Sate Ratu jadi salah satu ikon kuliner di Jogja yang paling disarankan jika ingin mencicip sate ayem dengan cita rasa unik. Penyukanya bukan hanya orang-orang lokal, tapi turis mancanegara.
***
Dentuman musik genre soulful house atau deep house langsung terdengar begitu memasuki halaman parkir Sate Ratu, Jalan Sidomuktri, Condongcatur. Musik dengan beat cepat ini mengingatkan saya saat masuk ke tempat hiburan malam. Pemiliknya, Fabian Budi Seputro, dulunya adalah bos hiburan dunia malam yang putar arah jadi penjual sate ayam.
Sosoknya yang tinggi besar mudah dikenali. Ia meminta saya menunggu sebentar karena tamu sedang ramai sore itu. Saya lihat banyak juga yang berdiri menunggu giliran untuk masuk ke resto yang memiliki 168 kursi.
Saya sempat protes kenapa hari Minggu kemarin, saat saya datang, Sate Ratu tutup. “Lho Mas Agung lupa tiap hari Minggu kan tutup,” katanya.
Saya tertawa, dasar pelupa. Saya ingat, libur di hari Minggu adalah salah satu prinsip laki-laki kelahiran, Surabaya 12 April 1972 ini. Baginya, hari Minggu adalah hari keluarga. Hari ibadah. Itu adalah saat menghabiskan waktu bersama anak dan istrinya. Begitu juga harapannya pada semua karyawannya yang kini mencapai 42 orang.
Mengenal dunia hiburan malam sejak remaja
Kalau kalian pernah mendengar tempat hiburan malam di Yogya yang punya tagline “Tempat party se-party-party-nya” orang inilah yang membesarkannya. Tahun 2003, dari Malang Pak Budi sebenarnya hanya mau mampir di Yogya, menginap barang satu malam, sebelum melanjutkan perjalanan ke Semarang.
Rencananya ia akan ke Kota Lumpia untuk menjajaki dibukanya cabang Hugo’s di kota tersebut. Namun, ia justru melihat potensi besar di Kota Gudeg. Sejak tahun itulah ia justru fokus di Yogya daripada Hugo’s Malang atau membuka tempat party di Semarang.
Di masa remajanya, Pak Budi tergila-gila dengan profesi disk jockey (DJ). Sesaat setelah lulus SMA ia mengajukan diri ke orang tuanya untuk sekolah DJ di Jakarta, Academy of Disc Jockey. Itu adalah keinginan yang sejak lama ia rencanakan. Begitu restu dan uang dari orang tua ia pegang, berangkatlah Budi muda ke Jakarta untuk sekolah DJ selama sebulan.
Begitu lulus dan balik ke Surabaya, kepada orang tuanya ia meminta lagi uang untuk membeli 2 buah turntable dan 1 buah mixer. “Saat itu, saya berjanji bahwa itu adalah uang terakhir yang saya minta dari orang tua saya.”
Dari bangkrut dipercaya bangun brand tempat dugem
Di sela-sela kuliahnya di Universitas Surabaya, Pak Budi membuka jasa kursus DJ sekaligus membuat event organizer (EO). Secara brand, EO Pak Budi dikenal. Namun, secara keuangan morat-marit. Ia bahkan sampai rugi, dan berutang di sana-sini. Penagih utang mulai mengejarnya, bahkan ada yang sampai menodongkan pistol. Alat-alat DJ-nya yang ia beli disita untuk membayar hutangnya.
Ia kemudian bekerja di tempat hiburan bernama Bongo’s, sebuah kafe yang berada di hotal bintang 5 di Surabaya. Meski predikatnya adalah seorang DJ, tapi pekerjaannya termasuk bertanggungjawab atas sound dan lighting system. Saat itu ia bekerja dengan orang-orang mancanegara yang kemudian membangun profesionalismenya.
Oleh seorang investor, Pak Budi kemudian diminta untuk membesarkan brand Hugo’s Caffe and Resto Malang. Tangan dinginnya membuat tempat hiburan yang hampir mati tersebut bangkit dan ramai. Setelahnya, ia membidani lahirnya Hugos’s Jogja serta 4 cabang di kota lain.
Undur diri dari dunia malam
Tahun 2009, Pak Budi mulai gelisah, saat itu ia menikah. Di sisi lain, anaknya dari pernikahan sebelumnya beranjak remaja. Ia ingin memberikan kebanggaan untuk anak laki-lakinya. Tapi tidak dari dunia hiburan malam. Setahun kemudian, ia akhirnya mundur dari operasional dunia hiburan malam. Waktu yang lebih banyak untuk keluarga jadi pertimbangannya.
“Saya saat itu berpikir untuk tidak bersentuhan langsung dengan minuman beralkohol atau perempuan. Akhirnya saya mengajak sahabat saya sejak dari Surabaya, Pak Lanang untuk mendirikan perusahaan konsultan tempat hiburan,” kata Budi.
Namun, dalam kenyataannya, Budi Seputro masih harus terlibat secara langsung di operasional. Salah satunya ia tergoda untuk menangani sebuah tempat hiburan malam di Bali yang sangat mewah. Memiliki 7 lantai outlet mulai dari karaoke, beer corner dan spa. Investasi tempat baru itu saat itu mencapai Rp 100 miliar. Tantangan dan tawaran paket yang menggiurkan membuatnya terjun lagi ke tempat hiburan malam.
“Hingga di satu titik saya berpikir, ini kalau diteruskan, saya akan terjun lebih dalam lagi. Saya ingat kehidupan setelah mati, saat itu juga saya ajak Lanang, untuk cabut,” kata Budi yang menuliskan pengalamannya dalam dua buku, Leaving The Comfort Zone, Based On True Story From Budi Seputro, dan Sate Ratu, kok bisa gitu? Rahasia Memiliki Pelanggan dari 85 Negara.Â
Budi masih belum bisa meninggalkan bisnis hiburan, namun ia memilih bekerja di tempat
karaoke keluarga sebagai direktur operasional. “Saya mau karena brand yang mau dibangun adalah karaoke baik, untuk keluarga dan benar-benar aliran putih, tidak menjual alkohol, apalagi perempuan,” katanya.
Hanya dua tahun di tempat karaoke keluarga itu, Pak Budi dan Pak Lanang akhirnya memutuskan untuk benar-benar keluar dari dunia hiburan yang sebenarnya membemberikan materi yang cukup.
Dari angkringan akhirnya jualan sate ayam
Meski menduduki jabatan mentereng, Budi Seputro dan Lanang akhirnya benar-benar meninggalkan dunia hiburan dengan banting setir usaha kuliner. Pilihannya jatuh pada angkringan. Bersama empat orang teman yang pernah bekerja di dunia hiburan malam, mereka mendirikan Angkringan Ratu. Angkringan yang dikonsep menu serta layanan yang bagus. Bahkan punya dapur sendiri dilengkapi dengan mess karyawan untuk menjaga kualitas makanan. Sempat membuka empat cabang, usaha angkringan itu kemudian mandeg.
“Ada hal-hal yang berbeda ketika menangani tempat hiburan yang besar. Dari sisi SDM dan karakteristik angkringan, misalnya konsumen tidak akan mengambil makanan kalau di tempat display sudah sedikit. Kalau kita sediakan banyak, yang sisa banyak,” kata Pak Budi.
Pak Budi akhirnya menutup semua cabang dan hanya fokus di satu tempat yang saat itu ada Jogja Paradise Foodcourt. Ia kemudian menyederhanakan jumlah menu hanya sate merah, sate lilit, ceker tugel, nasi putih dan nasi gendeng. Dua partnernya mundur, sehingga tersisa Pak Lanang. Namun, sahabatnya juga memutuskan pulang kampung karena keluarganya saa itu berada di Lombok.
Lahirnya Sate Ratu
Jadilah, Pak Budi sendirian. Di tahun 2016 itu, ia kemudian mengubah konsep dari angkringan menjadi jualan sate. Usaha itu ia namakan Sate Ratu. Ia memulainya dari nol lagi. Dibantu istrinya, Maria Wantampone ia terjun langsung untuk mengetahui semua proses kerja di warung sate. Mulai dari belanja, mempersiapkan produk, membakar sate, melayani pelanggan ia kerjakan dan dalami.
Tidak ada lagi rambut klimis, bau parfum atau sepatu mengkilat seperti pakemnya saat menjadi bos dunia hiburan, yang ada bau asap bakaran. Ia mengalamai sendiri bagaimana sate hasil bakarannya ternyata masih mentah, lain kali justru gosong. Sebagian teman di dunia hiburan maupun orang-orang yang dia bantu dulu seperti gengsi untuk mengenalnya. Kepada istrinya ia bilang, untuk siap-siap soro. Dalam rencananya, Sate Ratu baru akan untung di tahun ke-3 atau ke-4.
“Sejak awal, bahkan sejak angkringan, target pasar saya adalah turis-turis mancanegara. Saya berpikir, kalau bisa menggaet turis, maka tak akan sulit mendapatkan pelanggan wisatawan domestik atau orang-orang lokal,” katanya.
Pak Budi kemudian melakukan coba-coba untuk menciptakan bumbu sate yang sekiranya orang asing menyukainya. Awal-awal buka, sudah biasa sehari ia hanya menjual hanya satu porsi yang berisi 6 tusuk sate. Kondisi tersebut berlangsung berbulan-bulan.
Sate yang belum terjual hari itu ia bekukan. Esoknya kembali ia jual lagi. Pak Budi jadi tahu, sampai tiga hari, sate dibekukan masih bagus. Namun, ia membuat standar, maksimal hanya dua hari saja daging berada di ruang beku.
“Setelah dua hari, kami bagi untuk tester, tapi seringnya kami makan sendiri sebagai lauk makan sehari-hari. Bayangkan saja, bosennya gimana,” kata Pak Budi tertawa.
Di saat berjuang membesarkan Sate Ratu, godaan untuk terjun di dunia hiburan malam menggoda. Setidaknya ada tiga perusahaan besar, dua di antaranya perusahaan nasional yang memintanya bergabung dengan iming-iming menggiurkan. “Semuanya saya tolak tanpa bertanya lebih lanjut,” kata Budi.
Sate Ratu yang disukai turis dari 85 negara
Setahun berjalan, grafik pengunjung Sate Ratu terus meningkat. Karena fokus ke turis-turis asing, maka Pak Budi menyadari, cara efektif promosinya adalah cerita dari mulut ke mulut. Setiap ada tamu yang datang, ia ajak ngobrol. Efeknya turis-turis tersebut kemudian membuat review di Trip Advisor atau merekomendasikan ke temannya yang datang ke Yogyakarta.
Banyaknya turis mancanegara yang melakukan review, membuat Sate Ratu mendapatkan Certificate of Excellent dari Trip Advisor 2017. Penghargaan yang sama ia dapatkan lagi tahun 2018. Di tahun itu juga, Sate Ratu masuk sebagai satu dari 22 finalis Kompetisi Penerus Warisan Kuliner yang diselenggarakan Kecap Bango.
Masih di tahun 2018 Sate Ratu mendapatkan Indonesia Award for Excellence in Restaurant 2018 dari Yayasan Penghargaan Indonesia. Di tahun yang sama, Sate Ratu menjadi satu dari95 food startup Indonesia terkurasi. Award terakhir yang Sate Ratu dapatkan adalah menjadi Juara Nasional Kategori Sate dalam kompetisi ‘Ngulik Rasa 2019’ dengan penyelenggara Unilever Food Solutions (UFS) besutan PT Univeler Indonesia.
Yang membahagiakan bagi Pak Budi dan Pak Lanang, hingga tahun 2021 ini sudah ada turis dari 85 negara yang datang ke Sate Ratu. Mereka banyak menuliskan atau mengungkapkan kesan-kesannya makan di tempat makan ini. “Sayangnya pandemi ini belum ada yang datang lagi, hanya tambah 1 negara dari Nepal,” kata Pak Budi yang kangen ngobrol dengan turis-turis yang makan ke tempatnya.
Alasan Sate Ratu yang tidak mau buka cabang
Pak Budi mengingatkan bagi siapapun yang ingin keluar kerja dan memutuskan untuk membuka sendiri, maka hal terpenting yang harus mereka siapkan adalah mental dan keinginan yang kuat. Sejak awal ketika keluar dari dunia hiburan malam, dalam pikirannya hanya ingin hidup nyaman dan memberikan waktunya untuk keluarga.
Melihat Sate Ratu yang memiliki banyak pelanggan, Pak Budi dan Pak Lanang berkomitmen tidak akan buka cabang. Saat ini saja, dengan semakin besar pelanggan, semakin besar problem yang ada. Misalnya, tentang komplainnya yang aneh-aneh. Setiap mendung, Sate Ratu akan menutup area outdoor, hal ini menimbulkan protes, padahal itu dengan pertimbangan ketika hujan, tidak ada tempat lagi bagi tamu yang terlanjur duduk di tempat outdoor.
Ada juga yang komplain karena minumannya hanya ada botolan dan harus ambil di depan. “Macem-macem, jadi kalau buka cabang, opo ora tambah stres..,” kata Pak Budi.
Ia justru menjual bumbu satenya untuk umum. Tentu dengan berbagai pertimbangan, salah satunya banyak pelanggan dari luar kota yang ingin membawa satenya pulang. Cita rasa sate jika sudah dingin tidak akan senikmat kalau menikmati usai dimasak. Maka menjual bumbu adalah pilihan. “Saya nggak takut kalau ada yang meniru, nggak beli bumbu saja kalau orang mau bisa tahu kok bumbu-bumbunya, tapi saya percaya rezeki orang itu sudah ada yang menentukan,” kata Pak Budi.
Ingat tujuan awal jadi pengusaha, menikmati hidup
Apa yang ia dapat saat ini, menurutnya sudah cukup. “Kalau dipikir-pikir, wis cukup. Opo sik mbok cari. Sik teko wis buanteer, wis gueeede. Kalau buka cabang opo ora wektune entek? Opo ora tambah stres,” kata Budi yang dibalas anggukan oleh Pak Lanang yang ada di sampingnya.
Ia mengingat kembali tujuan ia mendirikan Sate Ratu adalah agar bisa menikmati hidup. Bisa santai-santai, memiliki banyak waktu untuk keluarga. Kalau soal rezeki, sudah ada yang memberi. Baginya, asal bisa menyekolahkan anak dan hidup yang layak, itu sudah cukup.
BACA JUGA Mahasiswa Malas, Joki Skripsi Kipas-kipas dan liputan menarik lainnya di rubrik LIPUTAN.