Standard upah minimum Jakarta sangat tinggi, sementara Jogja adalah kebalikannya. Namun, ada cara “terbaik” untuk mendapatkan UMR Jakarta di Jogja.
***
Jam 10 malam, usai menyelesaikan shift jaga kios di sebuah mal di Jogja, Andi (24) tidak langsung pulang ke kos. Ia memilih melipir ke angkringan, membuka aplikasi ojek online, dan berharap ada pesanan masuk.
“Kalau hanya mengandalkan gaji yang Rp2 juta itu, ya nggak cukup. Jadi harus begini,” katanya, sambil menepuk tas kecil berisi jas hujan dan charger ponsel, saat ditemui Mojok, Kamis (2/10/2025).
Andi bekerja enam hari dalam sepekan. Jam kerjanya tak menentu, menyesuaikan jadwal mal. Kadang shift pagi, kadang sore.
Tapi yang jelas, sehabis “kerja utama”, ia langsung meluncur ke pekerjaan kedua–ngojol. Kalau sedang beruntung, malam itu bisa dapat tambahan Rp80 ribu sampai Rp100 ribu. Kalau sepi, ya, cuma cukup buat menambal bensin dan makan malam.
“Tapi ya namanya ngojol. Sering buntungnya,” ujarnya, tertawa.
Bagi banyak orang luar kota, Jogja masih sering dipromosikan sebagai “kota murah dan nyaman”, cocok buat slow-living. Kira-kira begitu perkiraan orang-orang.
Namun, bagi Andi, murah itu hanya mitos. Hidup sebagai pekerja di Jogja lebih sering terasa seperti latihan bertahan hidup, dengan waktu tidur yang dikorbankan dan tubuh yang dipaksa tahan lelah.
Mengincar UMR Jakarta dari Jogja
Untuk memahami beban itu, mari tengok data. Pada akhir 2024 lalu, Pemda DIY menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 sebesar Rp2.264.080,95.
“Besaran UMP ini naik 6,5 persen dibanding tahun sebelumnya,” kata Sekretaris Daerah DIY, Beny Suharsono, dalam konferensi pers, November 2024 lalu.
Sekilas kenaikan itu terlihat menggembirakan. Namun, jika dibandingkan dengan UMP DKI Jakarta tahun yang sama, misalnya, selisihnya lebih dari Rp3 juta. Artinya, seorang pekerja Jogja harus bekerja dua hingga tiga kali lipat lebih keras hanya untuk menyamai standard upah minimum ibu kota.
Sementara itu, biaya hidup di Jogja sendiri tidak serendah stereotipe yang beredar. Sewa kos dalam kota berkisar Rp600 ribu hingga Rp1,2 juta per bulan. Sekali makan sederhana di warteg atau angkringan bisa Rp15–25 ribu.
Data BPS DIY 2023 menunjukkan, rata-rata pengeluaran rumah tangga perkotaan mencapai lebih dari Rp2,5 juta per bulan. Dewan Pengupahan DIY bahkan memperkirakan, Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sudah tembus Rp3 juta.
Dengan gaji UMR Rp2,26 juta, artinya, banyak pekerja Jogja hidup di bawah standard layak. Maka muncul berbagai siasat bertahan: bekerja double, freelance, hingga tak sedikit yang bergantung pada bantuan keluarga.
Fresh graduate dengan tiga pekerjaan
Kondisi itu dirasakan juga oleh Dwi (23), perantau asal Jawa Tengah yang baru lulus kuliah alias fresh graduate. Ia mendapat pekerjaan tetap di sebuah perusahaan rintisan dengan gaji Rp2,5 juta. Namun, pekerjaan itu saja tidak cukup.
“Siang ngantor, malamnya cus ke cafe buat ngerjain proyek-proyek lain. Kalau nggak begitu, mana cukup,” ujar Dwi, Senin (30/9/2025).
Sejak lulus, ia bercita-cita hidup mandiri di Jogja. Tapi kenyataannya, satu pekerjaan hanya cukup untuk biaya kos dan makan. Untuk kebutuhan lain, seperti kirim uang ke orang tua, bayar cicilan hingga menabung, Dwi harus menambah dua pekerjaan sambilan.
“Kalau ambil proyekan, kadang di dua atau tiga tempat sekaligus. Jadi, ya, aku kayak kerja di tiga pekerjaan.”
Fenomena multi-job seperti Dwi bukan hal aneh–meski tetap memprihatinkan. Laporan ILO 2022 menyebut, lebih dari 40 persen pekerja muda Indonesia masuk kategori working poor: bekerja penuh waktu, tapi tetap miskin.
Jogja makin rentan dengan kondisi ini karena, menurut data PDDikti 2024, ada lebih dari 300 ribu mahasiswa aktif. Pasokan tenaga kerja selalu melimpah, sehingga daya tawar pekerja muda semakin rendah.
Guru honorer dan les privat
Siasat lain ditempuh Lestari (27), guru honorer di sebuah SD negeri di Sleman. Gajinya, seperti teman seprofesinya lain, hanya Rp350 ribu sebulan. Uang itu bahkan tidak cukup untuk biaya bensin harian.
Untuk menutupi kebutuhan, Lestari mengajar les privat di rumah-rumah siswa SD dan SMP. Hampir setiap sore hingga malam, ia berpindah-pindah dari satu kompleks perumahan ke kompleks lain; dari desa ke desa lain.
Menurut Lestari, pendapatan dari les privat malah lebih besar. Bisa menambah Rp1 hingga 1,5 juta per bulan, meski waktu dan tenaganya akan terkuras habis.
“Kalau nggak ngajar les, mungkin saya harus utang tiap bulan,” katanya singkat.
Cerita Lestari adalah potret banyak guru honorer di DIY. Data Kemendikbud 2024 menyebut masih ada ribuan guru honorer di provinsi ini yang menerima gaji jauh di bawah UMR.
Bagi Lestari, profesi guru yang disebut “pahlawan tanpa tanda jasa” kerap menjadi normalisasi gaji yang bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Bertahan hidup dengan slow living di Jogja
Pemerintah daerah punya alasan tersendiri. Menurut Sekda DIY Beny Suharsono, penetapan UMP sudah mengikuti formula nasional: mempertimbangkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan produktivitas.
Namun, bagi buruh, angka itu tetap jauh dari kenyataan di lapangan. Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY dengan tegas menolak besaran UMP tersebut.
“Masih jauh dari kebutuhan hidup layak. Kami menuntut kenaikan minimal 20 persen,” kata Irsyad Ade Irawan, perwakilan MPBI DIY, November 2024 lalu.
Kontras ini menunjukkan jurang persepsi: pemerintah merasa sudah memberi “kenaikan signifikan,” sementara buruh melihatnya tetap sebagai upah murah.
Andi, Dwi, dan Lestari hanyalah tiga dari ribuan pekerja perantau di Jogja yang harus menyiasati hidup dengan dua hingga tiga pekerjaan sekaligus. Ironisnya, mereka tinggal di kota yang dipasarkan dengan jargon “slow living”. Sebuah gaya hidup santai yang kerap diromantisisasi para wisatawan.
Bagi pekerja lokal, seperti Andi, Dwi, dan Lestari, slow living justru berarti melambatkan kebutuhan pribadi: menunda beli barang, mengurangi makan bergizi, bahkan mengorbankan waktu istirahat.
“Jadi ya kalau aku ditanya, bagaimana cara mendapatkan UMR Jakarta di Jogja, jawabannya sederhana: kerjakan dua sampai tiga pekerjaan sekaligus, kurangi jam tidur, dan latih tubuh agar terbiasa dengan nasi kucing,” pungkas Andi, diikuti tawa.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Drama Merantau di Jogja: Dulu Enggan Cabut, Seiring Waktu Malah Tak Betah karena Realita atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
