Laki-laki ini bercerita, dulunya ia orang biasa yang ingin menjalani hidup biasa-biasa saja. Jadi korban kejahatan, membuatnya terjepit pada situasi untuk menjadi penjahat jalanan.
****
Suatu malam, di sebuah warung Warmindo di bilangan Jalan Palagan, Sleman, saya sedang mewawancarai pemuda yang baru saja keluar dari jeruji besi karena kasus pembunuhan. Pemuda yang saya wawancari ini berbadan kurus, tubuhnya penuh tato. Bagi yang bertemu dengannya, tampangnya menyeramkan. Saya yang biasa wawancara pelaku kriminal saja agak keder.
Seorang laki-laki menyuguhkan es jeruk tawar pesanan saya. Lumayan, bisa membuat saya lebih tenang saat mengobrol. Tak terasa, tiga jam saya berbincang dengan pelaku kejahatan ini. Ada banyak yang dibicarakan, mulai berapa tahun dia dipenjara dan kejahatan-kejahatan yang pernah ia lakukan.
Saya tidak sedang akan menceritakan kisah pelaku pembunuhan ini. Yang ingin saya tuliskan adalah kisah laki-laki yang datang menyuguhkan es jeruk tawar kesukaan saya saat berbincang dengan pemuda bertato itu. Namanya Hendra. Dia bukan penjaga atau pemilik Warmindo. Ia tengah tengah bantu-bantu di warung milik temannya.
Orang biasa yang menjadi penjahat karena kebutuhan
Keesokan harinya, aplikasi Facebook Messenger milik saya berbunyi, tanda ada pesan atau inbok dari seseorang yang masuk.
“Malam Mba apakah benar ini jurnalis Evi?”. Begitulah awal mula mula, kisahnya saya tuliskan.
Pria ini tiba-tiba mengirim pesan tentang kehidupannya yang pelik, tragis bahkan miris. Namun, dia menawarkan diri agar kisah hidupnya bisa saya tulis. Tujuannya dia hanya satu, memberikan pendangan terbuka kenapa manusia nekat melakukan aksi kriminal.
“Pertama saya hanyalah orang biasa. Setelah saya buka usaha akhirnya banyak ditipu orang, dan akhirnya saya selalu kepepet dengan kebutuhan. Saya sering menyelesaikan masalah dengan cara kriminal. Melarikan mobil sewaan, menipu orang, sampai begal dan jambret. Singkat cerita sampai saat ini saya terpuruk oleh keadaan. Saya sekarang itu merasa jadi manusia yang tidak ada gunanya blas,” kata pria berusia 38 tahun ini dalam pesan Fb Messengernya.
Saya pun tertarik dengan sepenggal pesan yang Hendra kirim. Kemudian saya memutuskan untuk bertemu dan mendengarkan kisahnya.
“Dulu itu kerjaan saya menjambret dengan kekerasan di jalan, menipu orang, mengelapkan mobil dan lain-lain. Cuma satu yang belum saya lakukan, membunuh orang,” kata pria 38 tahun saat berbagi kisahnya kepada Mojok.co.
Hendra telah menyesali perbuatan di masa lalu yang kelam. Dulu, ia selalu frustrasi soal hidupnya yang kerap dilanda kesialan yang kemudian membuatnya melakukan tindakan kriminalitas. Ketika itu, menjadi penjahat adalah jalan pamungkas mendapat uang secara instan, walaupun resikonya memang tinggi. Hendra pun sudah menerima ganjaran atas dosanya.
“Ya saya berusaha sebisa mungkin perbuatan saya tidak ketahuan. Namanya juga manusia, sehebat apapun tupai melompat pasti akan jatuh juga,” ungkap laki-laki yang kini menginjak usia 33 tahun.
Hendra bukan sosok pria pemalas, bukan pula anak laki-laki yang mengandalkan harta orang tuanya. Ia bisa mendapatkan uang hasil dari jerih payahnya sendiri. “Saya cuman ingin usaha atau wiraswasta,” ungkap pria bungsu dari enam bersaudara ini tentang cita-cita masa remajanya.
Sejak lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) swasta pada 2006 silam di Jogja, Hendra bekerja keras untuk mewujudkan cita-citanya. Awalnya ia kerja serabutan. Salah satunya membuat kandang babi dengan gaji tak seberapa.
Dengan modal seadanya, ia membuka konter kecil jual beli handphone sampai jadi montir, keahlian yang ia pelajari secara otodidak. Ketika uang yang terkumpul makin banyak, ia mulai memberanikan diri untuk merintis usaha rental mobil pada tahun 2007.
Mulanya usaha rental roda empat berjalan lancar, penghasilan pun menjanjikan. Kalau diingat-ingat, ketika itu ada 6 mobil yang digunakan usaha rental. Dua diantarannya milik Hendra, sementara sisanya adalah mobil titipan.
Kurang lebih selama 3-4 tahun berjaya, musibah pun datang. Beberapa mobil di tempat rental hilang digelapkan oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Para pemilik mobil berteriak-teriak menuntut Hendra dan meminta pertanggungjawaban.
“Setiap bulan saya harus menyetor uang kepada orang yang mobilnya dititipkan. Sementara pemasukan berkurang bahkan tak ada,” keluhnya.
Tidak hanya sekali Hendra mengalami hal semacam itu. Ia tahu otak penggelapan mobil rentalnya ternyata temannya sendiri.
Usaha mobil rental yang menjadi penopang utama perekonomian Hendra dan keluarganya akhirnya gulung tikar pada 2010. Hendra mulai pusing mencari uang untuk membayar mobil yang hilang. Pemilik mobil pun malah melaporkan Hendra kepada pihak berwajib kasus penipuan dengan penggelapan mobil. Walaupun bukan Hendra yang melakukan kejahatan itu.
Selain mengadu pada polisi, pemilik mobil juga meminta pembayaran mobil yang biasa disetor tiap bulan. Hendra kemudian meminjam uang pada renternir karena tidak perlu syarat yang ribet.
“Saya ambil hutang di renterinir untuk membayar setoran pemilik mobil titipan,” katanya.
Selesai dengan drama mobil rental, muncul masalah baru yang lebih menakutkan. Keputusannya meminjam uang dari renternir membuat ia terjerat hutang makin besar hingga puluhan juta rupiah.
“Pusing tujuh keliling uang dari mana. Dua mobil saya yang tersisa itu terpaksa dijual untuk menutup bunga. Dan cari cara lain untuk melunasi hutang rentenir,” kisahnya.
Jadi penjahat jalanan
Walau kesulitan ekonomi dan dikejar hutang rentenir sampai berpuluh juta, tak pernah terbesit oleh bapak dua anak ini lari dari tanggung jawab.
Saat itu yang ia pikirkan hanya uang, uang, dan uang. Uang untuk bayar hutang, uang untuk anak pertamanya yang akan sekolah dan, uang untuk kebutuhan keluarganya. Hidupnya telah diujung jurang sampai sang istri pun tega meninggalkan Hendra, dan pulang ke kota asalnya Magelang, Jawa Tengah.
Sebuah pekerjaan yang cukup beresiko perlahan-lahan membantu Hendra membayar bunga rentenir. Pekerjaan itu cukup bermodalkan mental yang kuat. Hendra memilih jadi penjahat jalanan, jadi jambret. Sasarannya utamanya orang yang membawa smartphone. Ia tak pandang bulu siapa korbannya, entah perempuan ataupun laki-laki, bagi Hendra sama saja. Dalam sehari, sedikitnya 3 orang bisa jadi mangsanya di jalan. Lokasi kejahatanya di sekitar Ringroad Barat, Kecamatan Gamping, Sleman.
Ia juga menipu orang, seperti yang pernah dialaminya. Membawa lari mobil rental lalu digadai. Kejahatan lainnya adalah klitih. Jika sekarang kejahatan klitih terkenal dengan tindakan melukai orang di jalan tanpa mengambil barang orang, namun berbeda halnya dengan klitih versi Hendra dulu.
“Kalau dulu saya ngelitih itu nyopotin ban mobil yang terparkir. Modalnya cuman bawa besi,” ungkap pria berambut pirang tersebut.
Hanya memakan waktu satu menit, Hendra mencopot ban mobil. Jika lebih dari itu, ia akan angkat kaki dan bergegas kabur meninggalkan lokasi, karena sangat beresiko.
Ban mobil yang berhasil dicuri ia jual ke bengkel dengan harga sekitar Rp 300-400 ribu. Setiap malam, Hendra bergelut di jalanan untuk mencari mangsa-mangsanya itu sembari meneguk vodka dan minuman keras merek lain.
Hendra mengaku tak membeli minuman mabukan itu. Sudah ada teman yang memfasilitasi dikala Hendra kalang kabut dengan hidupnya. Hingga waktunya tiba pada tahun 2017, karirnya sebagai penjahat jalanan berakhir di kantor polisi. Ia tertangkap tangan warga setelah mencuri handphone milik mahasiswi di jalan.
Rupanya saat penjambretan tersebut, Hendra tengah mabuk berat. Hendra berusaha kabur membawa barang curian menggunakan motor. Apesnya, ia malah terjatuh setelah lemparan helm milik warga menumbangkan tubuhnya. Hendra terpaksa jadi bulan-bulanan warga tanpa ampun hingga babak belur.
“Tapi kok saya enggak mati yah. Padahal sudah tidak ada bentuk lagi itu. Dua gigi depan saya saja sampai patah, sekarang sudah ganti gigi palsu,” katanya.
Ia menyembunyikan masalah keuangan dari keluarga dan istri. Orang terdekat baru mengetahui Hendra terlilit hutang hingga puluhan juta rupiah direntenir, berpangkal dari kasus penjambretan ini.
Meski demikian, ia tidak menjalani hukuman dan merasakan dinginnya lantai penjara. Keluarga Hendra mengajukan permohonan penangguhan penahanan dengan memberikan uang jaminan.
Meski tidak menjalani hukuman penjara, bahtera rumah tangganya dengan istri sudah diambang perceraian.
Hendra bercerita sedikit tentang sosok istrinya. Perjumpaan dengan istrinya terjadi tahun 2010 ketika ia sedang panik mencari mobil rental yang digelapkan orang. Ketika itu pula ia bertemu dengan perempuan yang sedang kalang kabut mencari motornya yang hilang dicuri orang. Hendra pun berkenalan dengan perempuan tersebut.
Rupanya berkat pertemuan itu Hendra dan sang istri memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih serius dan menikah pada tahun 2011.
Istrinya minta cerai bukan karena Hendra punya wanita simpanan, bukan juga malu karena suaminya penjahat, melainkan kecewa.
Sang istri yang dicintainya pergi dengan meninggalkan 2 anak, satu laki-laki dan perempuan. Berbulan-bulan ia mengurus semuanya seorang sendiri. Sedih dan menderita.
Pernah suatu malam ketika Hendra sedang memandang anak perempuannya yang berusia 4 tahun. Ia merasa kasihan dan penuh kekhawatiran. Bagaimana jika besar nanti, putri kecilnya diolok-olok oleh teman sebayanya karena punya ayah penjahat jalanan.
Atau bisa pula perbuatan yang sudah ia lakukan bakal menimpa anaknya kelak atau keluarganya. Karena cepat atau lambat hukum karma akan tiba pada saatnya.
Jika manarik kesimpulan atas pelajaran pahit yang Hendra rasakan, bahwa sejatinya tak ada masalah besar yang selesai kalau bukan melalui bantuan dari sang Tuhannya yaitu Allah.
Faktanya, di saat ia benar-benar membutuhkan uang untuk bayar hutang mobil titipan orang dengan meminjam uang rentenir, tidak pula menyelesaikan masalah.
“Setelah saya rasakan, ternyata seberat apapun masalahnya, jalan keluar itu ada di kening dan sujud. Saya perbanyak zikir dan meminta ampun serta pertolongan. Kasih saya kesempatan satu kali lagi untuk memperbaiki kesalahan saya,” kata Hendra dengan mata berkaca-kaca.
Setelah merayu Tuhannya dengan banyak melakukan amal-amal saleh, ia mengaku tak menyangka bisa menduduki jabatan sebagai pengawas proyek di Yogya.
Senang bukan main, tenaga yang selama ini ia habiskan lari dari kejaran orang usai mencuri atau jadi penjahat jalanan kini Hendra cukup memerintah anak buahnya.
Kehidupan Hendra perlahan-lahan membaik, begitupun sang istri yang sempat mengajukan perceraian, diam-diam memintanya kembali. Sejak tiga tahun terakhir ini, kehidupan dia dengan sang istri dan anaknya jadi lebih dekat.
Namun, karena pandemi Covid-19, perusahaannya terpaksa merumahkan semua karyawan termasuk dirinya. Padahal, ada beberapa proyek yang sedang dibangun dalam tahap pengerjaan.
Pilih-pilih teman dan berdamai dengan masa lalu
Lingkungan membentuk perilaku manusia. Mengapa seseorang dapat berbuat jahat kepada orang lain, sementara orang lain melakukan hal-hal yang baik terhadap sesamanya.
Sudah merasakan dampak buruknya hidup di tempatnya yang kurang tepat, membuat Hendra lebih sensitif dalam bergaul. Kini ia banyak menghabiskan waktu dengan komunitas pegiat sepeda dan juga relawan jalanan.
Mengisi kekosongan pekerjaan, Hendra alokasikan waktunya untuk lebih dekat dengan hobi yang bisa menghasilkan uang, yaitu jual beli sepeda ontel. Setidaknya ia memiliki 18 sepeda tua di rumahnya.
Koleksi barang tua ini seringkali disebut-sebut sebagai produk alternatif investasi karena bisa menghasilkan pendapatan besar, bahkan melampaui produk investasi yang lazim dimiliki orang pada umumnya.
Hendra mencontohkan tren gowes yang sempat booming di masa pandemi ini, rupanya dimanfaatkan untuk meraup keuntungan. Sepeda bekas yang ia beli seharga Rp 300 ribu, berkat keahlian tangannya, Hendra berhasil menjual Rp 1 juta.
“Saya perbaiki kemudian saya poles lagi warnanya. Setelah bagus saya jual di Facebook,” ujar Hendra. Seperti keinginannya saat remaja, ia ingin menjadi manusia biasa-biasa saja yang bisa menafkahi anak istrinya dengan cara halal.
BACA JUGA Pengajian di Burjo, dan Pertanyaan Apakah di Surga Bisa Balikan dengan Mantan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.