Pertama Kali Naik Bus di Terminal Bungurasih Surabaya Langsung Bisa “Menaklukkan” Calo, Menjual Cerita Sedih adalah Kunci

Terminal Bungurasih Surabaya.MOJOK.CO

Ilustrasi Terminal Bungurasih Surabaya (Ega Fansuri/Mojok.co)

Terminal Purabaya, atau lebih dikenal dengan nama Terminal Bungurasih Surabaya, bukanlah tempat yang ramah bagi orang asing. Salah satunya bagi Rian (22), mahasiswa perantau asal Jakarta yang “terpaksa” menginjakkan kaki di sana. 

Tiket kereta murah yang biasa ia beli, sudah dipesan habis. Kondisi dompetnya pun sedang menipis.

Belum lagi, sebuah pesan WhatsApp dari ibunya masuk. Mengabarkan bahwa orang tuanya tengah kesulitan membayar UKT yang bikin kuliahnya semester depan masih tanda tanya. 

Alhasil, dengan pikiran kacau, untuk pertama kalinya ia pulang kampung menggunakan bus dari Surabaya ke Jakarta. Sebenarnya, Rian sendiri sudah diperingatkan oleh teman-temannya bahwa di Terminal Bungurasih banyak calo.

Namun, karena tak punya pilihan lain buat pulang kampung, opsi naik bus tetap ia pilih.

“Ah, paling cuma beda-beda dikit,” pikirnya, kala menceritakan kisahnya tahun lalu itu kepada Mojok, Sabtu (2/8/2025). Ia yakin bahwa pengalamannya ke terminal kali ini tak ada bedanya dengan pengalaman di stasiun yang serba teratur.

“Daripada nggak pulang kampung ‘kan. So, nggak masalah aja pulang pakai bus.”

Merasa bingung karena pertama ke terminal

Sebagaimana kata Rian, ia yang terbiasa dengan stasiun kereta, dibuat bingung oleh sistem di terminal. Misalnya, begitu masuk Terminal Bungurasih, ia kesulitan menjumpai loket resmi buat beli tiket. 

Sistem pembelian tiket via aplikasi pun juga tak tersedia. Beda dengan kereta api yang pemesanan tiketnya bisa dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya via KAI Access.

“Mungkin karena ini pertama juga datang ke terminal gede begini, jadinya rada ngang-ngong ngang-ngong deh,” ungkap mahasiswa Surabaya ini.

Di tengah kebingungannya itu, seorang laki-laki berseragam PO bus ternama menghampirinya. Awalnya, Rian mengira laki-laki tersebut adalah petugas resmi terminal.

“Karena berseragam, ya ngiranya petugas terminal yang menjual tiket,” katanya, dengan polos.

Alhasil, tanpa berpikir panjang, ia pun mengikuti instruksi calo itu untuk membayar tiket ke Jakarta seharga Rp450 ribu. Rian begitu kaget, karena angkanya tak jauh beda dengan harga tiket kereta eksekutif. Padahal ‘kan, motivasinya naik bus biar ngirit.

“Aku bilang ‘nggak ada cash’, tapi ternyata bisa transfer lewat bank,” kata dia. “Aku clueless banget, makanya pas suruh transfer ya aku transfer. Sampai akhirnya memang aku diberi tiket naik bus ke Jakarta,”

Harusnya cuma bayar Rp280 ribu, malah hampir dua kali lipat

Sejenak setelah duduk di dalam bus, Rian merasa bingung. Di satu sisi, ia lega karena mendapatkan tiket buat pulang ke Jakarta. Tapi di sisi lain, kata dia, “ini mah sama aja bohong, niat ngirit malah lebih mahal”.

Sambil menunggu bus yang masih berhenti, Rian pun memberanikan diri buat tanya-tanya ke penumpang lain. Salah satunya ke bapak-bapak yang sedang duduk di sampingnya, soal harga tiket bus ke Jakarta.

“Mas, tiketnya itu kok mahal banget? Biasanya Terminal Bungurasih ke Pulo Gebang cuma 280,” ujar Rian, mengingat keheranan bapak itu.

Rian pun serasa disambar petir. Bagaimana tidak, selisih Rp280 ribu dengan Rp450 ribu itu tak sedikit. Bahkan besar untuk mahasiswa yang lagi kere seperti dirinya.

“170 itu nggak cuma bisa buat jajan. Itu kalau pakai KA Airlangga mah bisa buat PP Surabaya-Jakarta,” ungkapnya. “Jujur aja waktu itu merasa bodoh banget, karena beli tiketnya ternyata di calo.”

Pilihan sulit antara melawan calo Terminal Bungurasih, atau merebut lagi haknya

Setelah mengetahui fakta itu, perasaan Rian makin campur aduk. Ada perasaan takut sekaligus putus asa menggelayuti benaknya. 

Di satu sisi, ia paham kalau melawan calo bukanlah pilihan yang aman. Apalagi, calo Terminal Bungurasih terkenal keras.

Namun, di sisi lain, ia juga sadar kalau uang Rp170 ribu tadi adalah haknya. Apalagi, ia juga sadar diri kalau orang tua sedang mengalami kesulitan ekonomi.

“Yang di bayanganku, ya, aku ini goblok. Ortu lagi susah, anaknya malah ketipu,” ujar Rian.

Akhirnya, ia pun merasa bahwa tak ada pilihan lain selain harus berani. Dengan jantung berdebar kencang, Rian bangkit dari kursinya dan kembali ke pintu bus, mencari sosok calo Terminal Bungurasih yang tadi menipunya.

Calo Terminal Bungurasih luluh dengan cerita sedih

Langkah Rian pun begitu mantap. Ia mengaku berusaha keras menyembunyikan tangannya yang bergetar saat menghampiri sang calo. Ia tak bisa bohong kalau perasaan takutnya seperti sedang menumpuk.

Kendati dalam perasaan yang takut setengah mati, kepalanya masih sedikit jernih. Dirinya sadar bahwa buat menghadapi calo Terminal Bungurasih, tidak bisa menggunakan kemarahan, tapi dengan cara lain.

“Pak, saya mahasiswa rantau. Uang itu buat bayar UKT. Bapak tega nipu saya?” kisah Rian, merekonstruksi caranya menghadapi calo.

Rian juga terus berbicara, menjelaskan kondisinya yang serba sulit. Ketika obrolan mereka makin menyita perhatian orang sekitar, ia bahkan mulai menaikan volume suaranya dan terus memohon.

“Bayangin kalau anak bapak yang ditipu gini. Bapak marah nggak?,” sambungnya.

Calo Terminal Bungurasih yang awalnya sinis, mendadak berubah air mukanya. Rian tak sepenuhnya tahu, apakah karena benar-benar kasihan atau merasa malu karena jadi pusat perhatian. Yang jelas, uangnya kembali meski tidak utuh.

“Gara-gara itu, dibalikin duit yang 150. Yah meskipun nggak full, tapi lumayan lah,” ujarnya.

Saat kembali ke tempat duduknya, Rian mengaku masih gemetaran. Untuk sekadar mengetik kalimat di ponsel saja, rasanya sulit. Namun, ia juga belajar bahwa menghadapi sesuatu tak selalu lewat gontok-gontokan.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Bukan Calo, Tukang Gendam Adalah Ancaman Paling Mengerikan di Terminal Bungurasih Surabaya atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version