Di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah ada sebuah pohon durian raksasa yang dipertahankan oleh seorang nenek berusia 85 tahun. Sudah banyak orang yang menawar pohon yang usianya ratusan tahun itu.
****
“Oleh motret Pak, tapi ora oleh dituku, ora arep tak dol” (‘Boleh memotret Pak, tapi tidak boleh dibeli, pohonnya tidak akan saya jual’), tegas Mbah Parini (85) sambil berlalu dari hadapan saya. Ponsel android yang sudah sedari tadi stabil saya pegang, bergetar juga. Saya geregetan mendengar jawaban itu.
Pak Suroto, Kepala Desa Kaligono, Kecamatan Kaligesing, yang sejak tadi mendampingi saya, segera memberi penjelasan. “Ora mbah, sopo sing meh nuku wit kui. Iki mase mung arep motret lan midio” (‘Tidak Nek, siapa yang mau beli pohon itu. Ini Masnya Cuma mau memotret dan ambil video’), ucapnya.
“Ben wite nggon njenengan soyo terkenal, deso yo bakal luwih terkenal maneh” (Biar pohon punya nenek semakin terkenal, desa juga nanti tambah terkenal lagi), kata Suroto meyakinkan. Mbah Parini tetap meneruskan langkahnya.
“Waduh piye iki, kayaknya Simbah marah” (‘Waduh bagaimana ini, sepertinya nenek marah’), batin saya.
“Mekaten Mbah Parini, sekedap Mbah” (Begini Nek Parini, sebentar Nek’), saya menyambung.
Tapi Mbah Parini tak menghiraukan…Duh.
Pohon durian sebagai warisan turun temurun
Kuat dengan pendiriannya! Itulah anggapan Saya menilai Mbah Parini. Nenek 85 tahun warga RT 01 RW 06 Dusun Sawahan itu memegang teguh amanat leluhurnya, untuk menjaga satu-satunya pohon durian lokal, berukuran super besar, di hutan Desa Kaligono. Pohon yang dikenal sebagai Durian Hijau, sesuai dengan profil buahnya yang kulitnya berwarna hijau. Pada awalnya,saya kurang tertarik menggali lebih mendalam soal durian, karena memang belum musimnya.
Niatan ke Kaligono adalah untuk meliput kambing Peranakan Ettawa (PE) Kaligesing unik milik Pak Kades Suroto. Kambing berkaki tiga yang waras slamet tumbuh hingga dewasa. Tapi mendengar penjelasan singkat Pak Kades tentang pohon durian raksasa yang terjaga kelestariannya, arah kaki saya pun berubah.
Selain dikenal sebagai tempat lahir WR Supratman, Jendral Ahmad Yani hingga Kambing PE Kaligesing, Purworejo dikenal karena duriannya. Dari 16 Kecamatan di Purworejo, ada 8 kecamatan yang merupakan penghasil durian.
Langkah Mbah Parini berhenti di rumah Lilik Rahayu (55) tetangganya. “Yu, Yu, tulung iki pak lurah karo mase dijujugno ning Wono Sipenthung kono, nggon wit duren sing gedhi kae” (Yu, Yu, tolong Pak Lurah dan masnya diantar ke Hutan Sipenthung, tempatnya pohon durian besar), katanya.
Mbah Parini mempersilakan saya didampingi Kades Suroto, mengunjungi kebunnya. Memang sudah seharusnya dibolehkan mengambil gambar pohon durian raksasa. Hla wong tampang blandong juga ndak ada je.
“Nggeh kulo pun paham, monggo dikancani Rahayu mawon. Kulo sakjane ngge biasa teng alas mriko, tapi sakniki mpun mboten saget” (‘Saya paham, silakan ditemani Rahayu saja. Saya sebenarnya biasa ke hutan sana, tapi sekarang sudah tidak bisa’), ucap Mbah Parini.
Sipenthung bukanlah blok hutan rakyat yang asing bagi Parini. Sejak kecil ia terbiasa dengan suasana kebunnya yang rapat dengan aneka pepohonan buah dan kayu. Terutama saat musim durian. Hampir tiap pagi, asal badannya sehat, ia berangkat ke hutan untuk memungut buah durian yang jatuh. Durian yang jatuh dari pohon raksasa di kebunnya.
Tapi kali ini, Parini tidak ikut dalam rombongan kami. Sudah setahun terakhir Parini tidak ke hutan karena penglihatannya kabur tidak begitu jelas.
Sepeda motor melaju menapaki jalanan sempit di lereng Menoreh. Saya motoran sendiri dan pak kades memboncengkan Bu Lilik. Untung saja bukan musim hujan karena jalan kelokan dan tanjakan yang kami lalui itu pasti licin bukan main karena penuh ditumbuhi lumut.
“Di sini Pak,” kata Lilik setengah berteriak. Lilik mengingatkan kalau perjalanan kami sudah sampai lokasi yang dituju.
Tapi kami harus jalan mendaki seratusan meter. Ya sudahlah, itung-itung olahraga mengurangi lingkar perut saya. Nah, begitu sampai, yang ada hanya takjub ketika melihat pohon durian raksasa menjulang hingga setinggi tiga puluhan meter.
Ukuran batang bagian bawah pun luar biasa. Diameternya sekitar dua meter. Kayaknya butuh empat orang untuk merengkuhnya dengan bergandengan tangan.
Pak kades maupun Bu Rahayu tidak mengetahui umur pasti pohon tersebut. “Sudah ratusan tahun kalau ini,” ungkap Suroto.
Entah berapa usianya. Tapi yang jelas, pohon sebesar itu tidak mungkin tumbuh dalam belasan atau bahkan puluhan tahun, pasti butuh sampai ratusan tahun. Menurut Suroto, pohon berumur puluhan tahun paling baru memiliki batang berdiameter 30 – 40 sentimeter.
Yang paling menarik dari fakta pohon Durian Hijau di Hutan Sipenthung itu dalam kondisi sangat terjaga. Ini berarti pemiliknya merawat pohon itu dengan baik. Tidak hanya Parini saja, tapi beberapa generasi sebelumnya.
Segudang tanya muncul di kepala setelah melihat pohon raksasa tersebut. Tanya yang harus dijawab Parini, satu-satunya saksi hidup Durian Hijau.
“Pripun Pak, sampun teng wono?” (‘Bagaimana Pak, sudah ke hutan?’) kata Parini menyambut kedatangan kami.
Dia seolah tahu bahwa saya memendam rasa penasaran yang sangat setelah menyaksikan apa yang sudah bertahun-tahun diwariskan dan kini ia jaga.
Tapi, Parini pun tidak bisa menjelaskan secara pasti usia pohon tersebut. Sebab pohon itu sudah ada sejak ia kecil. Bahkan kala itu, pohon sudah menghasilkan buah.
Parini hanya ingat, ayahnya pernah menceritakan bahwa berdasarkan penuturan sang kakek, pohon itu sudah besar ketika kakek dan nenek dari Mbah Parini menikah. “Saya saja sudah 85 tahun, kata bapak Saya, dulu saat kakek menikah dengan nenek, pohon itu sudah ada dan besar, meski belum sebesar sekarang,” ungkapnya.
Artinya, kemungkinan yang menanam pohon tersebut adalah kakek buyut Mbah Parini, bahkan mungkin kakek canggahnya, atau satu generasi di atas buyutnya. “Duko Pak taun pinten” (Tidak tahu Pak tahun berapa menanamnya’), ucapnya.
Parini mengaku hanya menerima warisan pohon itu, kemudian diberi amanat untuk merawatnya. Untuk ukuran pohon sudah sebesar itu, tidak perlu lagi perawatan macam-macam karena Durian Hijau sudah ‘mandiri’. Akarnya menghujam ke mana-mana mencari sumber air di dalam tanah Bukit Menoreh itu. Parini dan anak cucunya cukup memupuk pohon itu dengan kotoran hewan sesekali saja.
Amanat yang disampaikan leluhurnya jelas, yakni menjaga pohon itu. Maka, tidak heran jika ada seseorang yang tiba-tiba datang kepadanya untuk melihat-lihat pohon raksasa, Parini langsung bersikap defensif. Seolah orang yang tidak lain adalah saya ini, berniat ingin membeli pohon untuk ditebang dan dijadikan kayu bangunan.
Parini mengaku pernah ada seseorang di masa lalu yang berniat membayar pohon untuk ditebang. “Tidak boleh (dijual) sama saya, kecuali (pohon itu) mati dengan sendirinya, silakan ditebang,” tegasnya.
Saya penasaran dan mencoba mendalami mengapa Parini begitu kuat mempertahankan warisan itu. Dugaan saya mengarah pada faktor ekonomi, yakni terkait nilai manfaat dari pohon tersebut bagi kemaslahatan Parini dan keluarganya.
Yap, pohon sebesar itu menghasilkan ratusan butir durian sekali musim panen. Parini mengakuinya. Bahkan dalam hitungan kasar, Parini memperkirakan pohon itu menghasilkan antara tiga ratus hingga lima ratus butir durian.
Spesifikasi buah yang dihasilkan pohon itu pun sesuai namanya, Durian Hijau. Sebab kulit buahnya berwarna hijau muda. Bahkan meski sudah masak pun tetap berwarna hijau. Tapi ditanya soal rasa, Durian Hijau milik Parini ini termasuk spesial. “Rasane manis, agak pedes, dan pahit, daging buahe nggih kandel, kalau buahe ukurane saget ageng,” tuturnya.
Padahal harga untuk buah berkualitas seperti itu pasti cukup mahal. Durian manis, pahit, pedas, dan bersalut biji tebal macam Durian Hijau Parini, sudah pasti jadi buruan konsumen.
Pengalaman panen terakhir, harga sebutir durian ukuran sedang-besar Rp 50.000. Jika dihitung bodon, maka sebatang pohon itu beromzet Rp 15 juta hingga Rp 25 juta permusim. Sementara Parini bisa dibilang tidak mengeluarkan biaya serupiah pun untuk merawat tanaman itu. Itu baru dari satu pohon, Mbah Partini punya puluhan pohon durian yang meski nggak sebesar pohon raksasa, tapi tiap tahun selalu ‘’bekerja untuknya.
Mbah Parani dan Robert T. Kiyosaki
Cara Mbah Parini memperlakukan pohon durian raksasa maupun durian-durian lain seperti yang pernah diungkapkan investor, usahawan, motivator kenamaan Robert T. Kiyosaki, yang tenar dengan teori Cashflow Quadrant atau empat kuadran aliran uang, inilah yang disebut penghasilan pasif. Maksudnya?
Sebentar saya jelaskan sebisanya! Kiyosaki membagi aliran uang (penghasilan) dalam empat kuadran. Di mana dua sisi kuadran sebelah kiri adalah penghasilan aktif, atau orang harus bekerja atau memiliki keahlian tertentu untuk menghasilkan uang, sedangkan dua kuadran kanan adalah penghasilan pasif. Artinya uang atau aset yang akan bekerja menghasilkan uang untuk kita.
Nah! Bagi Parini, pohon durian raksasa ini adalah aset ‘bekerja’ menghasilkan uang untuk keluarganya dengan berbunga dan berbuah setiap tahun. Parini atau siapa pun bagian dari keluarga itu cukup sedikit saja bekerja ke hutan merawat tanamannya. Misalnya saat akan melakukan pemupukan. Selebihnya, tinggal duduk manis di rumah, menunggu bulan memasuki musim kemarau, lalu ada burung atau kelelawar iseng yang memfasilitasi perkawinan serbuk sari dan putik, pyarr… jadilah bakal buah. Beberapa bulan kemudian, biasanya memasuki Bulan November, durian mulai masak dan puncak panen terjadi pada Desember hingga Januari.
Panennya pun tak perlu susah. Pohon raksasa itu lagi-lagi ‘bekerja’ dengan menjatuhkan buah yang masak, lalu Parini atau siapa pun anggota keluarganya, tinggal memungutnya. Tidak mungkin buah dipetik langsung, tidak ada satupun pemuda kekar di Kaligono yang mampu memanjatnya, apalagi Parini.
Jadi kesimpulannya, antara Mbah Parini dengan Robert T. Kiyosaki memang punya hubungan. Meski bukan hubungan nyata, seperti pertemanan saya dengan pak kades. Mereka tidak pernah bertemu, tapi ada kesamaan antara teori Kiyosaki dengan terapan Parini. Maka di mata saya, keduanya orang hebat, tahu caranya memanfaatkan asetnya.
Cuma tetap lebih hebat Mbah Parini. Sebab tanpa belajar bermacam teori, ia demikian pandai menjaga alam sekaligus punyan nilai ekonomi. Konsisten menjalankan apa yang menjadi amanat kakek buyutnya. Amanat untuk merawat dan kembali mewariskan pohon durian raksasa itu kepada anak cucunya. Paling hebat lagi, Mbah Parini ini terkenal baik hati. “Mbenjang menawi panen, njenengan mriki Pak, mangke nderek nyipeng teng alas nenggo durene tibo” (Besok saatnya panen, berkunjung ke sini Pak, nanti ikut menginap di dalam hutan, sambil menunggu durian jatuh), katanya.
Tawaran yang sangat menarik, menantang, dan butuh persiapan matang. Minimal menyiapkan baju lengan panjang, sarung, penutup kepala full face, lotion antinyamuk, dan tak lupa helm SNI untuk mengamankan kepala dari risiko ketiban durian. Ya salaam!