Menjadi buruh di Jogja dengan UMR yang sangat kecil memang tak pernah mudah, apalagi kalau gajinya jauh di bawah upah minimum tersebut. Jangankan mau foya-foya, buat mendapatkan kebagaian kecil saja harus mengkis-mengkis dulu.
Per 2024, UMR Jogja berada di angka Rp2,4 juta. Jika dikomparasikan dengan wilayah lain, terutama Jakarta, angka ini memang tak seberapa.
Ironisnya, masih ada sebagian buruh Jogja yang menerima upah di bawah UMR seuprit tersebut. Salah satunya adalah Amin (21).
Lelaki yang menolak disebutkan tempat kerjanya ini, hanya diupah Rp800 ribu sebulan. Jika UMR Kota Gudeg saja dikategorikan kecil, bagaimana dengan upah Amin yang hanya seperempatnya? Kira-kira begitu keluh-kesah lelaki asal Umbulharjo ini saat Mojok temui di sela-sela aksi Peringatan Hari Buruh Internasional atau Mayday pada Rabu (1/5/2024) lalu.
Amin sendiri bekerja di sebuah rumah sakit yang berada di DIY. Sudah lebih dari empat bulan ia bekerja sebagai office boy (OB) di rumah sakit tersebut.
“Kalau mau tega-tegaan, nggak ingat ibuku yang lagi sakit, mungkin aku sudah pergi dari kota yang nggak bisa ngasih aku upah layak ini,” geramnya.
Terpaksa cari kerja di Jogja demi merawat ibu yang sakit
Merantau sebenarnya menjadi cita-cita Amin. Setidaknya, kalau tidak bisa ke Jakarta, dapat pekerjaan di kota yang UMR-nya lebih manusiawi ketimbang Jogja adalah tujuannya.
Sayangnya, harapan itu tinggal harapan. Sejak lulus SMA dua tahun lalu, ia harus rela terjebak di “tempurung” bernama Jogja dan tak bisa kemana-mana lagi.
“Keluargaku penyintas Covid. Bapak meninggal waktu pandemi, sementara kondisi ibu tak membaik sejak kena Covid dulu. Sakitnya kambuhan nggak sembuh-sembuh,” jelasnya.
“Rumah akhirnya nggak bisa ditinggal. Makanya aku sebagai bungsu punya kewajiban merawat ibu,” lanjut Amin, menjelaskan alasannya tak bisa meninggalkan Jogja.
Ia merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara. Kakak pertamanya, seorang perempuan, sudah hidup berumah tangga dan tinggal di Semarang. Sementara kakak keduanya, laki-laki, kini bekerja di Salatiga.
Sebenarnya, kedua kakaknya menawari Amin buat kuliah. Katanya, biaya akan mereka tanggung asalkan adiknya itu tetap berada di rumah merawat sang ibu.
Namun, Amin menolaknya. Ia sudah mempertimbangkan masak-masak soal biaya kuliah yang tak murah.
“Aku tahu betul kuliah tidak murah. Aku juga tak mau membebani mereka [kakak] yang sudah punya urusan masing-masing. Jadi aku putusin buat kerja saja.”
Tiga kali pindah kerja, tak pernah merasakan gaji layak
Sejak 2022 lalu, Amin sudah tiga kali pindah tempat kerja. Pertama, ia pernah bekerja sebagai penjaga rental PS dekat rumahnya.
Di tempat kerja ini, Amin sering mengalami overwork. Bagaimana tidak, rental PS tersebut masih satu kepemilikan dengan sebuah kedai jus buah. Jadi, selain menjaga dan memantau para pelanggan main PS, Amin juga kudu melayani para pembeli jus.
“Sehari satu shift paling nggak 12 jam, berangkat pagi pulang maghrib atau sebaliknya. Cuma dibayar 40 ribu sehari,” kata Amin.
Setelah tujuh bulan merasa jerih payahnya tanpa hasil, Amin pindah ke sebuah kedai makan di mal Kota Jogja. Meski statusnya part time, penghasilannya lebih mendingan jika dibanding tempat kerja sebelumnya.
Di kedai makan ini, Amin mendapat upah bersih Rp1,8 juta sebulan. Ada kalanya jika salesnya melampau target, ada bonus harian yang ia dapat. Cukup lama Amin bekerja di sini, kurang lebih setahun. Sebelum akhirnya salah satu kawannya yang bekerja di rumah sakit menawarinya bekerja sebagai OB.
“Temanku nawarin, katanya di RS ada lowongan kerja. Dia nggak tahu berapa gajinya, cuman bilang kalau kerjanya cukup enak, jam kerja pun juga sesuai,” ujarnya. Alhasil, sejak awal 2024, dengan cukup mudah, Amin resmi bekerja di rumah sakit tersebut.
Jadi OB rumah sakit gaji 800 ribu, mau ngopi saja mikir-mikir
Sejak awal, Amin tak memahami soal status tenaga kerjanya di RS tersebut. Ia tak pernah melewati proses rekrutmen yang panjang, tak pernah ada interview, apalagi tanda tangan kontrak.
Orang yang membawanya masuk hanya bilang, pegawai yang lama keluar. Jadi, ia diminta menjadi pengganti pegawai tersebut sebagai OB.
Buruh Jogja ini pun awalnya tak pernah menanyakan soal gaji. Saat masuk, ia optimis bakal digaji layak; paling tidak di atas Rp2 jutaan, pikirnya. Soal beban kerja, masih bisa ditolerir: kerja 8 jam sehari, dengan beban yang proporsional.
Saat gajian pertama, ia kaget bukan main. Pasalnya, hanya ada Rp800 ribu yang masuk ke rekeningnya.
“Karena kaget, saya tanya dong, siapa tahu salah transfer. Ternyata memang segitu, malah ditanya balik, ‘memangnya pas interview nggak dikasih tahu gajinya segitu?’, lah kan interview saja nggak ada,” geram buruh Jogja ini.
Tiap bulan, Amin memang mengalami kenaikan upah. Kini, setelah nyaris lima bulan bekerja, gajinya berkisar Rp1,2 juta.
“Aku nggak pernah hedon kayak teman yang lain. Uangku habis buat kebutuhan harian. Jangankan mau foya-foya, diajak nongkrong, ngopi aja, kudu mikir-mikir sisa uang masih berapa. Apalagi nikah dan punya rumah sendiri, kejauhan itu mah,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News