Mendaki gunung semakin menjadi tren di Indonesia. Menjelang malam pergantian tahun, jumlah pendaki terus alami peningkatan. Konon, kebanyakan dari mereka adalah “pendaki baru” yang sedang FOMO. Bisnis sewa teman pendakian pun bisa menjadi pilihan mengingat penghasilannya yang tidak sepele.
***
Fathur (23), salah satu mahasiswa pecinta alam di salah satu PTN Jogja, mengaku mendaki gunung jelang malam tahun baru memang telah menjadi “tradisi”. Bagi dia, yang sudah sejak SMA gemar mendaki, “berada di puncak adalah cara terbaik untuk menutup sekaligus mengawali tahun.”
“Semacam ada kepercayaan aja. Ya tiap orang beda-beda, ya. Tapi aku percaya kalau ada make a wish di tempat tinggi, doa gampang terkabul. Semoga aja, sih,” ungkapnya kepada Mojok, Rabu (11/12/2024).
Dia tidak sendiri. Nyatanya, tiap menjelang malam pergantian tahun, jumlah pendaki yang dijumpai juga lebih banyak. Menurut penaksirannya, mungkin bisa 5 kali lipat dari hari-hari biasa.
Ketua Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia (APGI) Jateng, Dasirun, mengatakan pada malam tahun baru 2024 lalu, ada 20 ribu orang yang mendaki 10 gunung di Jateng. Artinya, rata-rata ada 2 ribu pendaki per gunung.
Jumlah ini meningkat nyaris empat kali lipat dari hari biasa. Berdasarkan data pemesanan online, pada hari-hari biasa rata-rata hanya ada 160-500an pendaki per gunung.
FOMO mendaki saat tahun baru
Sebagai “pendaki lawas”, Fathur mengakui fenomena FOMO mendaki gunung jelang tahun baru. Setidaknya dari pengalaman pribadinya, dia sering menjadi “pemandu” teman-temannya yang baru pertama mendaki gunung.
“Biasanya itu teman-teman mahasiswa yang baru gabung UKM Pecinta Alam, tapi belum pernah mendaki. Atau, ya, teman-teman yang tiba-tiba minta ajak mendaki pas tahun baru. Katanya buat kenang-kenangan gitu foto di atas,” jelasnya.
View this post on Instagram
Dia juga tak mempermasalahkan fenomena pendaki FOMO ini. Malahan, Fathur senang karena semakin tinggi animo mendaki, banyak pihak bakal diuntungkan. Misalnya, persewaan alat hiking, sampai UMKM-UMKM di sekitar lereng pendakian.
Memang, selama ini yang jadi persoalan masih ada gap antara “pendaki lawas” dengan “pendaki anyar” soal hal-hal prinsipil. Misalnya, soal kesadaran buang sampah, manajemen waktu, sampai penanganan jika terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
“Makanya, penting buat ajak teman saat mendaki, apalagi yang udah pengalaman. Minimal kalau terjadi hal-hal yang amit-amit nggak diinginkan, mereka punya pengalaman buat menanganinya.”
Bisnis sewa teman pendaki gunung
Boleh dibilang, Fathur telah berperan sebagai teman pendakian. Meski, tindakan ini dia lakukan secara cuma-cuma atas dasar pertemanan. Padahal, di Cina, peran sebagai teman pendakian adalah bisnis menggiurkan.
Melansir CNN, teman pendaki alias climbing buddy disebut sebagai pei pa. Dalam bahasa Cina, pei pa berarti “menemani pendakian”. Bisnis ini sudah lama dijalankan oleh pemuda-pemuda setempat, khususnya untuk menemani orang-orang yang mendaki sendirian.
Biasanya, pei pa ini adalah para laki-laki bertubuh atletis yang terbiasa mendaki. Mereka adalah pemuda setempat, mahasiswa, atau bahkan veteran militer.
Selaiknya sebuah bisnis, mereka juga mengiklankan diri di media sosial. Misalnya, di Xiaohongshu dan Douyin. Pada tawarannya, mereka menampilkan profil berupa tinggi badan, tingkat kebugaran, dan pengalaman mendaki.
Mereka biasanya menawarkan diri sebagai teman pendaki untuk gunung-gunung kondang di Cina. Seperti Gunung Tai di Shandong dan Gunung Emei di Sichuan.
Untuk jobdesk, para pei pa ini biasanya melakukan semua hal yang diminta klien. Umumnya, mereka diminta untuk memandu pendaki, membawakan barang, hingga hal-hal absurd seperti bernyanyi dan memainkan musik.
Bisnis menggiurkan, 2 kali lipat UMR Cina
Meski belum dilirik dalam konteks pendaki di Indonesia, ternyata bisnis ini amat menggiurkan. Di Cina, seorang pei pa rata-rata dibayar 200 hingga 600 yuan, tergantung jobdesk yang mereka kerjakan. Biaya tersebut setara Rp400 ribu hingga Rp1,5 juta.
Pei pa bernama Chris Zhang (20), misalnya, berhasil mendapatkan cuan 20 ribu yuan hanya dengan tiga bulan bekerja sebagai teman pendaki. Kalau dirupiahkan, uang ini setara Rp45 juta.
Penghasilan mereka bahkan setara dengan rata-rata gaji bulanan warga Cina sebagai pegawai. Namun, penghasilan yang besar setara dengan risikonya. Para pei pa mengakui bahwa pekerjaan ini melelahkan secara fisik. Sehingga, mereka hanya mampu bekerja di bulan-bulan tertentu saja.
Ketika saya mengirimkan fakta terkait pei pa ke Fathur, dia pun kaget. Ternyata, menemani orang mendaki bisa diuangkan. Meski menggiurkan, dia mengaku kalau bisnis ini sulit diterapkan, mengingat “orang di sini baik-baik” yang dengan sukarela memandu para pendaki baru tanpa imbalan.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA 9 Jam “Menghilang” di Gunung Lawu Magetan hingga Bisa Kembali berkat Kiriman al-Fatihah
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google