Surabaya pusat memang gemerlap. Namun, jika masuk ke gang-gang sempit di balik gedung-gedung tingginya, ada “kehidupan prihatin” yang harus dilalui beberapa orang. Salah satunya di Gang Jojoran, Gubeng, Surabaya yang menjadi saksi hidup prihatin mahasiswa Universitas Airlangga (Unair).
***
Dodo (21) buta Surabaya saat pertama kali ke kota tersebut pada 2021 silam untuk kuliah di Universitas Airlangga (Unair). Sebagai orang yang tak terhitung mapan, tentu saja dia mencoba mencari indekos dengan harga semurah mungkin.
Apalagi sejak pertama ke Surabaya itu dia memang tidak mendapat uang saku dari orangtuanya. Dia hanya mengandalkan uang dari beasiswa untuk hidup dalam beberapa tahun ke depan.
“Nemulah kos di Jojoran, Gubeng. Harganya Rp400 ribu. Itu sudah paling murah. Karena kebanyakan harganya lebih dari itu. Maklum, pusat kota,” ungkapnya, Minggu (27/4/2025).
Tertolong harga serba murah
Setelah meninggali kos di Gang Jojoran, Gubeng, Surabaya itu, satu hal yang Dodo syukuri, yakni harga-harga yang serba murah. Tidak hanya harga indekos, tapi juga harga kebutuhan seperti makan dan lain-lain.
“Karena kebetulan dekat pasar. Kalau beli apa di pasar itu murah,” kata Dodo.
Warung-warung makan yang tersedia di sekitar kosnya pun menyediakan harga murah. Setidaknya pada saat itu.
Selisih harganya terbilang lumayan jika dibanding makan di luar. Apalagi jika makan di sekitar kampus Unair yang kalau untuk ukurannya terasa amat mahal karena bisa di angka belasan ribu.
“Di Jojoran waktu itu Rp8 ribuan masih dapat. Tapi ya seadanya,” kata Dodo.
Kesumpekan Gang Jojoran, Gubeng, Surabaya
Hal pertama yang mahasiswa Unair itu keluhkan adalah kondisi gang di Gang Jojoran, Gubeng, Surabaya, yang kelewat sempit. Kata Dodo, hanya cukup satu motor untuk melaluinya.
Maka, ketika berpapasan dengan pengendara motor lain, kalau tidak memepetkan motor ke tembok rumah warga semepet-mepetnya untuk membuka jalan ya salah satu harus mundur untuk mencari ruang yang lebih terbuka, sehingga pengendara lain bisa lewat.
“Begitu juga dengan di kos. Karena bangunan di sana rapet-rapet, kos nggak punya lahan parkir memadai,” kata Dodo.
Alhasil, jika Dodo pulang agak malam sedikit, dia tidak akan kebagian lahan parkir. Kalau sudah begitu, mau tidak mau dia harus memarkir di luar area kos.
Hal itu tentu saja membuatnya agak waswas. Sebab, pengetahuan pertamanya soal Surabaya kala pertama kali ke sana adalah bahwa kota ini jadi rawan curanmor.
Pelaku curanmor pun lihai-lihai. Dalam celah tersempit pun, sekalipun motor dikunci ganda atau digembok, mereka masih bisa menggondolnya.
Untungnya, hingga sekarang motornya masih aman. Barangkali maling tidak meliriknya karena terlalu butut.
Baca halaman selanjutnya…
Makan dengan bau busuk comberan hingga mandi air kuning












