasi, dan lain sebagainya.
Bagi ojol pelanggan adalah raja. Mereka terpaksa tersenyum walaupun kondisi mereka tak diuntungkan. Kalau tidak, ulasan buruk dari pelanggan akan mengurangi poin mereka. Di sisi lain, ojol seolah menjadi jalan alternatif satu-satunya bagi para pencari kerja.
“Aku bersyukur atas pekerjaan ini. Saat mencapai titik terendah ini membuatku merangkak atau bangkit lagi,” ujar Gao Zhilei.
“Semua orang yang kulihat dan kutemui bekerja sangat keras. Kita semua bekerja keras demi membangun kehidupan yang lebih baik, berjuang demi keluarga kita dan hari esok yang lebih baik. Kita semua berusaha sangat keras. Untuk itu, kita pantas mendapat rasa hormat dan layak mendapat hidup yang lebih baik,” lanjutnya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Hari Buruh 2025: Serikat Pekerja Minta Hentikan Eksploitasi pada Gen Z hingga Syarat Lamaran Kerja yang Aneh atau liputan Muchamad Aly Reza lainnya di rubrik Liputan.












