UNAIR Surabaya, tidak bisa dimungkiri lagi, adalah salah satu kampus terbaik di Surabaya. Amat wajar jika banyak mahasiswa yang memimpikan bisa menempuh ilmu di sana. Namun, terkadang mimpi tak jadi kenyataan. Dan banyak mahasiswa yang gagal keterima di UNAIR, akhirnya berlabuh di UNESA. Ini cerita mereka, mahasiswa UNESA yang menyesal gagal menambatkan mimpi di UNAIR.
***
Ada kelakar seperti ini: kampus di Jogja itu hanya ada dua, yaitu UGM dan yang bukan UGM. Kelakar itu jelas muncul dari fakta bahwa UGM adalah top of mind kampus di Jogja. Benar, kampus di Jogja yang bagus banyak. UII, UMY itu nggak bisa dipandang remeh, tapi ya bagi orang-orang biasa, UGM punya prestise tersendiri.
Coba tanya mahasiswa di Jogja satu-satu. Hampir semuanya punya keinginan untuk kuliah di UGM. Saya sendiri juga dulunya ingin kuliah di UGM, tapi gagal dan berakhir di UNY. Dan lucunya, UNY ini punya sebutan lumayan yang menggelitik: kampusnya orang gagal masuk UGM.
Lebih lucunya lagi, di Surabaya sana, ada kampus yang berbagi nasib dengan UNY, yaitu UNESA.
Kalau kampus di Jogja hanya ada UGM dan bukan UGM, Surabaya juga mirip, meski beda dikit. Bedanya adalah, kampus di Surabaya itu ada tiga: UNAIR, ITS, dan yang bukan keduanya. Tapi perbedaan UNAIR dan ITS dengan kampus lain di Surabaya itu benar-benar mengerikan. Bumi dan langit, benar-benar anjlok, setidaknya itulah yang dikatakan oleh Dito dan Naima, dua mahasiswa angkatan 2020 yang bermimpi kuliah di UNAIR Surabaya, dan terbangun untuk mendapati fakta bahwa mereka hanya bisa kuliah di UNESA.
Inilah cerita dua manusia yang (sempat) punya mimpi yang indah.
Dua orang yang bernasib sama (pedihnya)
Saya baru bisa ngobrol dengan Dito dan Naima jam 22.20 semalam sebelum artikel ini terbit. Tak masalah, malam yang mendekati pekat gelapnya justru waktu paling tepat untuk manusia yang ingin berbicara kejujuran.
Dito dan Naima ini berbagi nasib yang sama: memimpikan UNAIR Surabaya, tapi justru berakhir di UNESA. mereka berdua sempat bisa menerima nasib dan sampai pada titik penerimaan. Tapi ketika menjalani kuliah, dan melihat betapa superiornya UNAIR Surabaya dalam segala aspek, penerimaan itu jadi menguap dan berubah jadi paksaan.
Mereka berdua punya nasib yang sama dengan saya, tapi setelah saya gali, ternyata jauh berbeda. Dan kita mulai cerita nasib buruk Dito terlebih dahulu.
Psikologi UNAIR Surabaya
Sebagai arek Sidoarjo, sepertinya kuliah di Surabaya itu jadi keharusan. Ibu Dito ingin salah satu anaknya kuliah di UNAIR Surabaya. Dan keinginan ibu adalah titah yang tak boleh disanggah. Maka, dengan penuh keteguhan hati, saat jalur undangan dibuka, dengan penuh keyakinan Dito memasukkan Psikologi UNAIR sebagai pilihannya. Pilihan kedua juga UNAIR. Pokoknya, UNAIR.
Tapi yang namanya keinginan, ia bisa saja tak terwujud. Dito terpukul ketika menerima fakta bahwa dia gagal masuk kampus yang selalu dia bilang terbaik di Surabaya tersebut.
Percobaan pertama gagal, akhirnya Dito mencoba jalur tes. Kali ini, UNAIR lagi sebagai pilihan utama, masih Psikologi. Tapi, kali ini dia akhirnya menapak tanah. Dito tak lagi memasukkan UNAIR sebagai pilihan keduanya, tapi UNESA. Setidaknya, misal dia tidak keterima di pilihan pertama, dia masih bisa masuk kampus pilihan kedua yang baginya lebih “mudah”.
Lagi-lagi, dia harus menerima fakta bahwa UNAIR memang tak masuk dalam perjalanan hidupnya. Dia diterima di UNESA, jurusan Sosiologi, yang mana dia tak tahu, bahwa pada beberapa waktu kemudian, dia menyesali betul hal ini.
“Aku tiap kumpul sama kawan-kawan SMA-ku, Mas, isin. Kebanyakan pada keterima UNAIR, dan jadi orang-orang keren. Tertekan aku kadang-kadang.”
Naima, akamsi Surabaya ini nasibnya mirip dengan Dito, tapi, tragedi yang sama belum tentu punya efek yang sama pada tiap orang.
Sabuk, sabuk
Cerita bagaimana Naima berakhir di UNESA mirip dengan Dito. Memimpikan UNAIR Surabaya, gagal, tes lagi, tapi pilihan kedua diisi UNESA, dan berakhir di kampus kedua. Mirip.
Hanya saja, efek yang dirasakan oleh Naima berbeda. Dia lebih tertekan dengan nasibnya, terlihat dari betapa kuatnya emosi yang saya rasakan waktu dia bercerita tentang “penderitaannya” menjadi mahasiswa UNESA. Pertama, gara-gara SMA Naima begitu dekat dengan UNESA Lidah. Ya mana kerasa bedanya lah.
Tapi itu nggak begitu parah, ada yang lebih parah: tragedi sabuk.
Putar ingatan kalian kembali ke sekitar 3 tahun yang lalu, masa pandemi. Di masa itu, viral video tentang senior kampus yang bentak-bentak mahasiswa baru lewat zoom. Kalau susah membayangkannya, mudahnya seperti ini: bayangkan panitia ospek kampus bentak juniornya, tapi lewat video call. Aneh? Memang. Dan pelaku keanehan tersebut adalah mahasiswa UNESA.
Awalnya, Naima tak masalah dengan fakta bahwa dia harus menghabiskan masa mudanya menjadi mahasiswa UNESA. Tapi gara-gara masalah bentakan viral tersebut, hingga kini, dia masih kerap kena ejekan sabuk. Hal itu menghantam mental Naima, yang bikin dia makin menyesal tidak masuk UNAIR Surabaya.
Setelah selesai cerita dan melewati banyak tawa, saya bertanya kepada mereka berdua, apa sih yang bikin UNAIR sebegitu hebatnya sampai mereka terlihat menyesal kuliah di UNESA?
Baca halaman selanjutnya
Kualitasnya beda bumi dan langit