Tukang becak jadi pemandangan umum di kawasan Sumbu Filosofi Jogja. Kehidupan mereka, tak seindah konsepsi filosofis dari garis imajiner yang membentang dari Tugu Pal Putih sampai Panggung Krapyak.
***
Seorang tukang becak meninggal dunia di Jalan Margo Utomo, Yogyakarta, Selasa (8/8/2023). Di selasar toko, ia mengembuskan napas terakhir. Terbaring lemah di atas trotoar.
Menurut keterangan polisi, ER (59), tukang becak tersebut memiliki riwayat penyakit jantung. Ada beberapa surat dan rekam medis dari rumah sakit di antara sisa-sisa barang yang ditinggalkan.
Jalan Margo Utomo, dulunya bernama Jalan Pangeran Mangkubumi. Pemda DIY mengubahnya agar identitas asli sesuai sejarah Keraton Yogyakarta. Margo Utomo memiliki makna mengetahui hakikat hidup dan kehidupan untuk sesama. Lokasinya strategis, menjadi penghubung dari Tugu Pal Putih menuju Malioboro yang menjadi bagian dari Sumbu Filosofi Yogyakarta.
Melansir laman kemendikbud, Sumbu Filosofi Yogyakarta berupa garis imajiner lurus ditarik dari Panggung Krapyak, Keraton Yogyakarta, dan Tugu Pal Putih. Sumbu ini merupakan simbol dari keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhannya (Hablum minallah), manusia dengan manusia (Hablum minannas), dan manusia dengan alam.
Saat ini Sumbu Filosofi Yogyakarta tengah diusulkan sebagai Warisan Dunia yang diakui oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
Singkong rebus menemani hari-hari Tukiyo tanpa penumpang di Sumbu Filosofi Jogja
Di jalan yang sama, beberapa hari berselang, seorang lelaki sedang sibuk mengunyah singkong rebus sambil duduk di becak kayuh usang miliknya. Dari kejauhan ia tampak mengamati ramainya aktivitas jalan di pagi hari sekitar jam setengah sembilan.
Ngatiyo (74) namanya, ia mangkal sekitar 50 meter dari lokasi meninggalnya ER. Meski tidak saling mengenal, lelaki ini mengaku sering melihat lelaki itu beristirahat di emperan toko.
“Selain tukang becak dia biasanya mengumpulkan rongsok,” katanya lirih.
Penasaran, ia sempat mengecek tempat ER kerap bermalam. Kemarin ia masih melihat ada sisa kardus dan barang yang terserak di sana.
“Katanya itu orang jauh dari Kalimantan. Sudah tahunan ia tinggal di tempat ini,” paparnya sambil terus menghabiskan sepotong singkong.
Sebagai sesama pencari nafkah di jalanan, Ngatiyo mengaku paham sulitnya kehidupan ER. Beberapa tahun terakhir tidak setiap hari ada pendapatan dari penumpang yang bisa diantarkan.
“Apalagi yang asalnya jauh. Ya tidurnya di becak atau di emperan,” cetusnya.
Tanpa penumpang berhari-hari itu sudah biasa
Ngatiyo sudah selesai melahap singkongnya. Ia langsung tersenyum saat saya menawarkan rokok. Lelaki yang mengaku sudah lima puluh tahun menjadi pengayuh becak ini langsung membakar dan mengisapnya dengan nikmat.
Lelaki berkaus oblong lusuh ini mengaku belum lama tiba saat saya menghampirinya. Ia tinggal di daerah Bumijo, Yogyakarta. Mangkal di Jalan Margo Utomo sejak jam tujuh pagi sampai magrib menjelang.
“Ya paling gasik jam tujuh. Kadang jam delapan seperti hari ini. Nanti pulangnya magrib atau isya,” katanya.
Sejak 1970-an Ngatiyo narik becak sebagai sumber penghidupan. Awalnya bekerja dengan menyewa ke juragan. Sampai akhirnya bisa membeli becak bercat merah ini di tahun 1980-an. Becak itu kini warnanya tampak kusam dan usang.
Ngatiyo tidak ingat harga tepat unit becak yang ia beli puluhan tahun lalu itu. “Tapi seingat saya nggak sampai Rp300 ribu saat itu,” kenangnya.
Kayuhan kakinya dulu berhasil menjadi pembawa rupiah yang cukup untuk kebutuhan hidup. Bukan hanya bagi dirinya, tapi juga empat anaknya.
Andalkan nasi pemberian orang
Beberapa tahun belakangan, kondisinya berubah. Sehari dapat satu penumpang saja ia bisa tersenyum bungah.
Selama sepekan, Ngatiyo mengaku bisa ada tiga sampai empat hari tanpa penumpang. Di hari yang baik pun, paling banyak dua kali mengantar.
“Setahun terakhir paling banyak dua penumpang sehari. Itu sudah bagus. Sudah saya anggap dapat uang cukup,” tuturnya.
Beruntung, jika hasil nariknya tidak cukup untuk makan ia masih bisa pulang. Ikut makan bersama salah seorang anaknya yang sudah berkeluarga. Ngatiyo mengaku sudah cerai dengan istrinya sehingga tak serumah lagi di Bumijo.
Selain itu ia mengandalkan nasi pemberian orang yang melintas di jalan. “Sering ada yang ngasih nasi bungkus. Kalau tukang becak yang asalnya jauh, mengandalkan itu kalau nggak dapat penumpang berhari-hari,” terangnya.
Masa depan pengayuh becak kian tidak pasti. Semakin banyak moda transportasi yang efisien dan terjangkau. Akan tetapi, para penggelut profesi ini tetap memilih bertahan. Usia yang sudah tidak produktif membuat mereka bingung untuk mencari sumber pendapatan lain.
“Hidup saya ya sudah dengan mbecak ini. Corone kulo nggih tiyang bodo,” katanya.
Tukang becak yang kakinya sudah lemah
Dua kaki Ngatiyo tampak sudah tidak kokoh lagi. Namun, ia mengaku masih bisa mengayuh becak. Asalkan jaraknya tidak terlalu jauh.
Kalau rute ke selatan dari Jalan Margo Utomo, ia masih mampu mengantar penumpang sampai Alun-alun Kidul. Jarak tempuhnya hampir empat kilometer.
Lain cerita kalau ke arah utara. “Mentok sampai Hotel Tentrem,” ujarnya. Hotel itu berjarak sekitar dua kilometer dari Jalan Margo Utomo. Namun, jalanan ke utara memang sedikit menanjak sehingga kaki Ngatiyo tak mampu mengayuh lebih jauh lagi.
Masalah tarif, untuk mengantar dari tempatnya mangkal sampai titik Nol Kilometer Ngatiyo mematok Rp20 ribu. Biaya itu masih bisa penumpang tawar.
Saya melanjutkan perjalanan ke selatan menuju kawasan sekitar Titik Nol Kilometer. Sepanjang perjalanan menyusuri Sumbu Filosofi ini tukang becak banyak di tepian trotoar. Hari mulai terik dan mereka menepi di tempat teduh bawah bangunan atau rindang pepohonan.
Di tepi Jalan Ahmad Dahlan, seorang tukang becak tampak sedang melamun. Paiman namanya, lelaki asal Pandak, Bantul ini sudah lima puluh tahun mengayuh kendaraan tak bermotor beroda tiga.
Hari ini ia sudah mengantongi uang Rp20 ribu berkat mengantar satu penumpang ke Pasar Beringharjo. Terbilang lumayan sebab tidak setiap hari ia bisa mendapatkan uang.
“Tadi itu memang warga sini. Sudah kenal dekat dan langganan kalau mau ke pasar,” katanya.
Usianya sudah senja, Paiman juga tidak bisa mengantar jauh-jauh. Ia hanya mampu membawa penumpang ke destinasi sekitar Malioboro saja.