Di tengah-tengah Desa Bumirejo, Kebumen, berlatar tahun 1950-an, 1965, hingga 1980-an, berdiri sebuah padepokan bernama Padepokan Gowokan. Di sanalah seorang perempuan akan mengajari laki-laki dari kalangan bangsawan untuk menjadi lelananging jagat (lelaki sejati) melalui ritual Gowok. Begitulah premis utama film Gowok: Kamasutra Jawa, film terbaru Hanung Bramantyo.
Dalam beberapa catatan, Gowok adalah praktik di mana laki-laki diajari banyak hal terkait kehidupan berumah tangga. Salah satu yang paling vital adalah: mengajari kehidupan ranjang agar laki-laki bisa memuaskan istrinya.
Perjalanan mencari Gowok
Kepingan sejarah mengenai keberadaan Gowok yang pernah eksis langsung membuat Hanung Bramantyo tertarik untuk menelusurinya.
Pertama, tentu karena Gowok menjadi bagian dari tradisi masyarakat Jawa tempo dulu yang kini nyaris terlupakan. Hanung merasa perlu mengangkatnya sebagai pengingat bahwa tradisi seperti itu pernah ada sebelum akhrinya dinilai tabu.
“Kita mengenal Kamasutra Hindu. Isinya bagaimana istri memuaskan suami. Nah kalau Gowok ini sebaliknya, suamilah yang harus memuaskan istri. Saya menyebutnya Kamasutra Jawa. Kekhasannya itu yang membuat saya tertarik,” ungkap Hanung Bramantyo dalam special screening film Gowok: Kamasutra Jawa di Empire XXI Jogja, Minggu (1/6/2025) malam WIB.

Hanung lantas mencoba menelusuri sumber-sumber primer perihal Gowok. Sayangnya, dia tak kunjung menemukan sumber yang memberi gambaran mendalam perihal praktik tersebut.
Akhirnya Hanung bertemu dengan novel Nyai Gowok karya Budi Sardjono yang, sekalipun fiksi, tapi berangkat dari riset yang dilakukan oleh Budi. Novel itulah yang kemudian Hanung jadikan sebagai gambaran untuk menggarap film terbarunya.
“Fungsi film ini untuk memberi wacana yang masih belum primer, masih sekunder, supaya memantik siapapun untuk membicarakan ini agar nanti beranjak ke penelitian mendalam,” sambung Hanung.
Lubang untuk banyak burung
Praktik Gowok konon dikenalkan oleh seorang perempuan Tionghoa bernama Goo Wok Niang. Dia berlabuh di Jawa bersama dengan rombongan Laksamana Cheng Ho.
Di negeri asalnya, Goo Wok Niang memang sudah melakukan praktik Gowokan: mengajari kehidupan rumah tangga untuk anak-anak bangsawan. Termasuk pelajaran seksual.
Sementara Budi Sardjono selaku penulis novel Nyai Gowok menyebut, “gowok” juga berasal dari bahasa Jawa yang berarti lubang atau celah. Lebih spesifik lagi: lubang atau celah di pohon yang biasanya digunakan burung untuk membuat sarang.
Lihat postingan ini di Instagram
Iklan
Dalam tradisi Gowokan, ini adalah simbol: pohon adalah padepokan Gowokan, sementara burung adalah laki-laki yang datang untuk belajar.
“Gowok mengajari wanita, jika postur tubuh laki-laki seperti ini harus gimana cara melayaninya. Mendewasakan laki-laki biar jadi lelananging jagat,” beber Budi yang juga hadir dalam special screening.
“Tantangan Gowok itu melawan pantangan. Pertama, tidak boleh jatuh cinta pada laki-laki yang dididik.Kedua tidak boleh hamil. Kalau hamil reputasinya sebagao Gowok gagal. Mangkanya dulu sebelum ada KB, ada pijet walik. Rahimnya dibalik biar nggak hamil,” sambungnya.
Gowok: orgasme adalah hak perempuan
Bagi Hanung Bramantyo, Gowok tidak sekadar cerita sejarah. Lewat film ini dia juga ingin menyampaikan bahwa perempuan juga berhak mendapat kepuasan melalui hubungan seksual (suami istri).
“Orgasme adalah hak perempuan. Jangan pernah mau perempuan diminta untuk memuaskan laki-laki terus menerus. Kenapa selama ini perempuan nggak pernah mikir orgasme? Karena mikir pokoknya yang penting suami puas. Itu karena kultur kita. Akhirnya ketika perempuan bicara soal orgasme, dianggap tabu,” beber Hanung.
Hanung Bramantyo mendasari argumennya pada ayat yang termaktub dalam Q.S. al-Baqarah ayat 187: Hunna libāsul lakum wa antum libāsul lahunn (Mereka istri-istri adalah pakaian bagimu (suami), dan kamu sekalian (suami) adalah pakaian bagi mereka (istri).
“Perempuan dan laki-laki itu ibarat pakaian, saling melengkapi, saling memberi kenyamanan. Tapi kenapa yang diajarkan perempuan yang harus memuaskan laki-laki? Padahal ayat itu berisi “saling”,” papar Hanung.
Ada juga Q.S. al-Nisa ayat 34: Arrijalu qowwamuna ala al-nisa. Selama ini, ayat itu diartikan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Tapi dari yang Hanung Bramantyo pelajari, “qowwamuna” artinya: bertanggung jawab.
Dalam konteks rumah tangga, tanggung jawab laki-laki (suami) juga menyangkut tanggung jawab memberi hak kepuasan bagi perempuan (istri). Tidak melulu sebaliknya.
Keliaran dan keberanian yang disensor
Hanung Bramantyo memiliki ide-ide liar dalam penggarapan film Gowok: Kamasutra Jawa. Maklum saja, selain karena membahas isu tabu, motifnya menggarap film ini juga karena ingin memperbanyak film dengan wacana ‘65-an, tahun-tahun penuh tragedi dalam sejarah bangsa Indonesia.
“Indonesia banyak sekali cerita yang bersifat tragedi dalam kehidupan berbangsa dari zaman raja-raja. hingga sekarang ini. Nah, tragedi 65 nggak banyak yang berani mengeksplorasi. Jadi saya memberanikan diri untuk itu,” ungkapnya. Apalagi situasi 65 sangat emosional bagi Hanung.
“Saya lahir 1 Oktober. Di hari itu mesti bendera setengah tiang (simbol berkabung). Saya dulu tanya ke ibu: Kok tiap saya ulang tahun semua orang malah berkabung. Ibu menjelaskan soal Komunis. Ditambah lagi, setiap tanggal itu ada pemutaran film G30S,” sambungnya.
Terlalu banyak fakta yang disembunyikan dari tragedi ’65. Melalui film terbarunya ini, Hanung mencoba memberi wacana baru perihal setiuasi mencekam di tahun-tahun tersebut.
Meski penuh keberanian, tapi Hanung mengakui kalau ada bagian-bagian dari ide liarnya yang harus disensor. Oleh karena itu, dia membagi film Gowok: Kamasutra Jawa ke dalam dua versi: 17+ dan 21+. Film ini dijadwalkan tayang serentak di layar lebar pada 5 Juni 2025.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Film dan Series Indonesia Isinya Selalu Adegan Panas nan Erotis, Tapi Itu Bukan Berarti Mesum atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












