Jalan Magelang jadi pintu masuk utama menuju Jogja dari arah utara. Jalan yang panjang dengan ruas lebar yang didominasi lintasan lurus. Di balik kenyamanan itu, ada kisah kelam dan potensi bahaya yang mengadang.
***
Bagi saya Jalan Magelang adalah rute yang harus ditempuh saat hendak ke kampung halaman di Banjarnegara, Jawa Tengah. Setelah mengurai kepadatan jalanan di Kota Jogja yang padat dan melelahkan, ada perasaan lega ketika roda mulai menjejaki lintasan lurus dan panjang.
Namun, motor setidaknya harus saya pacu lebih kencang lantaran di jalan yang lurus dan nyaman, semua pengendara seakan ingin melaju cepat. Belum lagi, rute ini penuh dengan kendaraan berat, baik bus maupun truk yang hendak keluar dan masuk dari arah utara Jogja.
Ketika sedang tidak ingin membawa motor dengan kecepatan tinggi, berjalan pelan di tepi adalah solusi tepat. Ketimbang harus mendengar deru klakson bersahut-sahutan dari kendaraan yang meminta jalan.
Saat siang rute ini terasa begitu padat, ketika malam suasana berubah jadi cukup senyap dan gelap. Pepohonan yang saat cerah membantu menahan terik, ketika gelap menjelang menjadi penambah suasana temaram.
Malam hingga dini hari, suasananya bisa menjadi rawan karena jalan ini menjadi salah satu lokasi andalan para remaja pelaku kejahatan jalanan atau klitih. Rute lurus dan sepi saat malam hari kerap disepakati sebagai tempat tawuran.
Pada Maret 2023 lalu misalnya, viral sebuah video seorang remaja berboncengan membawa senjata tajam di Jalan Magelang-Yogyakarta. Tepatnya di wilayah Mertoyudan, Magelang. Perekam yang berada di dalam mobil itu lantas mengejar terduga pelaku klitih. Peristiwa itu disebut terjadi pukul 04.00 WIB Senin (6/3/2023) silam.
Pelaku klitih anggap rute Jalan Magelang ideal
Pada Mei 2023 lalu, saya berkesempatan berbincang dengan seorang pelaku tawuran saat melakukan reportase tentang geng sekolah di Jogja. Demas* (18), pelajar yang tidak ingin nama aslinya tersebar mengaku pernah beberapa kali terlibat adu senjata di utara Terminal Jombor, Sleman.
Demas baru saja resmi menjadi bagian dari salah satu SMK di Jogja saat ajakan untuk tawuran datang kepadanya. Ia baru saja menyelesaikan agenda Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS). Temannya tahu, dulu remaja ini pernah bergabung dengan sebuah geng SMP.
“Semua bermula dari ajakan kumpul untuk nongkrong,” kenang Demas.
Setibanya di angkringan ternyata para seniornya di SMA sedang merencanakan tawuran dengan sekolah yang mereka anggap rival. Remaja ini langsung mendapat ajakan untuk mengambil peran dalam tawuran itu. Pertikaian itu sudah terencana, kedua pihak telah membuat janji untuk bertemu di Jalan Magelang lewat tengah malam.
Selain karena sekolah lawan berada di daerah Sleman, pemilihan Jalan Magelang karena rutenya yang lurus dengan ruas jalan luas. Lewat tengah malam daerah itu juga sepi dan jauh dari permukiman warga.
“Intinya cenderung aman dan banyak jalan keluar seandainya ada polisi yang mengejar,” cetusnya.
Pada saat itu Demas mendapat kepercayaan untuk menjadi jongki. Ia memang masih enggan untuk memegang senjata tajam karena mengaku belum terbiasa.
Tak berselang lama setelah kumpul di angkringan, mereka segera menyalakan sepuluh sepeda motor, siap menuju lokasi tawuran. Termasuk Demas dengan motor Honda Vario 110 miliknya.
Sebelum menuju lokasi yang akan jadi arena tempur, mereka terlebih dahulu mengambil persenjataan di daerah Kotabaru, Yogyakarta. Demas mengaku sempat kaget lantaran senjata yang hendak digunakan cukup beragam. Mulai dari pedang hingga gergaji semuanya tersimpan rapi di balik jaket para remaja ini.
Kengerian di Jalan Magelang
Setelah alat serang dan bertahan lengkap, rombongan itu lantas melaju pelan menuju utara sekitar pukul setengah satu. Mereka terlebih dahulu mampir ke sebuah pom bensin. Demas semakin terheran, sebagian rekannya itu menenteng senjata terang-terangan.
“Jadi, jongki yang masuk ke pom ngisi bensin. Fighter-nya turun di depan. Senjata ya mereka tenteng. Etel tenan,” kenangnya sambil tersenyum getir.
Mereka melanjutkan perjalanan ke utara, di Jalan Magelang, sebelah utara Terminal Jombor. Jalanan itu relatif sepi dengan lintasan lurus yang ideal untuk bertempur.
Namun, Demas kaget. Di sekitar Restoran Pringsewu, ternyata, lebih dari dua puluh musuh telah menunggu di pinggiran jalan.
Tanpa aba-aba, batu sekepalan tangan melayang ke arah rombongannya. Menghajar fighter yang membonceng motor tepat di depan dimas. Sepintas, Demas melihat rekannya itu memalingkan wajah, mengelap bibirnya yang sudah penuh darah.
Malam itu terasa begitu panjang di Jalan Magelang bagi Demas dan rekan-rekannya. Tidak ada korban jiwa, tapi banyak di antara mereka yang mengalami luka memar pukulan benda tumpul hingga sayatan benda tajam yang butuh jahitan.