Sejumlah jurnalis di Jogja diperlakukan tidak adil oleh perusahaan media tempatnya bekerja. Selain target beban kerja di luar nalar, mereka tidak mendapatkan hak mereka sebagai pekerja yang kena PHK. Kondisi yang mereka alami adalah cuplikan potret buram industri media nasional.
***
Bagi Dian Dwi Anisa, target beban kerja tambahan yang manajemen Akurat Jakarta (PT Akurat Sentra Media) berikan kepadanya dan rekan lain di Jogja pada 20 Desember 2022 silam tidak masuk akal. Tim yang terdiri dari delapan penulis dan empat redaktur harus memproduksi 200 tulisan per hari.
Beban itu membuat setiap penulis atau reporter menulis 25 tulisan sehari sementara redaktur mengedit 50 naskah yang akan tayang. Jumlah ini sekitar lima kali beban kerja mereka sebelumnya.
“Umumnya dulu saya mengedit rata-rata 7-10 berita sehari. Sementara teman-teman penulis rata-rata membuat 5 artikel. Kalau sedang ada isu penting, bisa lebih, ” ungkapnya saat saya hubungi, Jumat (10/11/2023).
“Para karyawan ya bercandanya beban itu bisa tuntas kalau nulisnya satu artikel dua atau tiga baris saja. Tapi jelas itu jauh dari standar kualitas jurnalisme,” tegas perempuan ini.
Menurutnya, realitas ini menampar dirinya yang dulu belajar banyak soal jurnalisme di bangku perkuliahan. Tidak ada ruang untuk mengerjakan konten berkualitas dengan beban seberat itu setiap harinya.
Ia bekerja di media online ini sejak 2018 silam. Mulanya, semua masih berjalan normal. Ada gaji dan tunjangan yang menurutnya masih dalam taraf lazim bagi pekerja media kebanyakan.
Persoalan mulai terjadi di masa pandemi. Seperti kebanyakan industri lain, bisnis media mengalami guncangan. Menurut Dian, manajemen memutuskan untuk menghapus uang tunjangan.
“Sempat ada janji bahwa tunjangan akan dikembalikan. Ternyata sampai beberapa tahun, sudah nggak pandemi, tidak ada pengembalian,” cetusnya.
PHK sepihak tanpa pesangon layak
Tunjangan itu pun belum kunjung kembali sampai ada instruksi dari manajemen Jakarta untuk meningkatkan beban kerja. Peningkatan beban kerja ini bagi Dian sangat tidak masuk akal. Bagi para penulis, menghasilkan 25 naskah sehari mustahil dengan delapan jam kerja. Bahkan sehari penuh dengan asumsi satu artikel perlu waktu pengerjaan satu jam pun belum kelar.
“Kami jelas keberatan. Akhirnya kami putuskan untuk menegosiasikan beban kerja ini,” paparnya.
Alih-alih menemukan jalan tengah, pada 3 Januari 2023 ia mendapat informasi secara lisan bahwa ia dan semua kru Akurat Jogja mengalami PHK. Perempuan ini mengaku kaget. Bersama rekan kerjanya, ia meminta forum dengan manajemen Jakarta. Sebagai informasi, seluruhnya kru Akurat Jogja berstatus karyawan kontrak (PWKT), hanya kepala biro yang karyawan tetap (PKWTT).
Pada 11 Januari 2023, forum yang berlangsung daring itu memutuskan bahwa perusahaan secara resmi menutup Kantor Akurat Jogja. Mendengar keputusan itu, Dian mengaku hanya bisa lemas.
“Namun, yang bikin saya tambah lemas itu lihat teman lain. Ada teman yang terduduk lesu, sebab istrinya sebentar lagi akan melahirkan saat itu,” kenangnya.
Untuk persoalan tunjangan yang tidak dibayarkan selama pandemi, Dian mengaku sudah tidak banyak berharap. Namun, salah satu keputusan perusahaan yang menurutnya tidak manusiawi adalah jumlah pesangon yang hanya satu kali gaji pokok.
Surat PHK tidak diberikan kepada eks jurnalis
Padahal, Dian sudah bekerja sekitar empat tahun. Ada juga karyawan lain yang telah bekerja lebih lama darinya dan pesangonya hanya satu kali gaji pokok. Nominal ini tidak sesuai standar kelayakan yang ada dalam UU Cipta Kerja.
Manajemen juga tidak segera memberikan surat keterangan PHK. Eks karyawan hanya mendapat selembar surat keterangan pernah bekerja.
“Ketiadaan surat PHK ini juga dampaknya banyak. Misalnya, kami jadi sulit mengurus kepindahan BPJS,” paparnya.
Pada Juli lalu, Dian sempat kembali menghubungi manajemen untuk menagih surat PHK. Namun, perusahaan tidak kunjung memberikan berkas tersebut.
Mengenai sengketa ini, tujuh eks karyawan Akurat Jogja telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Yogyakarta. Sebelumnya, eks karyawan yang keberatan ini telah melewati proses mediasi bersama Disnaker Jogja, tapi tidak menemui titik tengah.
Pada sidang pertama Rabu, 1 November 2023 lalu, pihak manajemen Akurat tidak memenuhi panggilan. Sidang lanjutan akan berlangsung pada 15 November.
Media terus melakukan rekrutmen saat gaji jurnalis tersendat
Kondisi nyaris serupa juga Siska* alami, seorang pekerja di sebuah media online isu ekonomi yang berbasis di Jakarta. Sejak awal bekerja pada Mei 2023 silam, gajinya kerap terlambat dibayarkan. Bahkan pada Agustus hingga sekarang perusahaan membayarkan gajinya secara bertahap.
“Gaji dibayar bertahap. 10 persen, lalu 15 persen, dan seterusnya, jadi bisa tujuh kali nyicilnya,” ungkapnya.
Kondisi itu membuatnya kesulitan untuk menutup kebutuhan hidup seperti membayar sewa kos dan beberapa angsuran. Untuk menyiasati kondisi ini, ia harus mengambil pekerjaan sampingan.
Padahal, beban kerjanya sebagai jurnalis lapangan yakni menulis 5-7 berita per hari. Untuk memenuhi beban tersebut seringkali ia bekerja sampai malam. Untuk liputan berkeliling dari satu tempat ke tempat lain pun ia tak mendapat ongkos transportasi.
“Soal kerjanya, sepertinya sudah jadi rahasia umum di dunia media kalau reporter ya sulit untuk bekerja sesuai jam kerja,” jelasnya.
Hal yang membuatnya miris, di saat pembayaran gaji karyawan tersendat hingga banyak yang memutuskan resign, perusahaan tetap melakukan rekrutmen SDM baru. Siska mengaku tidak bertahan lebih lama lagi di situasi kerja yang ia jalani sekarang.
Potret buram pekerja media di Indonesia
Kondisi buram pekerja media di Indonesia sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Menurut catatan LBH Pers, pada 2020 ada 150 aduan jurnalis terkait pemotongan upah hingga PHK sepihak pada 2020. Selanjutnya, pada 2021 ada 80 aduan dan 2022 ada 35 aduan serupa.
Profesi sebagai jurnalis yang membutuhkan pendidikan dan kompetensi sepatutnya mendapat upah yang layak. Program Officer Organisasi Buruh Internasional (ILO) Jakarta, Lusiana Julia menyoroti jam kerja jurnalis yang panjang tidak sebanding dengan upah.
“Padahal pekerja pabrik saja justru mendapat upah yang banyak jika lembur,” ungkapnya melansir Harian Kompas.
Lebih lanjut, saat ini pihaknya tidak hanya fokus melihat persoalan ini dari sisi kepentingan kerja jurnalis. Menurutnya, hal yang perlu didorong adalah perundingan antara manajemen perusahaan dengan pekerja untuk meninjau kemampuan pengupahan.
Melansir riset AJI Jakarta, upah layak jurnalis di Jakarta ada di angka Rp8.299.229. Namun, realitanya masih ada jurnalis yang mendapat gaji di angka Rp2 juta. Lebih rendah daripada UMK yang pemerintah tetapkan. Hal ini juga terjadi di berbagai wilayah lain di Indonesia.
PHK harus sesuai undang-undang
Di sisi lain, banyak pekerja media yang dituntut meningkatkan beban kerja di tengah upah yang jauh dari riset standar kelayakan. Mengenai peningkatan beban kerja jurnalis yang sempat eks karyawan di Akurat Jogja alami, Koordinator Divisi Advokasi, Gender dan Kelompok Minoritas AJI Yogyakarta, Nur Hidayah Perwitasari berpendapat bisa merusak kualitas jurnalistik.
“Industri media harus fair, tidak boleh ada eksploitasi pekerja media di balik ruang redaksi,” tegasnya dalam rilis resmi AJI Yogyakarta.
Perusahaan bisa saja melakukan PHK. Namun, proses PHK tersebut harus sesuai dengan aturan Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan.
“LBH Pers Yogyakarta bersama AJI Yogyakarta memperjuangkan hak para jurnalis. Hak-hak pekerja harus diberikan. Para pekerja media ini menjadi korban media yang tidak profesional,” tegasnya.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Pemilik Kos Mahasiswa UNY dan UGM di Karangmalang Jadi Penyelamat Demonstran Gejayan 98
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News