Saat di posko, Riksa dan teman-teman KKN-nya hanya bisa geleng-geleng kepala sambil tertawa getir. Tak habis pikir dengan keputusan mereka. Pasalnya, mahasiswa KKN itu mulanya benci sekali dengan sound horeg, tapi akhirnya malah ikut memeriahkan pawai bahkan ada yang bersedia joget pargoy.
“Di sini karnaval sound horeg memang jadi hiburan, Mbak. Lihat saja kalau latihan, pasti banyak yang nonton. Apalagi pas karnaval. Tua, muda, semua berbaur menikmati,” begitu kata salah seorang anggota Karang Taruna setempat pada Riksa.
MUI cuma bisa horam-haram
Suatu hari, Riksa pernah iseng bertanya kepada anggota Karang Taruna soal fatwa haram Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur tentang sound horeg. Namun, warga hanya tertawa sinis. Katanya, MUI itu tahu apa? Tahunya cuma horam-haram, horam-haram.
“Ya kalau begitu haramkan sekalian konser-konser musik, atau salawat bersama. Kan itu sound-nya juga kenceng-kenceng,” kata si anggota Karang Taruna ke Riksa.
Bagi sebagian warga di tempat KKN Riksa, karnaval sound horeg justru jadi sumber kebahagiaan. Bahkan, jadi sumber rezeki untuk pedagang. Maka tidak perlu diharamkan.
Salah satu penjual jasa sound horeg, Muzahidin Brewog mengungkap ia bisa mematok harga minimal Rp30 juta untuk sekali undangan. Sejauh ini, ia merasa belum mendapat komplain atas kerugian warga saat kacanya pecah atau genteng jatuh. Sebab, kata Brewog, sound horeg adalah jenis hiburan.
“Jadi warganya juga oke-oke saja. Karena kan yang mendatangkan mereka juga. Jadi (jalur) yang kami lewatin itu pas melewati (rumah) yang mengundang,” kata Muzahidin, pemilik Brewog Audio dikutip dari Youtube KapanLagiDotCom, Jumat (25/7/2025).
“Waktu kacanya pecah ya mereka malah ketawa, tepuk tangan, karena bangga dengan menghadirkan ‘wuh Brewog bisa mecahin kaca begitu,’” lanjutnya.
Cap jamet langsung melekat
Mendengar berbagai komentar dari penikmat sound horeg secara langsung, Riksa dan mahasiswa KKN lain pun tak berani berpendapat, ketimbang terlibat cekcok.
“Kami sempat juga dicecar, jangan-jangan kami termasuk orang yang setuju soal haram-haram MUI itu. Ya kami bilang, nggak lah. Daripada kami diusir hahaha. Padahal dalam hati ya agak miris juga ya,” kata Riksa.
Namun, saat Riksa mencoba mendalami lebih jauh, sebetulnya masih ada warga yang tidak suka. Tapi tetap saja kalah suara. Mereka tak berani protes karena takut kena masalah. Seperti yang dialami Riksa dan mahasiswa KKN lainnya. Setidaknya, informasi itu membuat batin Riksa lega.
Suatu kali, ia pernah menceritakan masalah ini ke teman-temannya yang juga sedang KKN di desa lain. Riksa pun heran, karena warga di desa lain tidak ada yang suka sound horeg.
“Jelas saja kami jadi olok-olok pas mereka tahu kalau kami bakal ikut karnaval sound horeg. Langsung dilabeli ‘jamet anyaran’ (new member jamet). Geblek tenan.” kata Riksa.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Derita Orang Jawa Timur, Mau Hidup Ayem tapi Kena Cap Jelek karena Ulah Pencak Silat hingga Sound Horeg atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












