Sebagian mahasiswa UNY dan UGM yang menjadi aktivis di demonstrasi Gejayan 1998 selamat berkat pertolongan warga pemilik kos di Dukuh Karangmalang dan sekitarnya.
***
Hingga sekarang, kawasan Padukuhan Karangmalang menjadi lokasi strategis bagi mahasiswa UNY dan UGM untuk tinggal. Permukiman padat yang berada di antara dua kampus negeri besar di Jogja ini penuh kos-kosan mahasiswa.
Jalan Karangmalang menjadi pintasan dari kawasan Lembah UGM menuju UNY. Letaknya yang strategis membuatnya jadi perlintasan aktivis dari dua kampus tersebut saat terjadi demonstrasi besar-besaran pada Mei 1998.
Gang-gang kecil dengan yang kini selalu penuh hiruk-pikuk mahasiswa sejak pagi hingga sore ini dulu pernah menjadi area yang mencekam selama beberapa hari. Kenangan tentang situasi menegangkan tersebut masih terus tersimpan di benak Kepala Dukuh Karangmalang, Sudarman (59).
“Karangmalang ini lokasinya strategis. Di tengah antara UNY dan UGM. Saat ada demo besar di sekitar Gejayan situasinya menegangkan,” kenangnya saat Mojok jumpai, Rabu (8/11/2023) sore.
Mengenang Mei 1998 di Gejayan yang mencekam
Pada 1998, Jogja menjadi salah satu titik pergerakan mahasiswa yang menuntut turunnya rezim Soeharto. Sejak awal tahun, aktivis mahasiswa sudah menggodok rencana untuk melakukan aksi turun ke jalan.
Melansir Kompas.com, Sejarawan UGM, Agus Suwignyo mengungkapkan pertemuan mahasiswa berlangsung di berbagai titik sekitar Bulaksumur dan Karangmalang. Sebagian di antara para aktivis merupakan mahasiswa UNY, UGM, UIN dan beberapa kampus besar lain di Jogja.
Ketegangan mulai meningkat pada Mei 1998. Setelah rentetan aksi, menurut Agus demonstrasi besar pecah setidaknya dua kali.
“Dua kali di Gejayan, sebelumnya memang sudah ada demo seperti di Bundaran UGM lalu simpang tiga UIN Kalijaga. Itu paling sering dipakai, karena sering dipakai pihak keamanan sudah niteni (mengamati),” ungkapnya.
Situasi mencekam terasa di masa itu. Di Mei 1998 beberapa kali terjadi bentrok fisik, pengejaran, hingga berujung pada penangkapan 29 orang demonstran pada 7 Mei 1998. Selanjutnya pada 8 Mei 1998, setelah seorang mahasiswa Universitas Sanata Dharma bernama Mozes Gatotkaca ditemukan tewas tergeletak di Jalan Gejayan. Kondisinya nahas dengan tangan patah melingkar ke belakang.
Petugas medis di sekitar Universitas Sanata Dharma sempat berusaha menyelamatkan nyawanya. Namun, Mozes mengembuskan napas terakhirnya di ambulans dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Panti Rapih.
Sudarman mengingat bahwa Karangmalang yang jadi penghubung antara dua kampus negeri besar di Jogja tidak lepas dari lalu lalang para aktivis mahasiswa. Sebab, menurutnya Jalan Colombo yang merupakan akses utama penghubung UNY dan UGM sempat ditutup.
“Bahkan seingat saya yang rumahnya di Mrican, tepat di pinggir jalan itu 24 jam nggak tidur. Pasti ada orang di rumah yang berjaga,” paparnya.
Kos mahasiswa UNY dan UGM jadi tempat bersembunyi aktivis
Menurut Sudarman, Karangmalang sudah menjadi area kos mahasiswa sejak tahun 1970-an. Hampir semua rumah, menyewakan kamar-kamarnya untuk tempat tinggal mahasiswa UNY dan UGM. Ia pun yakin, sebagian di antara massa demonstrasi tinggal di kos-kos tersebut. Sebab, saat itu kebanyakan kos di kawasan itu merupakan kos untuk laki-laki.
Rumah Sudarman termasuk salah satunya. Sejak tahun 1980-an, ia sudah berbagi atap dengan para mahasiswa. Hingga 1998, kos itu masih dikelola oleh orang tua Sudarman sebelum akhirnya berpindah pengelolaan ke tangannya. Di depan kos miliknya, terdapat beberapa usaha yang berkaitan dengan dunia kampus seperti rental komputer hingga wartel.
Hingga kericuhan terjadi, sebagian warga sebenarnya tidak mengetahui detail latar belakang aksi. Satu hal yang jelas, Sudarman mengaku tidak ingin keamanan kampungnya terganggu. Ia mendengar banyak mahasiswa yang kena pukul.
“Saat di jalan besar ricuh banyak yang lari ke sini. Kami (warga) hanya sekadar menyelamatkan yang penting tidak sampai ada keramaian di kampung,” ungkapnya.
“Situasinya aparat mengejarnya seperti bukan menertibkan masyarakatnya tapi seperti sedang perang beneran dengan musuh mereka,” imbuhnya.
Sebagian mahasiswa menyelamatkan diri ke kos rekannya di daerah Karangmalang. Sementara beberapa warga mempersilakan demonstran yang bingung dan berlari tak tentu arah di sekitar Karangmalang untuk masuk ke kos milik mereka.
“Pokoknya masuk dulu. Nanti kalau sudah aman baru boleh keluar. Aparat juga ada yang berjalan ke arah sini,” tuturnya.
Selain itu, Sudarman bercerita pada beberapa malam setelah kericuhan 8 Mei, warga selalu melakukan ronda. Menjaga kondusivitas kampung di tengah ketegangan yang terjadi di sekitarnya.
Saat itu, kawasan yang kini menjadi Kopma UNY juga masih menjadi permukiman RT 12 Karangmalang. Namun, hilir mudik mahasiswa banyak terdapat di jalan utama Blok A yang tembus langsung ke UGM.
Kekhawatiran warga menyelamatkan mahasiswa
Pada masa itu, Sudarman melihat warga tidak terlalu banyak berinteraksi dengan mahasiswa. Termasuk yang diselamatkan ke rumah. Sejumlah warga tidak ingin mengambil risiko terlalu jauh.
Saat menelusuri gang di Karangmalang, saya menemui warga lain yang mengaku menyaksikan ketegangan dan hilir mudik aktivis di kampungnya. Namun, ia tidak mau menceritakan lebih jauh.
Ada seorang pemilik kos bernama Jono*, yang tidak ingin disebut nama aslinya. Saat itu ia mengaku tidak mau membawa masuk demonstran yang berlarian di Karangmalang. Selain karena kos yang ia kelola untuk perempuan, Jono mengaku khawatir dengan risiko tertangkap basah aparat.
“Aparat siluman banyak sekali saat itu. Gelagatnya seperti sipil tapi saya tahu itu intel. Memasukkan demonstran bisa panjang urusannya,” ungkapnya.
“Ibaratnya, mau mampir minta minum saja nggak saya kasih,” imbuhnya.
Bagi sebagian warga lama Mrican, Karangmalang, hingga Kuningan yang berada di jalan pintas antara Jalan Gejayan menuju Lembah UGM, 1998 menjadi masa mencekam. Ada di antara mereka yang turut andil dalam menyelamatkan para mahasiswa UNY, UGM, dan beberapa kampus lain yang saat itu menjadi buronan aparat.
Reporter: Ahmad Effendi, Hammam Izzuddin
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono